Mohon tunggu...
Dwiki Anugerah Atmojo
Dwiki Anugerah Atmojo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Climatologist

Indonesia State Collage of Meteorology, Climatology, and Geophysics

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Adaptasi dan Kelangsungan Hidup Cengkeh: Warisan Maluku di Kala Tantangan Kondisi Iklim

8 November 2024   10:27 Diperbarui: 8 November 2024   10:54 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science

Cengkeh hutan (Syzygium obtusifolium L.) bersama dengan tanaman cengkeh aromatik seperti Ambon, Sanzibar, Sikotok, Siputih, dan lainnya merupakan tanaman asli Indonesia dengan asal usul dari Kepulauan Maluku. Menurut [1], Maluku telah menjadi daerah penghasil cengkeh terbesar di Indonesia sejak tahun 2015, dengan kontribusi rata-rata sebesar 15,37%. Luas perkebunan cengkeh pada tahun 2018 tercatat sebesar 569.052 ha, kemudian meningkat menjadi 570.353 ha pada tahun 2020 dengan produksi tercatat sebesar 131.014 ton pada tahun 2018 dan meningkat menjadi 137.758 ton pada tahun 2020. Kepulauan Maluku dikenal sebagai "pusat asal" sebaran cengkeh di dunia [2], [3], [4], [5], [6].

Dari daerah tersebut, jenis tanaman tersebut menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, kemudian menyebar ke Kepulauan Sanzibar Republik Tanzania dan Republik Madagaskar di kawasan Afrika Timur. Persebarannya hingga di kawasan tersebut juga dijelaskan di dalam penelitian yang dilakukan oleh Danthu dkk. pada tahun 2014, yang menyatakan bahwa tanaman cengkeh yang berkembang berasal dari Kepulauan Maluku Indonesia pada awal abad ke-19. Tanaman ini merupakan jenis tanaman rempah yang termasuk dalam famili Myrtaceae yang merupakan tanaman asli Indonesia terutama dari Kepulauan Maluku [2], [4], [7], [8].

Di Provinsi Maluku terdapat dua jenis tanaman cengkeh, yaitu cengkeh budidaya yang sering dikenal dengan sebutan cengkeh tuni atau cengkeh ambon yang merupakan cengkeh aromatik karena memiliki kandungan eugenol yang tinggi. Kandungan eugenol inilah yang menjadikan jenis tanaman cengkeh ini memiliki aroma yang khas. Jenis kedua adalah cengkeh non aromatik yang meliputi dua jenis yaitu cengkeh raja dan cengkeh hutan. Kedua jenis ini merupakan tanaman cengkeh yang belum banyak dibudidayakan karena tiga hal, yaitu pertama memiliki nilai ekonomis yang relatif rendah dibandingkan dengan cengkeh aromatik. Kedua, memiliki kandungan eugenol yang tidak terlalu tinggi sehingga aroma khas cengkeh tersebut kurang terasa, dan ketiga mudah rusak atau busuk jika disimpan dalam waktu lama. Tanaman cengkeh raja merupakan salah satu aksesi cengkeh asli Maluku, yang berasal dari persilangan antara cengkeh hutan dengan cengkeh yang dibudidayakan oleh spesies Ambon varietas tuni [9], [10], [11].

[12] mengatakan bahwa jenis tanaman cengkeh yang banyak dibudidayakan di Indonesia, termasuk di Maluku adalah cengkeh Ambon, Sansibar, Siputih, dan Sikotok. Di Provinsi Maluku, terdapat jenis (spesies) tanaman cengkeh yang belum dibudidayakan dan dikembangkan oleh masyarakat petani. Jenis tanaman cengkeh ini dikenal dengan sebutan cengkeh hutan, karena spesies tanaman cengkeh tersebut berasal dari biji cengkeh yang tumbuh liar di hutan. Selama beberapa tahun terakhir ini, sebagian petani di Maluku mulai mengembangkan budidaya tanaman cengkeh ini dengan mengambil biji yang tumbuh di bawah tegakan cengkeh hutan. Selain itu, ada sebagian petani yang melakukan pembibitan untuk memenuhi kebutuhan benih dalam kegiatan budidayanya.

