Jika kita memperingati Hari Pahlawan, tentu sebagian besar orang langsung mengenang nama Bung Tomo. Ya memang benar, Sutomo atau lebih dikenal dengan sapaan Bung Tomo adalah salah satu tokoh pahlawan nasional yang berjuang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya melawan sekutu Inggris-Belanda. Bung Tomo lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920 dan meninggal pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi. Beliau sering dikenal juga dengan pidatonya yang berapi-api yang dapat membakar semangat rakyat Indonesia dalam melawan berbagai bentuk penjajahan.
Perjuangan Bung Tomo dimulai ketika Indonesia baru merdeka dan sedang mengalami fase kritis dalam menentukan tujuan nasional. Saat itu, muncul berbagai upaya dari negara lain yang datang untuk mengusik kemerdekaan bangsa Indonesia. Tentara sekutu Inggris dan Belanda (NICA) yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby datang ke Surabaya untuk melakukan aksi gencatan senjata. Latar belakang pertempuran ini adalah pengibaran bendera Belanda di hotel Yamato pada 18 September 1945. Tak berselang lama tepatnya 19 september 1945, rakyat serta arek-arek Surabaya datang untuk menurunkan dan merobek bendera Belanda.
Gencatan senjata kemudian tidak terelakkan dan berlangsung selama tiga hari berturut-turut yang dimulai pada 27 Oktober 1945. Bung Tomo yang ditunjuk sebagai ketua umum organisasi Barisan Pertempuran Rakyat Indonesia atau disingkat BPRI akhirnya menggerakkan barisan pejuang Indonesia. Tepat pada tanggal 30 Oktober 1945, pertempuran ini menewaskan pemimpin tentara sekutu NICA Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby.
Kemarahan tentara sekutu semakin bertambah dengan tewasnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby. Kemudian, dari pihak sekutu Inggris-Belanda mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Indonesia untuk menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu. Disini, Bung Tomo hadir untuk meyakinkan rakyat Indonesia agar tidak takut terhadap ultimatum tersebut. Pada saat itu, bangsa Indonesia yang baru saja merdeka dan minim persenjataan hampir memilih jalan diplomasi melalui Soekarno dan Moh Hatta. Namun, Bung Tomo dengan tegas menolak dan tidak ingin adanya negosiasi dengan para penjajah.
Berkat pengalaman sebelumnya menjadi jurnalis dan wartawan di berbagai redaktur massa seperti Jawa Express, Pembela Rakjat, dan Poestaka Timoer, Bung Tomo pun memiliki pemikiran kritis dan aktif menyuarakan perlawanan dengan pidato yang membakar semangat juang rakyat Indonesia. Melalui media radio, beliau terus-menerus melantunkan kalimat patriotisme dan nasionalisme kepada seluruh rakyat indonesia khususnya arek-arek Surabaya.
Salah satu orasi Bung Tomo yang paling membekas ketika beliau mengucapkan "Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih. Selama itu kita tidak akan menyerah pada siapapun juga. Merdeka atau mati!". Jelas kutipan pidato tersebut dapat membuat telinga siapun bergetar ketika mendengarnya. Akhirnya, pada 10 November 1945 pertempuran dahsyat pun meledak di seluruh penjuru Surabaya. Perjuangan Bung Tomo beserta arek-arek Surabaya pun tidak sia-sia dengan berhasil memukul mundur barisan tentara sekutu Inggris-Belanda untuk keluar dari Indonesia.
Dari sepenggal cerita diatas, tentu banyak hikmah dan keteladanan yang dapat diambil dari tokoh pahlawan nasional Bung Tomo. Sikap nasionalisme dan patriotisme harus senantiasa tumbuh dalam benak masyarakat Indonesia khususnya pemuda-pemudi bangsa. Kita harus juga memiliki sikap kritis dan aktif menyuarakan perlawanan terhadap berbagai bentuk ancaman yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI seperti separatisme, radikalisme, maupun terorisme. Kesejahteraan dan juga keadilan bagi rakyat Indonesia pun harus senantiasa kita utamakan.
Bung Tomo merupakan salah satu sosok nyata pahlawan yang memiliki sikap rela berkorban dan pantang menyerah dalam memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Untuk itu, kita sebagai pemuda-pemudi generasi penerus bangsa harus mampu mampu memberikan peran yang lebih dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Jika dahulu pahlawan seperti Bung Tomo berjuang dengan melawan segala bentuk penjajahan, maka saat ini kita harus berjuang untuk bersaing dengan negara-negara lain dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jangan sampai bangsa Indonesia diremehkan apalagi dijajah kembali secara tidak langsung oleh bangsa lain. Â
Keterangan:
Tulisan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bela Negara,
Nama  : Imawan Mashuri
NPT Â Â Â : 21210017
Prodi   : Klimatologi 1
Dosen  : Bapak Fendy Arifianto, M.Si.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H