b. Gaya penyampaian dan pengaruh budaya. KH. Wahid Hashim beroperasi di lembaga formal seperti pesantren dan pemerintah. Buya Hamka, sebaliknya, cenderung menyampaikan gagasannya melalui karya sastra dan ceramah populer sehingga lebih mudah diakses oleh masyarakat umum.
5. Titik temu pemikiran kedua tokoh
Keduanya sepakat bahwa pendidikan Islam harus menghasilkan manusia berakhlak mulia dan beriman yang mampu menghadapi tantangan zamannya. Kesamaan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk kurikulum pendidikan Islam yang mengintegrasikan aspek moral, spiritual, intelektual dan praktis. Idealnya, pendidikan Islam tidak hanya berfokus pada pembelajaran di kelas tetapi juga pada pengembangan karakter melalui pengalaman hidup sehari-hari.
Kesimpulan
Studi banding gagasan KH. Bapak Wahid Hashim dan Bapak Buya Hamka sama-sama memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Meski pendekatannya berbeda, keduanya mempunyai tujuan yang sama. Hal ini untuk menghasilkan generasi umat Islam yang beriman, berakhlak mulia, dan mampu menjawab tantangan zaman. Pemikiran kedua individu ini dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan pendidikan Islam yang lebih baik di masa depan. Pendidikan Islam dapat memberikan landasan yang kokoh untuk membangun peradaban Islam yang baik dengan mengintegrasikan nilai-nilai moral, spiritual, dan intelektual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H