 Keinginan sebagian masyarakat petani di Maluku untuk melakukan kegiatan budidaya cengkeh hutan adalah karena masa pembungaannya relatif pendek. Setelah dipanen, sekitar 8-9 bulan, tanda-tanda munculnya bunga primordia sudah mulai terlihat. Dengan kata lain, kelebihan tanaman cengkeh hutan ini adalah dapat berbunga atau berbuah setiap tahun dengan umur berbunga setelah tanam sekitar 4-5 tahun. Berbeda dengan tanaman cengkeh aromatik, setelah dipanen masa berbuahnya relatif lebih lama atau lebih lama. [13] menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi petani kita dalam membudidayakan dan mengembangkan tanaman cengkeh aromatik adalah: 1). Masa awal produksi cengkeh cukup panjang, yaitu setelah umur 5-7 tahun, dan 2). Fluktuasi hasil yang cukup tinggi yang dikenal dengan siklus 2-4 tahun, produksi tinggi pada tahun tertentu diikuti dengan penurunan produksi pada 1-2 tahun berikutnya yang dipengaruhi oleh kondisi perubahan iklim regional.

Perubahan iklim juga dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran musim di berbagai daerah. Misalnya, musim kemarau yang panjang dan kekeringan. Musim hujan akan berlangsung dalam waktu yang singkat dengan kecenderungan intensitas curah hujan yang lebih tinggi dari curah hujan normal. Hal ini terkait dengan fenomena El Nino dan La Nina yang berdampak pada kelebihan curah hujan di satu sisi (banjir) dan kekurangan air di sisi yang lain (kekeringan). Pada saat kekeringan terjadi dalam jangka waktu yang panjang, akan mendorong semakin meningkatnya permintaan air tawar oleh konsumen. Dengan demikian menyebabkan penurunan kuantitas air tanah. Air tanah merupakan sumber daya alam yang penting yang menjamin kelangsungan hidup makhluk hidup, terutama manusia. Faktor utama yang menentukan pentingnya air tanah adalah kualitasnya. Namun, kelangkaan air, pencemaran air, banjir, dan kekeringan merupakan tantangan saat ini yang dapat bertambah parah akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, perubahan curah hujan menyebabkan perubahan sumber daya air [14], sehingga mempengaruhi semua sektor yang menggunakan air sebagai kebutuhan pokok.

Curah hujan merupakan pendorong utama variabilitas dalam neraca air di ruang dan waktu, dan perubahan curah hujan memiliki implikasi yang sangat penting bagi hidrologi dan sumber daya air. Variabilitas hidrologi dari waktu ke waktu di daerah tangkapan air dipengaruhi oleh variasi curah hujan dalam skala waktu harian, musiman, tahunan, dan dekade. Indonesia termasuk Kepulauan Maluku, yang dipisahkan oleh garis khatulistiwa memiliki iklim yang hampir seluruhnya tropis. Variasi ekstrem dalam curah hujan terkait dengan musim hujan. Pada periode Februari sampai Mei curah hujan meningkat sehingga Mei dikenal sebagai puncak musim hujan. Sebaliknya, curah hujan menurun drastis pada periode Mei sampai September, dimana September merupakan waktu terendah curah hujan atau puncak musim kemarau. Selanjutnya curah hujan akan meningkat hingga Desember. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di Indonesia maupun Kepulauan Maluku terdapat tiga musim, yaitu musim kemarau (Juni sampai September) dan musim hujan (Desember sampai Maret). Dan bulan-bulan lainnya merupakan musim peralihan.

