Mohon tunggu...
Eko B Prasetyo
Eko B Prasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Saya adalah mahasiswa tingkat akhir di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Motto saya adalah ingin menjadi nomer satu dari yang terbaik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hafalanku Ibu

20 April 2015   13:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lembar demi lembar mushaf aku buka. Ayat demi ayat aku baca berulang kali. Aku perhatikan arti per kalimat, letak kalimat pada halaman. Entah kenapa pikiranku tidak dapat fokus dalam menghafal. “Astagfirullah,” terlintas di benakku seseorang wanita cantik pujaan hatiku.

“Kenapa Akhi, kok gelisah gitu, tidak biasanya antum gelisah dalam menghafal?”

“Ana nggak bisa fokus, ada sesuatu yang mengganjal di pikiran.”

“Apa itu Akhi? Barang kali ana bisa bantu.”

“Ana ada janji dengan seseorang,”

“Ya sudah, izin saja sama ustad Umar. Beliau pasti mengizinkan kalau itu mendesak.”

Aku semakin bingung, bagaimana aku akan izin ustad Umar sedangkan aku akan pergi meninggalkan halaqoh tahfidz dan menemui wanita yang bukan mahramku. Terblesit di kepalaku keinginan nakal, kabur meniggalkan halaqoh tanpa seizing ustad Umar. Dari pada ditanya alasan dan pastinya dinasihati macam-macam, mending aku kabur.
***
Andin sudah menunggu di taman bersama komunitas fotografinya. Mengambil gambar ekspresi wajah orang di taman kota. Andin terlihat piawai menggunakan kamera DSLR. Mengambil dari berbagai angel pemotretan. Dia terlihat cantik ketika melemparkan senyuman kepadaku, ketika aku datang menghampirainya.

Aku kenal Andin satu bulan yang lalu, ketika aku bergabung dengan komunitas fotografi di kampusku. Dia mengajariku berbagai hal, tehnik-tehnik fotografi, cara menggunakan kamera DSLR sampai tehnik pengambilan foto agar terlihat bagus. Kami sering pergi hunting foto bersama. Hingga benih-benih cinta tumbuh.

“Hai Andin, maaf ya terlambat.”

“Oh nggak papa, kami juga baru nyampe TKP.”

“Kok cuma Andin yang di sapa?” sindir Ali, ketua komunitas kami.

“Iyya Bang, Hai semuanya….”

Sore ini kami sepakat membuat kelompok kecil dalam hunting foto. Seperti biasa, aku disandingkan dengan Andin. Entah kenapa selalu aku disandingkan dengannya. Mungkin bang Ali melihat kami serasi atau mungkin kebetulan.

Dalam perjalanan hunting foto, kami sering mencuri pandangan satu sama lain. Saling menatap, saling memuji, ngobrol berbagai topik dan bergurau. Aku beranikan diri untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Dan ternyata dia juga meresponku dengan positif.

“Jadi mulai hari ini kita pacaan nih?”

“Ya, kalo kamu nggak keberatan punya pacar ganteng kaya aku, hehe”

“Kepedean lu Rul.”

“Ya harus PD lah, tapi benerkan lu suka sama gua kan Ndin?”

“Iyya Khairul ganteng.”

Hari berganti hari, kami habiskan bersama. Jalan-jalan, hunting foto, makan, nonton di bioskop. Aku merasa nyaman didekatnya. Tapi ada satu yang membuatku kehilangan sesuatu. Aku seperti kehilangan semangat untuk menghafal. Bahkan beberapa ayat hafalnku banyak yang lupa dan panjang pendek ayat banyak yang kurang.

Mungkin karena aku sering menghabiskan waktu berdua dengannya. Jarang sekali aku datang ke Halaqoh untuk menyetorkan hafalan kepada ustad Umar atau sekedar mengulang hafalanku. Terkadang jika aku sempatkan hadir, aku sering bolos dengan berbagai alasan agar dapat bertemu Andin.

Perasaanku semakin kalut ketika ustad Umar mepercayaiku untuk mengikuti Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) Mahasiswa Nasional kategori Hifdzil Quran di Padang. Bulan depan aku harus berangkat mewakili kampus dalam MTQ tersebut. Bagaimana mau lomba, jika hafalan saja banyak yang lupa. Aku harus memperbaiki semangat dan niatku.
***
Hari yang ditunggu tiba. Aku berangkat ke Padang dengan perasaan gundah. Aku mewakili kampus untuk acara yang cukup bergengsi. Satu persatu peserta mulai menunjukkan hafalannya di depan dewan juri. Giliranku tampil, aku berada pada kategori hafalan lima juz. Aku mulai membacakan hafalan, menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan dewan juri.

Celakanya, aku lupa dan tidak bisa meneruskan ayat pada pertanyaan sambung ayat. Entah kenapa aku gerogi ketika ada wartawan mengarahkan kamera ke arahku. Aku jadi teringat Andin, sesok wanita yang membuat aku jatuh cinta padanya. Kilatan lampu Flaz kamera membuyarkan hafalanku, aku terus berusaha mengingat. Tapi waktu habis ditandai ketukan palu dari dewan juri.

Ahh… aku mengecewakan almamaterku. Aku mengecewakan Ayah Ibu ku. Apa Ibu?. Aku jadi teringat mukodimah ketua panitia ketika membuka MTQ Mahasiswa ini. Beliau menerangkan bahwa “Para penghafal Al-Quran adalah keluarga Allah di bumi. Sungguh bahagia orang tua yang anaknya menjadi penghafal Al-Quran, karena nanti di akhirat akan mendapat mahkota (jubah kehormatan) yang didapat karena anaknya menjadi para penjaga Kalamullah.”

Seketika aku teringat dua tahun yang lalu. Ketika almarhumah Ibu berpesan pada kami anak-anaknya, sebulan sebelum beliau jatuh sakit.
“Nak… tuntutlah ilmu setinggi mungkin. Terutama ilmu agama, agama itu buat bekal hidupmu kelak. Kamu itu laki-laki, anak pertama pula dan pastinya akan menjadi pemimpin, minimal pemimpin keluargamu terus adik-adikmu. Adik-adikmu cewek semua, tolong didik yang benar, jadilah contoh yang baik buat adik-adikmu. Nak… orang yang pinter tapi nggak bisa bergaul itu kurang bermanfaat, tapi orang yang pergaulannya luas walaupun dia nggak pinter-pinter amat, itu akan memudahkan jalannya rezeki dan bermanfaat bagi orang lain. Jadilah orang yang pinter sekaligus pandai bergaul, tentunya harus pinter milih teman untuk bergaul juga, biar nggak keblinger.”

Kangker ibu terus menggerogoti tubuhnya. Semakin hari kondisi tubuhnya semakin menurun. Berkali-kali dia menjalani kemo terapi, karena dia ingin sekali sembuh dan menyaksikan anaknya kuliah dan diwisuda. Wajah ibu selalu ceria sehingga tidak disangka dia menyimpan sakit yang kian parah setiap harinya. Tak pernah terucap keluhan dari mulut ibu. Dia terus sabar menghadapi penyakitnya.

Hingga pada waktunya ibu dipanggil Sang Khaliq. Sang pemilik ruh yang suci. Yang menitipkan jiwa dan raga ini di Dunia. Aku sangat sedih dengan kepergiannya. Bagaimana nasib kami tanpa ibu. Nasib adik-adikku yang masih kecil, yang masih butuh kasih sayang seorang ibu. Walaupun ada ayah yang baik kepada kami, tapi kelembutan dan kasih sayang ibu tak dapat digantikan oleh ayah.

Sempat terucap janji dari mulutku ketika almarhumah hendak dimakamkan. Aku tidak akan mengecewakan Ibu, aku akan berjuang sekuat tenaga agar bisa sukses dalam pendidikan. Karena kata ibu “Jika kakaknya berhasil, pasti adik-adiknya akan berhasil pula, karena seorang kakak akan menjadi motivasi bagi adik-adiknya.”

Pasar Minggu, 18 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun