Mudah-mudahan pembaca masih ingat dengan organisasi masyarakat bernama Gafatar yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Â Mencuatnya nama organisasi masyarakat bernama Gafatar beberapa waktu lalu menyita perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia. Â Hal ini tidak lepas dari pemberitaan awal soal kasus hilangnya dokter cantik asal Lampung yang meninggalkan suaminya tanpa pamit, lalu ditemukan di Kalimantan bersama dengan beberapa orang anggota Gafatar. Â Berita ini, lalu menyebar dengan tema kesesatan Gafatar yang diisukan menyebar aliran sesat milah abraham karena selain Gafatar bukan ormas yang agamis, sikap ketua umum Gafatar Mahful M. Tumanurung juga membuat khalayak ramai kebakaran jenggot akibat statementnya yang mengatakan bahwa dirinya telah keluar dari paham Islam Mainstream. Klop!
Gafatar memang sudah bubar setelah diadakannya kongres nasional tahun lalu, sebabnya adalah tidak diperolehnya pengesahan dan pengakuan pemerintah terhadap organisasi ini. Â Jadi, ketika heboh pengusiran ribuan orang mantan anggota Gafatar dari Mempawah beberapa waktu lalu itu adalah lebih tepat bila disebut sebagai pengusiran eks anggota Gafatar.
Gafatar, pada dasarnya adalah organisasi masyarakat yang fokus kepada bidang agraria atau pertanian. Â Bahkan, menjadi program utama mereka yaitu dikenal sebagai Pertanian Mandiri. Â Penulis sendiri tinggal di daerah yang sebelumnya merupakan basis pergerakan Gafatar terbesar di Lampung, yaitu kabupaten Lampung Tengah. Â Jadi, sedikitnya sudah mengamati apa saja kegiatan yang rutin dilakukan oleh gerakan ini.
Pada dasarnya, kegiatan yang dilakukan oleh Gafatar sejauh ini hanyalah kegiatan sosial, penyuluhan petani, donor darah, kerja bakti, rapat dan pertemuan secara berkala. Â Berdasarkan keterangan dari seseorang yang pernah dekat dengan pentolan Gafatar di Panggungan, anggota-anggota Gafatar dinilai cukup kompak dan berisi orang-orang yang memiliki reputasi baik secara kemasyarakatan maupun intelektual. Â Beberapa dari anggota adalah guru,kepala sekolah, bidan, dokter, orang dinas dan mahasiswa-mahasiswa. Hal ini cukup aneh mengingat bahwa berita yang beredar mengatakan bahwa Gafatar adalah organisasi berbasis agama, padahal dilihat dari kegiatannya, Gafatar lebih khusus bergerak dalam bidang bantuan dalam pertanian melalui kelompok-kelompok tani.
Yang aneh lagi, kita bisa menemukan keterangan bahwa anggota Gafatar justru juga diisi oleh orang-orang yang tidak boleh diremehkan kualifikasi akademik atau profesinya, sebut saja dokter cantik asal Lampung yang hilang di Yogyakarta tadi. Â Apakah cuci otak yang dilakukan oleh Gafatar begitu canggihnya?, saya kira tidak. Â Dibalik kerusuhan Gafatar yang booming berkat provokasi media itu lah penulis menemukan banyak kejanggalan-kejanggalan.
Nasib Gafatar ini mirip dengan PKI, organisasi partai berbasis akar rumput yang walaupun sempat eksis sekian lama dan memiliki andil dalam sejarah kemerdekaan RI namun diberangus keberadaannya hanya karena kejadian yang manipulatif. Â Kemiripan PKI dan Gafatar ini adalah basis gerakannya, keduanya memiliki concern kepada bidang Agraria. Â Dukungan kepada petani untuk menciptakan sistem pertanian mandiri adalah bertolak belakang dari gagasan feodalisme modern yang bersumber dari Kapitalisme, ketika dalam gagasan Gafatar yaitu menganjurkan Anggotanya untuk hidup secara swasembada dengan program pertanian mandiri, mereka bertani bersama, menikmati hasil tani bersama dan menciptakan sebuah sistem kemasyarakatan sosialis yang tidak mengenal kekuasaan pribadi, kapitalisme justru memecah masyarakat ke dalam tingkat-tingkat berdasarkan kekuatan modal, sehingga tercipta bentuk kekuasaan pribadi tergantung dari modal yang dimiliki.
Kemiripan selanjutnya antara Gafatar dan PKI adalah tuduhan kontra-religius yang dialamatkan kepada keduanya. Â Kita tahu bahwa PKI secara massif dipropagandakan sebagai partai yang tidak mengenal agama dalam gagasan yang disebarkannya sehingga disebut partai Atheis, Â sampai sekarang, persepsi Komunis=Atheis masih terasa hingga pelosok. Â Gafatar dalam hal ini juga sama. Â Tidak secara pasti basis agama mana yang mendasari pergerakan organisasi ini sehingga Gafatar dengan mudah dilabeli sebagai organisasi yang tidak mengenal agama dalam konsepnya, apalagi, tuduhan menganut milah abraham yang secara geregetan diamini oleh Mahful M.Tumanurung membuat Gafatar langsung menjadi bulan-bulanan MUI. Â Berbeda dengan partai sapi yang beberapa waktu lalu ditangkap ketuanya, meskipun jelas kejahatannya dalam korupsi daging sapi serta kepemilikannya atas beberapa wanita, namun karena mengusung agama maka partai itu tetap eksis sampai sekarang.
Penulis melihat bahwa penghancuran Gafatar ini adalah sebuah rekaya yang disusun secara begitu Terstruktur, sistematis, dan massif. Â Adalah hal yang janggal apabila badan intelijen kita sampai luput terhadap gerakan yang dinilai berbahaya ini padahal kegiatannya secara nyata-nyata dilakukan terbuka dan tidak luput dari masyarakat. Â Lalu, pengusiran eks anggota Gafatar dan pembakaran mess lahan di Mempawah juga merupakan tindakan yang provokatif, itu memicu orang lain untuk ikut menghakimi Gafatar sebagai sesuatu yang berbahaya. Â Tidak ada alasan yang begitu jelas dalam aksi pengusiran dan pembakaran itu kecuali satu, isu tentang aliran sesat dalam organisasi Gafatar.
Padahal, sampai sekarang belum ada bukti konkrit yang menjurus kepada apa yang dituduhkan kepada Gafatar, baik itu tuduhan penyebaran aliran sesat maupun hal-hal yang menyimpang dari ketentuan hukum. Â Bahkan, ketika mendengar rencana pemerintah memberikan bantuan berupa pemulihan spiritual itu, dipertanyakan oleh orang-orang yang pulang dari Mempawah, apa yang hendak dipulihkan?. Â Orang-orang yang berada di Mempawah hanya tahu bahwa mereka akan membangun sebuah daerah pertanian mandiri lengkap dengan sumber daya manusia pendukungnya seperti dokter, guru, dan bidan. Â Tidak pernah ada wacana soal penyebaran agama baru dalam Gafatar, pun, Gafatar yang merupakan organisasi yang mengusung pluralisme itu bukanlah organisasi agama.
Penghancuran Gafatar yang memang sudah bubar itu adalah sebuah kengerian yang nyata bagi kemajemukan di Indonesia. Â Penulis merasa ada rekayasa politik terkait berbau kapitalisme dibalik hebohnya kasus Gafatar ini. Â Kita seolah dipertontonkan betapa naasnya siapa saja yang bergerak dalam bidang agraris dan berusaha untuk merevitalisasi sektor tersebut, dan dengan dalih penistaan agama kita dipalingkan dari sebuah gagasan bagus yang hendak dibangun. Â Masyarakat digiring untuk ribut soal ranah keyakinan yang pribadi dan tidak terbukti, dan memilih meninggalkan ide-ide cemerlang yang digagas oleh Gafatar. Â Padahal, jika negara mau membangun konsep yang sama soal pertanian mandiri itu, tentu keuntungannya akan dirasakan rakyat. Â Nyatanya tidak, kita sedang berhadapan dengan pemilik modal dan perusahaan besar yang meraup keuntungan besar dari Indonesia, merambah kekayaan Indonesia dan menjadikan hutan serta lahan kita sebagai ladang sawit. Â Ironisnya, perusahaan-perusahaan itu memiliki ijin dan perlindungan dari pemerintah. Â Kita seharusnya berpikir; tanah kita lebar tapi kenapa petani kita tidak makmur?, kenapa tidak bisa swasembada pangan?.
Ksatria-ksatria Kapitalisme tahu betul bahwa gerakan yang dilakukan Gafatar ini akan menimbulkan akibat yang luar biasa apabila diadopsi oleh seluruh rakyat Indonesia. Â Rakyat Indonesia akan kembali menggarap tanah mereka, dan makan dari apa yang mereka tanam serta hidup secara gotong royong, tidak lagi bergantung pada hasil gaji perusahaan-perusahaan yang memaksa mereka bekerja dan membeli produk dari perusahaan-perusahaan itu, yang pada akhirnya gaji dari perusahaan hanya akan habis untuk membeli produk dari apa yang mereka buat. Â Dalam bertani, orang tidak akan makan sampai dia bekerja dan menanam, sementara dalam sistem kapitalis, orang yang memiliki modal akan tetap makan meski tidak bekerja, cukup membayar orang agar bekerja sebagai mesin uangnya. Bahaya tentang kapitalisme sudah lama digaungkan oleh PKI saat melawan kolonialisme, namun sayang, setelah kehancuran PKI lebih dari 50 tahun yang lalu itu akibat Gestapu menandai runtuhnya kesadaran rakyat Indonesia atas bahaya Kapitalisme.