Mohon tunggu...
Eko B Prasetyo
Eko B Prasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Saya adalah mahasiswa tingkat akhir di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Motto saya adalah ingin menjadi nomer satu dari yang terbaik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hafalanku Ibu

20 April 2015   13:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Celakanya, aku lupa dan tidak bisa meneruskan ayat pada pertanyaan sambung ayat. Entah kenapa aku gerogi ketika ada wartawan mengarahkan kamera ke arahku. Aku jadi teringat Andin, sesok wanita yang membuat aku jatuh cinta padanya. Kilatan lampu Flaz kamera membuyarkan hafalanku, aku terus berusaha mengingat. Tapi waktu habis ditandai ketukan palu dari dewan juri.

Ahh… aku mengecewakan almamaterku. Aku mengecewakan Ayah Ibu ku. Apa Ibu?. Aku jadi teringat mukodimah ketua panitia ketika membuka MTQ Mahasiswa ini. Beliau menerangkan bahwa “Para penghafal Al-Quran adalah keluarga Allah di bumi. Sungguh bahagia orang tua yang anaknya menjadi penghafal Al-Quran, karena nanti di akhirat akan mendapat mahkota (jubah kehormatan) yang didapat karena anaknya menjadi para penjaga Kalamullah.”

Seketika aku teringat dua tahun yang lalu. Ketika almarhumah Ibu berpesan pada kami anak-anaknya, sebulan sebelum beliau jatuh sakit.
“Nak… tuntutlah ilmu setinggi mungkin. Terutama ilmu agama, agama itu buat bekal hidupmu kelak. Kamu itu laki-laki, anak pertama pula dan pastinya akan menjadi pemimpin, minimal pemimpin keluargamu terus adik-adikmu. Adik-adikmu cewek semua, tolong didik yang benar, jadilah contoh yang baik buat adik-adikmu. Nak… orang yang pinter tapi nggak bisa bergaul itu kurang bermanfaat, tapi orang yang pergaulannya luas walaupun dia nggak pinter-pinter amat, itu akan memudahkan jalannya rezeki dan bermanfaat bagi orang lain. Jadilah orang yang pinter sekaligus pandai bergaul, tentunya harus pinter milih teman untuk bergaul juga, biar nggak keblinger.”

Kangker ibu terus menggerogoti tubuhnya. Semakin hari kondisi tubuhnya semakin menurun. Berkali-kali dia menjalani kemo terapi, karena dia ingin sekali sembuh dan menyaksikan anaknya kuliah dan diwisuda. Wajah ibu selalu ceria sehingga tidak disangka dia menyimpan sakit yang kian parah setiap harinya. Tak pernah terucap keluhan dari mulut ibu. Dia terus sabar menghadapi penyakitnya.

Hingga pada waktunya ibu dipanggil Sang Khaliq. Sang pemilik ruh yang suci. Yang menitipkan jiwa dan raga ini di Dunia. Aku sangat sedih dengan kepergiannya. Bagaimana nasib kami tanpa ibu. Nasib adik-adikku yang masih kecil, yang masih butuh kasih sayang seorang ibu. Walaupun ada ayah yang baik kepada kami, tapi kelembutan dan kasih sayang ibu tak dapat digantikan oleh ayah.

Sempat terucap janji dari mulutku ketika almarhumah hendak dimakamkan. Aku tidak akan mengecewakan Ibu, aku akan berjuang sekuat tenaga agar bisa sukses dalam pendidikan. Karena kata ibu “Jika kakaknya berhasil, pasti adik-adiknya akan berhasil pula, karena seorang kakak akan menjadi motivasi bagi adik-adiknya.”

Pasar Minggu, 18 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun