Mohon tunggu...
Peron Dua
Peron Dua Mohon Tunggu... -

Seorang komuter yang tinggal di Bogor

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

What Do You Expect ?

21 Oktober 2014   22:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:13 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ekspestasi orang-orang sangat tinggi. Itu berbahaya buat saya, jika saya tidak bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan, apa yang saya janjikan," tutur Jokowi kepada wartawan TIME.

Kemarin siang, saya turun ke sepanjang jalan Thamrin - Sudirman. Saya ingin melihat pawai dan juga rombongan presiden dan wakil presiden Indonesia yang baru dilantik. Bukan karena saya pendukung fanatik Jokowi, saya hanya ingin menyaksikan sebuah sejarah. Kalau selama ini saya hanya kerap membaca buku sejarah, kali ini saya ingin berada dalam sejarah itu.

Dalam perjalanan menyusuri jalan Thamrin - Sudirman yang sudah sangat sesaknya, saya bertemu seorang gadis cilik. Anisa, namanya. Umurnya baru 8 tahun. Hari itu dia tidak bersekolah. Bersama bapaknya, Anisa khusus datang ke jalan Thamrin. Mereka ingin melihat secara langsung presiden Indonesia yang sangat mereka elu-elukan itu.

"Jokowi hanya anak seorang penjual kayu. Kalau saya cuma pedagang kecil. Saya ajak anak saya kemari, karena mau bilang sama anak saya, apapun pekerjaan bapakmu, kamu bisa jadi apa saja. Termasuk jadi presiden." kata bapaknya pada saya.

Saya terus menyusuri jalan Thamrin, sambil sesekali memotret jika ada hal-hal yang menarik mata dan hati saya. Karena panasnya, saya berhenti untuk makan buah potong. Sambil berdiri di dekat gerobak tukang buah potong itu, saya mencuri dengar pembicaraan dua pemuda di dekat saya.

+ Gue tuh udah dari kemarin sore dari Serpong
- Trus, lo nginep di mana?
+ Gue buka kamar di Cikini. Soalnya kalo berangkat pagi ini, gue takut ketinggalan acaranya
- Gila lo, demi liat pawai ini pake buka kamar segala
+ Ya iyalah, belon tentu juga seumur idup lo bakal ngalamain peristiwa kayak gini men! Gimana menurut lo, heroik kan gue?

Glek. Agak-agak terperangah juga saya mendengarnya. Dua anak muda yang tentunya punya harapan tersendiri  -sehingga mau datang dari jauh dan berpanas-panas pada siang kemarin itu.

Anisa dan pemuda yang entah siapa namanya itu, mewakili tujuan banyak orang yang tumpah siang kemarin di sepanjang jalan Thamrin - Sudirman. Mereka punya harapan besar pada sosok Jokowi, yang dinilai mewakili sesuatu yang tak pernah ada selama ini. Sesuatu yang tak hanya menerbitkan sebuah harapan tapi juga mimpi-mimpi tentang seorang pemimpin. Misalnya, presiden mana di dunia ini yang mau memberikan salam cadas tiga jarinya? Presiden mana yang mau selfie dengan rakyatnya?

Tapi, Jokowi tetaplah manusia biasa. Bukan Gundala Putera Petir, yang punya tenaga super untuk membasmi kejahatan di bumi Indonesia. Jokowi sama seperti kita, makan nasi, tempe, ikan, telur, sayur mayur dan juga buah-buahan. Tenaganya sama seperti kebanyakan tenaga manusia Indonesia lainnya. Dia juga tidak bisa berbuat banyak jika tidak didukung oleh jutaan rakyat Indonesia.

Jadi, jangan sepenuhnya berharap everything is gonna be okay kalau Jokowi sudah jadi presiden Indonesia. Karena semuanya juga tergantung rakyat Indonesia - rakyat Indonesia yang jadi menteri, rakyat Indonesia yang jadi anggota DPR, rakyat Indonesia yang jadi anggota MPR, rakyat Indonesia yang jadi anggota DPRD, rakyat Indonesia yang jadi anggota KPK, rakyat Indonesia yang jadi anggota partai, rakyat Indonesia yang jadi polisi dan tentara, rakyat Indonesia yang jadi hakim, jaksa, pengacara, rakyat Indonesia yang jadi pengusaha, rakyat Indonesia yang jadi pekerja NGO, rakyat Indonesia yang jadi guru, rakyat Indonesia yang jadi jurnalis, rakyat Indonesia yang jadi artis, dan jutaan rakyat Indonesia lainnya di manapun berada dan entah berprofesi apa saja.

Karena sesungguhnya harapan akan perubahan itu ada di pundak kita semua. Jika kita mau mengubah suatu keadaan, bukankah perubahan itu harus muncul dari diri kita sendiri? Bukankah lidi kelapa tidak bisa menjadi sapu lidi jika hanya berupa sebatang lidi? Bukankah dia harus mewujud jadi kumpulan batang-batang lidi? Begitulah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun