Imajinasi, menurut Albert Einstein, jauh lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan bersifat terbatas, sedangkan imajinasi meliputi seluruh dunia.
Bagiku, pernyataan Einstein tersebut berlaku di seluruh tindakan manusia, termasuk aksi untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable.
Bila kita bercermin pada teori pikiran bawah sadar yang dirumuskan Bruce Lipton, imajinasi merupakan paparan informasi yang berulang kali sehingga tertanam dalam pikiran bawah sadar dan menggerakkan pola perilaku manusia. Ilmuwan Jepang, Kazuo Murakami, menyebut imajinasi sebagai informasi yang tertanam dalam DNA manusia dan menggerakkan pola perilaku manusia.
Untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable, kita perlu meretas imajinasi di sektor ekologis (imajinasi ekologis). Tanpa imajinasi ekologis sebagai basisnya, aksi untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable akan selalu mengalami hambatan yang menjauhkan kita dari tujuan.
Imajinasi Ekologis dalam Kitab Suci
Sebagai seorang Muslim, aku menjadikan ayat-ayat dalam al-Qur’an sebagai sumber imajinasi dalam menjalani kehidupan, termasuk dorongan untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable.
Salah satu ayat al-Qur'an yang menginspirasiku adalah Al-Baqarah ayat 115: Dan milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Mahamengetahui.
Ayat tersebut membentuk imajinasi – dalam pikiran bawah sadarku -- untuk menghargai alam semesta karena aku memandang alam sebagai representasi wajah Tuhan. Dengan demikian, ayat dalam Kitab Suci tersebut menuntunku untuk memiliki imajinasi ekologis.
Sebagai manifestasi iman – berbasis imajinasi ekologis – aku terpicu untuk melakukan aksi-aksi dalam mewujudkan lingkungan lingkungan suistainable. Aku meyakini upaya tersebut sebagai ibadah dan bernilai pahala. Di sisi lain, tindakan yang merusak alam memiliki nilai dosa karena merusak representasi wajah Tuhan. Dengan demikian, imajinasi dari kitab suci meneguhkan keyakinanku bahwa upaya mewujudkan lingkungan suistainable merupakan sebuah manifestasi dari kesalehan dan iman.
Berdasarkan pengalamanku dalam mempelajari teologi ekologi, ajaran yang membangkitkan imajinasi ekologis juga tersebar dalam kitab-kitab suci agama-agama besar di Indonesia lainnya (non Muslim). Hal ini meneguhkan bahwa seluruh umat beragama di Indonesia bisa berkolaborasi untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable.
Imajinasi Ekologis dalam Kearifan Lokal
Selain Kitab Suci, kecintaanku pada linterasi dengan minat khusus kearifan lokal, menjadikan imajinasi ekologis semakin kokoh dan mengakar kuat dalam pikiran bawah sadarku.
Masyarakat tradisional Minangkabau (Orang Minang) di Sumatera Barat meyakini alam adalah guru. Keyakinan tersebut dikukuhkan Orang Minang dalam filosofi ‘alam takambang jadi guru’ (alam terbentang adalah guru). Dengan demikian, Orang Minang yang sejati tidak akan merusak alam alam. Merusak alam berarti merusak guru yang melahirkan kearifan lokal pembentuk peradaban Minangkabau.
Sementara itu, di jantung Pulau Kalimantan, masyarakat tradisional dari suku Dayak Krio -- salah satu subetnis Dayak di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat – meyakini hutan sebagai sumber kekuatan magis keseimbangan ekologi. Keyakinan tersebut tertuang dalam lagu Pupu Tagua. Berikut nyanyian Pupu Tagua dan terjemahan dengan penggunaan bahasa Indonesia.
PUPU TAGUA
Kampung pupu tagua
Nama tanah di daerah tersebut
Sungai encuke dan riam bunga
Riam bunga tagua di tanjung ransa
Kampung tertua yaitu pupu tagua
Kampung tertua yaitu pupu tagua
Tanah itu tumbuh dan menjadi awal
Ada tanda kehidupan
Sungai ada ikannya
Bambu ada rebungya
Batang kayu ada jamurnya
pupu tagua kampung tua
pupu tagua kampung tua
di tanah yang mendaki ada padinya,
tanah yang datar ada padi pulut
sungai ada telaganya teluk ada penunggunya
hutan kekuatan magisnya
Imajinasi ekologis tersiar pula dalam kearifan lokal sistem masyarakat tradisional Indonesia lainnya; seperti ajaran Samin (Saminisme) yang diyakini masyarakat Samin di pedalaman Blora, Aluk Todolo dalam masyarakat tradisional Toraja, Kaharingan yang diyakini suku Dayak di Kalimantan, hingga Sunda Wiwitan yang dianut suku Baduy di pedalaman Banten.
Kearifan lokal masyarakat tradisional – berbagai suku di Indonesia – meneguhkan bahwa seluruh suku di Indonesia bisa berkolaborasi dalam mewujudkan masa depan lingkungan suistainable.
Aksiku untuk Mewujudkan Masa Depan Lingkungan Suistainable
Imajinasi ekologis dari kitab suci dan kearifan lokal mendorongku untuk memiliki perilaku yang cenderung terobsesi pada aksi-aksi mewujudkan lingkungan suistainable. Beberapa aksiku dalam mewujudkan masa depan lingkungan suistainable, antara lain:
Pertama, tidak memiliki kendaraan bermotor pribadi dan mengutamakan pergerakan non-motor.
Di akhir tahun 2024, aku akan genap berusia empat puluh tahun. Tetapi, di usia jelang kepala empat tersebut, aku belum memiliki SIM dan tidak piawai mengendarai kendaraan bermotor. Sehari-hari, aku mengandalkan jalan kaki atau bersepeda. Untuk jarak tempuh yang jauh, aku menggunaan kendaraan umum.
Aksi tersebut membantuku untuk memiliki tubuh yang bugar dan terhindar dari kontribusi dalam aktifitas penggunaan energi yang menghasilkan emisi karbon.
Kedua, menjalani pendidikan daring.
Menurutku, rutinitas pendidikan formal ‘luring’ (tatap muka) berkontribusi besar dalam kerusakan lingkungan. Nyaris setiap hari jutaan pelajar dan mahasiswa mengendarai kendaraan bermotor sebagai alat transportasi ke kampus atau sekolah. Kemudahan dalam kepemilikan kendaraan bermotor memicu peledakan populasi kendaraan bermotor di Indonesia. Fenomena tersebut menyebabkan penggunaan bahan bakar fosil besar-besaran dan kerusakan alam khususnya polusi udara.
Agar tidak turut berkontribusi dalam tindakan yang menjauh dari masa depan lingkungan suistainable tersebut, aku menjalani pendidikan yang bersifat ‘daring’ atau ‘full online’. Sekarang, aku tercatat sebagai salah seorang mahasiswa yang ‘full online’ di Universitas Terbuka. Melalui aksi menjalani pendidikan daring, aku bisa meminimalisir timbulnya kerusakan lingkungan akibat perilaku manusia.
Ketiga, menjalani gaya hidup minimalis.
Menurutku, hidup minimalis bukan berarti pelit, melainkan menyederhanakan pola konsumsi sampai titik rendah. Aksi tersebut bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup, hemat energi, dan potensi emisi karbon dari proses produksi produk. Di dunia internasional, gaya hidup minimalis menjadi trend sejak dikenalkan Marie Kondo yang terfokus pada upaya meminimalisir benda-benda di ruangan.
Keempat, tidak menjadikan ‘travelling’ dengan penggunaan kendaraan bermotor sebagai hobi utama.
Aksi tersebut mengurangi kontribusiku dalam aktifitas yang menghasilkan emisi karbon melalui penggunaan alat transportasi travelling berbahan bakar fosil.
Kelima, menolak kantong plastik sebagai kemasan belanja.
Aksi tersebut membantuku untuk tidak berkontribusi dalam aktifitas yang menghasilkan emisi karbon melalui produksi dan limbah plastik (anorganik).
Keenam, mengurangi penggunaan gawai eletronik untuk keperluan hiburan.
Aku menggunakan gawai untuk tujuan yang bermanfaat seperti bekerja, berkomunikasi untuk tujuan penting, dan membaca literatur (informasi) untuk memperluas wawasan.
Penggunaan gawai untuk hiburan aku minimalisir. Aksi ini mencegah diriku untuk turut berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon dari pembangkit listrik. Selain itu, aksii ini menjadikan diriku untuk berpartisipasi aktif dalam hemat energi.
Ketujuh, menghijaukan lingkungan dengan berkebun berkebun.
Aksi tersebut membantuku untuk mendapatkan bahan pangan secara mandiri, memperpendek rantai konsumsi, menetralisir kandungan emisi karbon dalam udara, dan meningkatkan kualitas udara.
Kedelapan, tidak membakar sampah.
Aku mengupayakan sampah organik menjadi kompos. Selain itu, aku berupaya mendaur ulang sampah anorganik untuk produk yang bermanfaat. Aksi ini mencegahku untuk berkontribusi dalam aktifitas penggunaan energi penghasil emisi karbon.
Kesembilan, bekerja secara daring.
Sejauh ini, aku menjalani profesi sebagai penulis lepas. Berprofesi sebagai penulis lepas membuka kesempatan bagiku untuk menggunakan internet untuk mengirimkan hasil pekerjaan. Aku tidak perlu menggunakan kendaraan bermotor ke kantor. Meskipun demikian, aku tetap berupaya untuk tetap bijak menggunakan daya listrik ketika menggunakan gawai eletronik dalam pekerjaan.
Kesepuluh, menyederhanakan rantai konsumsi pangan.
Aku mengupayakan agar bahan pangan bisa dikonsumsi sedapat mungkin tanpa proses memasak dengan bahan bakar fosil. Misalnya, aku memilih konsumsi ‘pisang matang alami’ daripada berbagai olahan pisang yang memerlukan proses memasak dengan mengeluarkan emisi karbon dari penggunaan energi.
Kesebelas, bersinergi dengan komunitas.
Aku sadar bahwa aksi untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable tidak akan tercapai bila aku bergerak sendiri. Untuk itulah, aku bergabung dengan berbagai komunitas terutama yang bersifat daring. Di antara komunitas-komunitas dengan visi mewujudkan masa depan lingkungan suistainable yang aku ikuti, terdapat Komunitas Saling Silang dan Aliansi Zero Waste Indonesia. Menjalin sinergi dengan komunitas-komunitas tersebut memupuk keyakinanku bahwa diriku tidak sendirian dalam mewujudkan masa depan lingkungan suistainable.
Kedua belas, menulis karya bergenre Sastra Hijau.
Sebagai seorang penulis yang berkarya di bidang karya fiksi, aku memiliki peluang besar dalam mengembangkan imajinasi masyarakat. Aksi dalam mengembangkan imajinasi ekologis bisa aku tempuh dengan cara menghasilkan karya bergenre ‘sastra hijau’.
Di antara berjejer karyaku dalam genre ‘sastra hijau’, Nyanyian Meranti Merah menjadi karya yang paling banyak digunakan sebagai bahan edukasi untuk menumbuhkan imajinasi ekologis. Melalui Nyanyian Meranti Merah, aku menuangkan dampak negatif deforestasi hutan Kalimantan, upaya reboisasi yang dipelopori perempuan-perempuan Dayak, dan kearifan lokal Dayak dalam mewujudkan masa depan lingkungan suistainable.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa imajinasi ekologis merupakan kunci emas untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable. Ayat-ayat dalam kitab suci dan kearifan lokal (sistem kepercayaan tradisional) memiliki potensi besar dalam membangkitkan imajinasi ekologis. Imajinasi itu penting sebagai basis aksi untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable.
Aksi nyata untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable perlu dimulai dari aksi diri sendiri; melalui pola perilaku yang ramah lingkungan, hemat energi, dan mengurangi kontribusi dalam aktifitas penggunaan energi yang menghasilkan emisi karbon. Untuk meningkatkan kualitas aksi ini, kita perlu menjalin sinergi dengan komunitas dan mengembangkan imajinasi ekologis dengan keahlian kita masing-masing.
Melalui langkah-langkah tersebut aksi untuk mewujudkan masa depan lingkungan suistainable bisa bertransformasi dari tindakan pribadi menjadi gerakan sosial yang bersifat masif dan menyebar secara merata di seluruh pelosok bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H