Mohon tunggu...
Siska Amelia
Siska Amelia Mohon Tunggu... Lainnya - Live for your life

Mahasiswa Bimbingan & Konseling UNIMMA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bidadari Tak Bersayap Itu Ibu

8 Januari 2022   10:10 Diperbarui: 22 Juni 2022   06:24 1996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

        Barangkali kenyataan bahwa surga berada di telapak kaki ibu memanglah sebuah kebenaran yang hakiki, perjuangannya menggadaikan nyawa demi sang buah hati rela ia pertaruhkan tanpa adanya sebuah syarat dan juga imbalan.

Kasih ibu begitu luar biasa, tanpa ada seorangpun tandingan yang dapat menyainginya. Seketika, aku yang baru tersadar dari jurang kegelapan itu meneteskan air mata. Mengingat bagaimana diriku yang terkadang menaikkan nada tinggi saat ibuku tak mampu menuruti keinginanku.

Bagaimana diriku yang enggan saat disuruh membeli beberapa kebutuhan dapur, bahkan jarak warung dari rumah tak sampai sepuluh menit, hanya karena kesibukanku yang tak terlalu memiliki manfaat. Hingga tentang hal sepele lainnya yang membuat hati ibuku terluka.

Sungguh, mengingat itu semua aku benar-benar menyesal. Ingin kuhapus memori-memori yang begitu kejam itu, namun sayangnya jalan takdir memanglah seperti ini. Takdir memang menginginkan memori itu berputar untuk menyadarkanku tentang sebuah kekhilafan yang begitu besar.

"Nak, Amma. Sini to, bantuin ibu masak. Delok tv ne ngko neh," panggilnya dengan logat jawanya yang kenthal.

Seketika aku yang sedang diam-diam memperhatikan ibuku dari ruang tengah, mengusap air mataku dengan asal. Sebelum ibuku melihat raut wajahku yang saat ini begitu memelas.

Aku pun kemudian beranjak dan kembali membantu ibuku yang sedang memasak Gulai ayam.

"Nonton tv wae, iki ayam e matengke sek, enak spean to nduk le masak daripada ibuk,"  ujarnya sembari menjitak kepalaku.

Aku mengerucutkan bibirku beberapa senti kedepan, sembari mengelus-ngelus kepalaku yang sama sekali tak merasa sakit. Karena jitakan dari ibu yang tak benar-benar serius. 

Ini adalah salah satu taktiknya, saat ibu sedang bermalas-malasan tidak ingin memasak. Maka secara tidak langsung, ibu memintaku untuk menggantikannya dengan alasan bahwa masakanku lebih enak dibandingkan masakan ibu.

Padahal sebenarnya, bagi aku masakan ibu selalu terbaik. Ingin memasak apapun itu, maka rasa yang teracik dari tangan seorang ibu tak akan ada tandingannya.

"Sek, ibuk mau istirahat dulu. Pegel pinggang e," ujarnya sembari tersenyum licik, meninggalkanku seorang diri didapur.

Aku pun hanya bisa pasrah dengan raut wajah yang absurd kemudian lengkungan sabit itu tercipta. Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari terkekeh mengingat kelakuannya.

Seketika air mata ini kembali menetes haru,  tangan halus yang mulai keriput, rambut hitam yang mulai memutih. Mengingatkanku akan berjalannya waktu yang begitu cepat. Dan diusiaku yang ingin menginjak 20 tahun ini, aku masih saja belum bisa memberikan yang terbaik untuk membalas semua jasa-jasa dan segala pengorbanannya untuk diriku.

Yang bisa aku lakukan hanyalah sebagian kecil dari sebagian besar waktunya untuk merawat dan mengurusku hingga aku sampai pada detik ini.

Bagiku, Ibu adalah bidadari tak bersayap yang selalu murni akan kasih sayangnya.

Bentakan, teguran yang ia lontarkan kepadaku adalah sebagian dari rasa kasihnya kepada seorang anak yang begitu dicintainya. 

Namun sayangnya, dulu aku tak begitu menyadarinya. Aku terkadang mengabaikan tegurannya, nasehatnya, bahkan bentakannya saat egoku kekeuh bahwa aku tak bersalah.

Dan seiring waktu berlalu, mengingat diriku yang berjalan menuju tangga kedewasaan. Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT memberikanku sebuah tamparan yang begitu menyakitkan  melalu kepingan-kepingan memori tajam, yang kemudian membuat diriku tersadar akan kesalahan besar yang aku perbuat.

Manusia itu tiada sempurna memang, namun introspeksi diri untuk menjadi manusia yang lebih baik adalah salah satu hal yang sangat perlu. Dan aku sedang berusaha berjalan menuju hal baik itu.

"Sudah jadi belum Amma?" teriak ibu dari ruang tengah, membuyarkan pikiranku yang sedang berkelana.

"Sampun buk, tinggal diangkat aja." 

Setelah aku menyicipinya, memastikan bahwa rasanya sempurna. Aku pun mengangkat masakan tersebut ketempat yang sudah tersedia.

"Wah, baunya aja enak banget. Pasti rasanya nggak kalah enak," celetuk ibu tiba-tiba, berdiri dibelakangku membuatku sedikit terkejut.

"Ibuk itu, ngagetin aku," ujarku berpura-pura merasa kesal.

"Hheheeh, maaf  nduk," jawabnya dengan cengirannya yang khas.

Setelah semuanya selesai, aku kembali menuju ruang tengah untuk melihat apa yang sedang ibu tonton tadi. 

Seketika, seulas senyum itu kembali mengembang, melihat bulan sabit yang melengkung dipipi bidadari tak bersayapku sedang mengambil gulai ayam yang tadi aku masak. Kebahagiaanku begitu melimpah, hanya dengan melihat senyuman dari ibuku.

"Nopo nduk, kok mesam-mesem dewe. Ayo lek maem," tegurnya membuatku tersadar dari lamunanku

"Hehehe, enggak ada apa-apa kok buk. Nanti aja, ibuk makan dulu Amma belum laper," jawabku tersenyum

"Oh," jawabnya hanya ber-oh ria

Mulai detik ini, aku berjanji kepada diriku sendiri untuk selalu membuat ibuku tersenyum seperti halnya saat ini.

Aku dan keluargaku memang tak memiliki kekayaan apapun untuk dibangga-banggakan, namun hidup sederhana dengan kebersamaan yang tiada habisnya ini membuatku sangat bersyukur. Bahkan memiliki harta dan tahta yang melimpahpun tak menjamin kebahagiaan yang tenteram.

Memang benar adanya, bahwa manusia jikalau memandang keatas mengenai hal duniawi, maka selamanya ia akan selalu merasa tidak cukup. Namun sebaliknya, jikalau hal duniawi ia pandang kebawah hidup seburuk apapun itu, ia akan selalu merasa bersyukur mengingat apa yang saat ini ia dapatkan belum tentu orang miliki.

Maka bersyukurlah, dan hargailah apa yang saat ini kamu miliki. Allah itu Maha Tahu, Ia mengerti apa yang kamu butuhkan dan bukan yang kamu inginkan. 

- END

CATATAN PENULIS :

Buat teman-teman yang telah sudi mampir, saya ucapkan terimakasih banyak. Semoga cerita yang saya buat ini bisa menjadi pembelajaran untuk teman-teman semua

Jujur, ini murni karya saya asli tanpa copas dari orang lain. Jikalau ada kata-kata yang kurang pas, mohon dimaklumi🙏 saya juga sedang belajar bagaimana menulis yang baik.

Dan saya harap, hargai tulisan yang saya buat ini. Jangan asal memplagiat tulisan yang bukan hak teman-teman. 

Ingat! Plagiarisme dosa hukumnya, sebuah kedzaliman dan segala perbuatan yang teman-teman lakukan akan dipertanggung jawabkan diakhirat kelak.

Surah An - Nisa ayat 29. "Hai orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jangan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu ...."

Juga dalam Alquran surah as-Syuara ayat 183, "Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan."

Sekali lagi, terimakasih buat teman-teman yang telah membaca :)

Saya bisa ditemukan di :

- Instagram : @ka_amaliaaa

- Twitter. : @ka_amaliaaa

https://twitter.com/ka_amaliaaa

- Facebook :

https://www.facebook.com/sizka.amelia.3781

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun