Malam itu, langit menumpahkan hujan deras yang seolah tidak berkesudahan. Jalanan kota mini itu basah kuyup, aroma tanah bercampur udara dingin menyusup sampai ke sela-sela napas. Di sebuah tempat tinggal kayu tua pada pinggir jalan, bunyi tawa & dialog bersahutan, meski hujan terus menghantam genting pada atas.
Lima orang duduk mengelilingi meja bulat mini pada ruang tamu. Lampu temaram & lilin-lilin yg menyala membentuk suasana hangat. Ini merupakan reuni mereka, pertama sehabis sepuluh tahun tidak bertemu.
"Siapa sangka kita mampu kumpul lagi kayak gini, ya," ujar Lisa sembari memutar gelas kopinya. Matanya menatap teman-temannya satu per satu. Ada Reno, yang kini telah sebagai advokat sukses; Dinda, yang menetap pada luar negeri; Bima, yang sibuk menggunakan usaha restorannya; dan Tika, teman karib Lisa semenjak mini.
"Masih jangan lupa malam tahun baru terakhir kita bersama pada sini?" tanya Bima sembari tertawa mini . "Waktu itu, Tika nangis lantaran kembang apinya meledak terlalu cepat."
"Hei, jangan diungkit!" Tika berseru protes, pipinya memerah. "Itu malu banget!"
Semua tertawa, suasana terasa akrab misalnya dulu. Namun, pada pulang tawa mereka, terdapat hal-hal yang belum terucap misteri yang selama ini terpendam.
Hujan semakin deras. Tika melirik jam pada dinding, jarum memilih pukul sembilan malam. Ia mencoba mengalihkan perhatian berdasarkan dialog ringan pada meja menggunakan berjalan ke jendela. Di luar, hujan membentuk kabut tipis pada udara. Tika memejamkan mata, berharap hujan ini akan segera reda.
"Tika, engkau kenapa?" bunyi Reno terdengar pada belakangnya.
Tika menoleh. "Enggak apa-apa, cuma lagi mikir. Dulu kita selalu bikin resolusi bersama setiap tahun baru, kan? Sekarang malah terasa... beda."
Reno tersenyum tipis. "Wajar. Dulu kita cuma anak-anak. Sekarang hayati kita jauh lebih rumit."