Meskipun jenis tanaman cengkeh hutan ini sudah banyak dibudidayakan dan dikembangkan oleh sebagian masyarakat petani di Maluku, namun belum diketahui secara pasti ciri-ciri dari tanaman cengkeh dalam beradaptasi dengan kondisi iklim. Jenis tanaman cengkeh hutan agar dapat mengenalinya dengan lebih baik, mendalam dan menyeluruh maka diperlukan upaya karakterisasi terhadap kondisi iklim di Maluku. Karakterisasi terhadap jenis tanaman cengkeh ini selama ini yang diketahui masih relatif terbatas, oleh karena itu untuk mengetahui ciri morfologi, anatomi dan genetiknya diperlukan upaya melalui karakterisasi. [15] dalam penelitiannya mengemukakan bahwa suatu tanaman memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan tanaman lainnya. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat dari beberapa bagian tanaman. Bagian-bagian tersebut disebut sebagai kunci dalam pengenalan jenis tanaman tersebut. Pada bagian-bagian tanaman tersebut dapat dilihat ciri-ciri morfologi tanaman yang beberapa diantaranya adalah ciri-ciri perawakan, batang, tajuk, kulit kayu, kayu, getah, daun, bunga, buah, biji. Ciri-ciri morfologi tumbuhan telah lama dijadikan dasar pengenalan jenis tumbuhan, oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui ciri-ciri morfologi tumbuhan tempat jenis tersebut diidentifikasi. Hal tersebut tentunya sejalan dengan pengaruh dari kondisi iklim di wilayah setempat terhadap perkembangan suatu tanaman yang dalam hal ini khususnya cengkeh yang tedapat di Maluku.

Sistem perakaran tanaman cengkeh hutan di daerah pulau Ambon seperti tanaman cengkeh aromatik pada umumnya, tanaman cengkeh hutan memiliki sistem perakaran tunggang, artinya dari akar primer kemudian tumbuh akar lateral, berupa akar cabang primer yang diikuti oleh akar-akar sekunder dan seterusnya. Akar utama berupa akar pokok yang tumbuh ke dalam tanah dapat mencapai kedalaman berkisar 60-100 cm. Pada pangkal akar utama maupun sebagian pangkal batang utama tumbuh akar-akar cabang primer (akar lateral) yang jumlahnya berkisar 4-6 akar lateral. Dari akar ini kemudian diikuti oleh terbentuknya akar-akar cabang sekunder, tersier, akar-akar kecil (kuartet), dan selanjutnya pada bagian ujung-ujungnya tumbuh akar cabang sekunder (akar lateral).

Dari akar tersebut tumbuh bulu-bulu akar yang berupa akar rambut. [11] menyebutkan bahwa tanaman cengkeh memiliki empat jenis akar, yaitu akar tunggang, akar lateral, akar serabut, dan akar rambut. Akar tunggang dan akar lateral memiliki ukuran yang relatif besar. Perbedaannya, akar tunggang tumbuh lurus ke bawah dan sedikit bercabang, sedangkan akar lateral tumbuh ke samping dan bercabang. Akar serabut berukuran kecil, sangat panjang, tumbuh ke samping dan ke bawah dalam jumlah yang banyak. Akar serabut ini memiliki banyak akar rambut yang sangat kecil yang berfungsi sebagai penyerap air dan unsur hara. [16] mengemukakan bahwa peranan akar dalam pertumbuhan tanaman sama pentingnya dengan tajuk. Sebagai gambaran, jika tajuk berfungsi untuk menyediakan karbohidrat melalui proses fotosintesis, maka fungsi akar adalah untuk menyediakan unsur hara dan air yang dibutuhkan dalam metabolisme tanaman. Akar lateral (cabang primer) dapat tumbuh dengan kisaran hingga 3,5-4,0 meter dari pangkal batang. Diameter pada pangkal akar lateral berkisar antara 11,5-15,5 cm. Sementara itu, diameter akar cabang sekunder berkisar antara 9-10 cm, akar tersier berkisar antara 3,5-5,5 cm, dan akar kuartet berkisar antara 0,5-1,5 cm. Panjang rambut akar berkisar antara 0,5-2,0 cm dengan diameter 0,5-1,0 mm. Pada sistem perakaran tanaman cengkeh hutan, jumlah cabang akar primer lebih sedikit dibandingkan dengan akar sekunder, akar ini lebih sedikit dibandingkan dengan akar tersier, rambut akar, dan juga akar serabut. Hasil penelitian [17] yang dilakukan pada tanaman sengon menemukan bahwa proporsi jumlah akar tersier sebesar 50%, lebih tinggi dibandingkan dengan akar sekunder (43%) dan primer (7%). Namun, jika dilihat dari segi diameter, akar tersier memiliki ukuran yang paling kecil, yakni berkisar antara 0,2 - 0,5 mm. Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan pada tanaman cengkeh hutan ini. Jadi sistem perakaran tanaman cengkeh hutan, semakin jauh dari pangkal akar atau batang, maka jumlah akarnya semakin banyak, tetapi memiliki diameter yang lebih kecil, artinya diameter cabang akar primer lebih besar daripada diameter akar sekunder, begitu seterusnya.

IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science

Bagian atas pangkal akar cabang primer umumnya muncul di permukaan tanah, kemudian kedalaman masuknya akar tersebut berkisar 10-50 cm di bawah permukaan tanah. Pangkal akar yang keluar di permukaan tanah umumnya memiliki karakter kaku dan kasar, memiliki garis keabu-abuan dan terdapat bintik-bintik hitam. Cabang akar sekunder dan tersier memiliki permukaan yang relatif halus dengan warna coklat muda, sedangkan akar kecil yang berupa akar kuartener dan akar rambut memiliki sifat permukaan halus berwarna putih kekuningan. Selain sebagian akar primer yang muncul di permukaan tanah, semua akar lainnya berada di bawah tanah atau di bawah akar permukaan tanah. Akar cabang-cabang baik primer, sekunder, maupun tersier semuanya berperan untuk menyangga tajuk tanaman cengkeh hutan agar dapat berdiri kokoh tidak mudah roboh. Fungsi penyangga dari sistem perakaran ini membuat tanaman cengkeh hutan tahan terhadap terpaan angin kencang atau badai. [18] menyatakan bahwa akar tanaman merupakan bagian terpenting dalam beradaptasi dengan lingkungannya sekaligus sebagai alat penyangga batang yang tegak agar pohon tidak mudah tumbang akibat desakan massa tanah, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan akar pohon dalam meningkatkan kuat geser tanah diperkirakan dengan mengukur kerapatan panjang akar. Begitu pula dengan kemampuan tanaman untuk bertahan hidup di lahan kering (marginal) dikarenakan arsitektur akar yang terbentuk seperti kedalaman akar dan penyebaran akar lateral disertai bulu-bulu akar yang tumbuh dan berkembang lebih kecil.

IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science

Batang tanaman cengkeh hutan pada umumnya berbentuk bulat, silindris, aktinomorfik, artinya semuanya bersilangan Bagian batang dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama atau hampir sama. Batang cengkeh hutan yang diamati memiliki diameter berkisar 12,5-25,5 cm pada umur tanaman 10-15 tahun. Artinya setiap tahun tanaman cengkeh hutan dapat mengalami pertambahan diameter 1,3-1,7 cm atau sekitar 1,1 mm per bulan. Diameter batang cengkeh hutan yang mencapai ukuran 25 cm mampu menopang tinggi pohon tanaman yang berkisar 6,5-8,0 m.

IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science

Tanaman cengkeh hutan memiliki daun yang berbentuk lonjong dan pangkal daunnya runcing. Panjang daun tanaman cengkeh hutan berkisar antara 15-25,5 cm dan lebar 5,5-9,5 cm. Hasil perhitungan faktor koreksi untuk menentukan luas daun adalah 0,65. Dengan faktor koreksi tersebut, luas daun tanaman cengkeh hutan berkisar antara 53,63-157,46 cm2. Hasil penelitian [19] menemukan bahwa bibit tanaman cengkeh aromatik Zansibar yang diberi pemupukan NPK 2,5 gram per tanaman memperoleh luas daun sebesar 21,56 cm2. Jika luas tersebut dibandingkan dengan luas daun tanaman cengkeh hutan yang tidak diberi perlakuan apapun, luas daun tanaman cengkeh hutan sekitar 2,5-7 kali lebih besar dibandingkan dengan daun cengkeh aromatik. Luas daun yang besar tersebut mampu menjalankan fungsi fisiologis fotosintesis secara optimal, paling tidak jumlah hasil fotosintesis berupa fotosintat yang dihasilkan mencapai perbandingan tersebut, yakni 2,5-7 kali lebih besar jika dibandingkan dengan fotosintat yang dihasilkan oleh tanaman cengkeh aromatik. [16] mengemukakan bahwa daun tanaman berperan penting dalam menjalankan fungsi fotosintesis dalam mengubah energi matahari menjadi energi kimia untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Laju asimilasi netto tanaman pada umumnya berbanding lurus dengan lebar daun tanaman. [18] menyatakan bahwa fotosintesis pada tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain luas daun, jumlah klorofil, dan faktor lingkungan. Luas daun berhubungan dengan kapasitas penyerapan cahaya. Cahaya yang diserap daun digunakan untuk sintesis klorofil yang kemudian diubah menjadi energi kimia dalam proses fotosintesis. Daun tanaman cengkih hutan berwarna hijau tua (139 A hijau), warna daun hijau menjelaskan tentang kandungan zat hijau daun (klorofil) yang terdapat pada tumbuhan. Zat hijau daun ini merupakan senyawa yang berperan dalam menangkap energi radiasi matahari dalam serangkaian proses fotosintesis. Hal itulah yang menyebabkan daun memegang peranan penting dalam kehidupan suatu tumbuhan. Begitu pula dengan tumbuhan cengkeh hutan. Klorofil memiliki fungsi utama dalam fotosintesis yaitu memanfaatkan energi matahari, memicu CO2 fiksasi untuk menghasilkan karbohidrat dan menyediakan energi. Karbohidrat yang dihasilkan dalam fotosintesis diubah menjadi protein, lemak, asam nukleat, dan molekul organik lainnya. Ciri lain dari daun tanaman cengkeh hutan adalah tidak terdapat alur pada tangkai daun, sudut tangkai daun runcing (<45o) dengan tepi daun rata dan tangkai daun hanya terdiri dari satu tangkai. Relief daun datar, permukaan atas daun tumpul, ujung daun agak keras, tekstur daun kuat dengan aroma daun lemah. Aroma daun lemah ini disebabkan tanaman cengkeh hutan memiliki kandungan eugenol yang rendah, berbeda dengan cengkeh aromatik pada umumnya yang memiliki kandungan eugenol tinggi sehingga memiliki aroma yang kuat atau sangat harum. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh [20] menunjukkan bahwa kadar minyak daun cengkeh hutan jauh lebih rendah dibandingkan dengan cengkeh aromatik seperti cengkeh Zanzibar, Sikotok dan Ambon. Selain itu dilaporkan pula bahwa kadar eugenol terendah terdapat pada spesies cengkeh hutan, sedangkan tertinggi terdapat pada spesies cengkeh Zanzibar.

Referensi: 

[1]         Direktorat Jendral Perkebunan, "Statistik perkebunan Indonesia komoditas cengkeh  2016-2018," Kementrian Pertanian, 2020.

[2]         A. Alfian, A. S. Mahulette, M. Zainal, Hardin, and A. H. Bahrun, "Morphological character of raja clove (Syzygium aromaticum L. Merr & Perry.) native from Ambon Island," IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci., vol. 343, no. 1, p. 012150, Oct. 2019, doi: 10.1088/1755-1315/343/1/012150.

[3]         Hariyadi, S. Asri, Mahulette, S. Yahya, and A. Wachjar, "Agro-morphologies and physicochemical properties of flower bud, stem and leaf oils in two clove varieties (Syzygium aromaticum L. Merr. and Perry.) originated from Ambon Island," CMUJNS, vol. 19, no. 3, Jul. 2020, doi: 10.12982/CMUJNS.2020.0034.

[4]         A. S. Mahulette, H. Hariyadi, S. Yahya, A. Wachjar, and A. Alfian, "Morphological Traits of Maluku Native Forest Clove (Syzygium aromaticum L. Merr & Perry)," 2019, Accessed: Nov. 08, 2024. [Online]. Available: https://agris.fao.org/search/en/providers/122436/records/64747bfc79cbb2c2c1b6a1c0

[5]         C. Cambier, J. Poppe, W. Galle, S. Elsen, and N. D. Temmerman, "The Circular Retrofit Lab: a multi-disciplinary development of a building envelope according to circular design qualities," IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci., vol. 855, no. 1, p. 012013, Oct. 2021, doi: 10.1088/1755-1315/855/1/012013.

[6]         S. Sundari, N. Nurhasanah, A. Mas'Ud, M. Amin, E. L. Arumingtyas, and R. Azrianingsih, "Short communication: Update phylogenetic information of the local varieties of cloves (Syzygium aromaticum) from North Maluku, Indonesia based on ITS sequences data," Biodiversitas, vol. 20, no. 6, May 2019, doi: 10.13057/biodiv/d200604.

[7]         A. Isnaeni and Y. Sugiarto, "Kajian kesesuaian lahan tanaman cengkeh (Eugenia aromatica L.) berdasarkan aspek agroklimat dan kelayakan ekonomi (Studi kasus Provinsi Sulawesi Selatan) crop land suitability for clove (Eugenia aromatica L.)," Jurnal Agromet Indonesia, vol. 24, Dec. 2010, doi: 10.29244/j.agromet.24.2.39-47.

[8]         Mahulette, S. Asri, S. Yahya, and A. Wachjar, "The physicochemical components and characteristic from essential oils of forest cloves Syzygium aromaticum (Myrtaceae) in Maluku Province, Indonesia," Plant Archives, vol. 19, no. 2, pp. 466--472, 2019.

[9]         Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, "Teknologi unggulan cengkeh: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian," Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2007, Accessed: Nov. 08, 2024. [Online]. Available: https://repository.pertanian.go.id/items/14260a66-ceec-436a-b6e8-cd63e1b87e54/full

[10]       F. Brambach, J. W. Byng, and H. Culmsee, "Five new species of syzygium (Myrtaceae) from Sulawesi, Indonesia," PK, vol. 81, pp. 47--78, Jun. 2017, doi: 10.3897/phytokeys.81.13488.

[11]       Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, "Prospek dan budidaya cengkeh," Bidang Pasca  Panen dan Sistem Informasi Perkebunan, 2010.

[12]       A. B. Santoso, "Upaya mempertahankan eksistensi cengkeh di Provinsi Maluku melalui rehabilitasi dan peningkatan produktivitas," J. Litbang Pert., vol. 37, no. 1, p. 26, Jun. 2018, doi: 10.21082/jp3.v37n1.2018.p26-32.

[13]       A. Ruhnayat, D. Manohara, and N. Bermawi, "Superior technology of clove cultivation to support superior varieties," Agricultural research and development agency center for plantation research and development, 2007.

[14]       IPCC, Climate change and water. in IPCC Technical Paper, no. 6. Geneva: IPCC Secretariat, 2008.

[15]       J. Kashiwagi, L. Krishnamurthy, J. H. Crouch, and R. Serraj, "Variability of root length density and its contributions to seed yield in chickpea (Cicer arietinum L.) under terminal drought stress," Field Crops Research, vol. 95, no. 2--3, pp. 171--181, Feb. 2006, doi: 10.1016/j.fcr.2005.02.012.

[16]       B. Guritno and S. Sitompul, "Analisis pertumbuhan tanaman UGM," Press Yogyakarta, 1995.

[17]       O. Rusdiana, "Respon pertumbuhan akar tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) terhadap kepadatan dan kandungan air tanah podsolik merah kuning," p. 2000.

[18]       D. Mudiana, "Syzygium (Myrtaceae) di sepanjang Sungai Welang Taman Wisata Alam Gunung Baung Purwodadi," Majalah Ilmiah Biologi BIOSFERA: A Scientific Journal, vol. 26, no. 1, pp. 35--42, 2009.

[19]       Y. Yusdian and R. Haris, "Respon pertumbuhan bibit cengkeh (Syzgium aromaticum (L.) Merr dan Perry) kultivar zanzibar akibat pupuk NPK dan pupuk organik cair," Paspalum, vol. 4, no. 1, p. 59, Oct. 2017, doi: 10.35138/paspalum.v4i1.24.

[20]       N. Nurdjannah and I. Mariska, "Diversifikasi penggunaan cengkeh," vol. 3, 2004.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun