Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pecinta literasi

Blog ini merupakan kelanjutan dari blog pada akun kompasiana dengan link: https://www.kompasiana.com/sulfizasangjuara 🙏❤️

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Gagal Menjadi Babi

23 Agustus 2021   18:37 Diperbarui: 23 Agustus 2021   18:48 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.pinterest.com/bind1207/

SEBELAS menit lagi, ia akan menjelma babi

Dalam temaram cahaya lampu minyak tanah, terlihat bulu-bulu setajam jarum, menembus serat-serat kemeja putihnya. Sepasang taring perlahan-lahan mencuat dari gusi. Aroma bangkai dari tubuhnya, menguar ke seluruh penjuru mata angin, membuat lambung istrinya seolah-olah disulut api.

Lelaki itu bernama Suharta. Tuhan pun tahu, Suharta kaya-raya. Tapi, ia tidak kunjung puas menumpuk harta. Ia mendapatkan seluruh hartanya dengan jalan bersemedi, menjadi babi, lalu mencurisebagaimana malam ini.

'Barangkali, hanya kematian yang akan menghentikan Mas Harta mencuri," bisik istri Suharta, Siti.

Kini, kelam melibat pohon-pohon yang meranggas dan menggapai-gapai sinar pucat bulan purnama yang mulai diselimuti awan. Keremangan telah dikalahkan kepekatan warna malam.

Dalam samar cahaya lampung minyak tanah, Siti melihat mulut Suharta memanjang dan menjauhi wajahmembentuk moncong babi. Sepasang mata Suharta berkilau semerah bara. Tak lama lagi, Suharta akan melompat, lalu membobol bank-bank tempat pemerintah menyimpan uang. Tidak heran, meskipun pajak semakin tinggi; penduduk tetap miskin. Jalan raya yang rusak tidak pernah diperbaiki, listrik byarr-pet, dan gedung-gedung sekolah rusak parah. 

Anak-anak kecil mengais-ngais keranjang sampah milik Suharta, berebutan dengan anjing-anjing liar yang juga sama laparnya. Perempuan-perempuan berdandan menor; duduk di halaman rumah sambil merokok dan menanti pria-pria paruh baya. Ibu atau nenek mereka yang menjadi mucikarinya. Pemuda-pemuda putus sekolah, bermai-ramai menjual ginjal.

Bau bangkai di ruangan Suharta bersemedi, tidak bisa dihalau aroma dupa dan wangi bunga kembang setaman.

Perlahan-lahan, jarum jam mencapai angka dua belas. Siti ingin sekali menghentikan arus waktu. Sehingga jarum jam tidak pernah menyentuh angka dua belas, Suharta gagal menjadi babi dan batal mencuri. Tapi, Siti tidak berdaya. Bila nyala lampu itu mati, suaminya akan terbunuh atau membunuh dirinya.

Separuh tubuh Suhartadari pinggang sampai kepalatelah menjelma kepala babi, termasuk alat kemaluannya. Ia mendengus, mengeliat, dan menguik tajam. Terdengar gemerisik halus ketika kacamata minusnyaberbingkai emasmelayang ke lantai kayu, menimpa kuntum-kuntum bunga kantil dan daun sirih.

Ketika sepasang jarum jam mengiris angka dua belas tepat, di hadapan Siti dan lampu minyak tanah, berdiri seekor babi. Sekilas, babi itu tidak berbeda dengan babi hutan. Namun, bila dicermati, terdapat sebuah cincin di taringnya.

"Bila cincin itu lepas," bisik Siti dalam hati, "Mas Harta akan kehilangan kekuatannya. Tapi siapa yang mampu?"

Dulu, sekawanan pemuda mencoba mengeroyok Suharta. Alih-alih merenggut cincin itu, semua pemuda tersebut mati terbunuh. Suharta membantai dan memutilasi. Ketika ditemukan, jasad mereka tidak utuh lagi. Siti turut membantu memungut kepala, ruas-ruas jemari, daun telinga, hingga potongan alat kelamin yang terpisah dari tubuh.

"Bagaimana aksiku?" tanya Suharta ketika Siti pulang dari pemakaman.  

"Dasar binatang!"kutuk Siti.

"Aku memang binatang!" sahut Suharta sambil tertawa terbahak-bahak.    

Kegelapan malam semakin pekat. Kesunyian mencakar-cakar semesta. Sesekali, terdengar lolongan anjing-anjing gelisah dari arah pemakaman. Sambil menguik angkuh, Suharta yang telah menjelma babi, melompat dan menembus dinding, meninggalkan aroma bangkai yang tak kunjung memudar. Di luar, bulan dan bintang tertutup kabut sihir. Dari celah-celah daun jendela yang terkuak, terlihat kegelapan sepekat tinta cumi-cumi menutupi alam semesta.

Malam semakin terlelap. Seluruh permukaan langit diselimuti awan. Lampu listrik yang menerangi jalan, telah mati sejak sore. Perlahan-lahan, satu per satu lampu minyak tanah di rumah penduduk, dipadamkan angin beraroma kembang setaman. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu minyak tanah di hadapan Siti. Ia harus menjaga kerlip cahaya di sumbu lampu itu, hingga Suharta menghambur dengan karung berisi harta. Bila nyala lampu minyak tanah itu padam, maka tamatlah riwayat Siti. Suharta akan kembali menjadi manusia dan menghabisi nyawanya.

Siti menatap kerlip api di sumbu lampu dengan pilu. Di dalam kepalanya berlari bayangan orang-orang miskin, janda-janda, pelacur-pelacur, anak-anak mengais sampah, pemuda-pemuda yang menjual ginjal, hingga TKW dan TKI yang dibunuh majikan. Semilir angin sedingin es seolah meniupkan jeritan mereka.

Jeritan-jeritan orang miskin tersebut, terus memenuhi tengkorak kepala Siti. Membuat otak istri siluman babi itu seolah meledak. Siti mencabut-cabut rambut dan membentur-benturkan kepalanya ke punggung dinding. Tanpa sadar, kakinya menghantam lampu minyak tanah yang diurapi mantra. Rantai sihir pun patah seketika. Nyala lampu minyak itu berganti kobaran api yang merayapi permadani Turki. Di kejauhan, Suharta terkesiap. Ia kembali ke wujud asli. Tubuhnya gemetar menatap jelaga serupa cendawan raksasa yang membumbung dari rumahnya.

"Dancuk! umpat Suharta.

Malam pun terbangun. Langit melepaskan selimut awan dan menyisakan bulan bugil pucat yang membanjiri alam dengan sinar sewarna perak. Bunyi kentongan bersahut-sahutan, melengking, dan merobek kesunyian malam.    

SULFIZA ARISKA
Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogyakarta. Jatuh cinta pada sastra sejak bersekolah di tempat Hartojo Andangdjaja (4 Juli 1930 - 30 Agustus 1991) pernah mengajar: SMA Negeri Simpang Empat, Pasaman. Pemuda Berprestasi Tingkat Nasional Penghargaan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga 2010 dalam puncak Nasional Hari Sumpah Pemuda di Surakarta, 28 Oktober 2010. Tahun 2012, ia memenangkan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 dengan naskah Simpul Waktu. Tahun 2014, ia terpilih sebagai penulis emerging Indonesia dalam Ubud Writers and Readers Festival ke-11 di Bali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun