Mohon tunggu...
Juni Wati Sri Rizki
Juni Wati Sri Rizki Mohon Tunggu... Dosen - Ketua Yayasan Muslimah Peduli Alam

Pencinta seni dan pembelajar yang gemar berdiksi sekaligus menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Habiskan Makanmu, di Luar Sana Banyak Orang Kelaparan

5 April 2019   23:35 Diperbarui: 6 April 2019   00:00 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terus terang saya paling sebal melihat orang menyia-nyiakan makanan. Kerapkali saat menghadiri pesta saya membatin, ketika menyaksikan tamu undangan mengambil sejumlah makanan, sekadar mencicipinya, lalu sisanya dibiarkan terbuang sayang. Mubajir!

Kasihan yang punya hajatan, hidangannya berkurang bahkan kurang, hanya karena ulah tamu yang tak bijak mengambil porsi makanan. Tak salah kalau kita ingin mencicipi. Ambillah sekadarnya saja. Jika memang suka, lebih baik nambah lagi. Atau, jika sungkan ya tahan selera. 

Tidak semua orang beruntung bisa makan. Tidak sedikit orang yang mati kelaparan. Bersyukurlah ketika masih diberikan nikmat makanan. Kalaupun kurang pas di lidah, anggap saja itu bagian dari sensasi dan variasi rasa. Toh, banyak orang yang justru tidak punya pilihan, tidak punya apapun untuk dimakan.

Dulu, sekitar tahun 2005, saat saya masih tinggal di rumah kontrakan di Ciputat, si Teteh tetangga sebelah kanan kontrakan saya bercerita, bahwa di kampung suaminya, di salah satu daerah di Jawa Barat banyak penduduk kampung yang terpaksa makan nasi aking, karena tidak mampu membeli beras. Saya tanya, "apa itu nasi aking?"

Si Teteh menjelaskan,  nasi sisa yang sudah tercampur dengan lauk, dijemur, lalu dimasak lagi. Glek, miris hati saya mendengarnya. Saat saya berada di dalam rumah kontrakan, meleleh air mata saya. Benarkah di negeriku Indonesia yang subur dan konon katanya makmur, masih ada orang yang terpaksa makan makanan tidak layak konsumsi seperti itu? 

Di tahun 2008, saya menyaksikan berita di televisi, di Makassar, seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan beserta anaknya yang masih balita meninggal dunia karena kelaparan. 3 hari si ibu dan anak-anaknya tidak makan karena ketiadaan makanan. Keluarga dan tetangganya tidak bisa membantu karena sama-sama hidup dalam kemiskinan.

Saat itu saya menonton televisi bersama anak sulung saya yang masih berusia 3 tahun. Saya jelaskan kepadanya kejadian itu. Dengan bahasa yang saya sampaikan, anak saya bisa mengerti. Sejak saat itu saya tidak pernah mengalami kesulitan untuk membiasakan anak-anak menghabiskan makanannya.

Saya selalu mengajarkan mereka untuk tidak menyia-nyiakan makanan. "Diukur perutnya, Nak", itu pesan yang sering saya ulang-ulang untuk mengingatkan anak-anak saya agar tidak serakah saat mengambil makanan.

Hingga kini, anak sulung saya yang sudah berusia 13 tahun, juga adik-adiknya terbiasa makan dengan piring bersih, tanpa tersisa sebutir nasipun. Begitu juga saat makan makanan lainnya. Kalau kira-kira porsi makanannya terlalu banyak (misalnya saat makan di restoran), saya ajarkan mereka untuk menyisihkannya terlebih dahulu sebelum dimakan, supaya tidak jadi makanan sisa.

Begitu pun saat membeli jajanan, saya selalu bilang, "habiskan ya, Nak, jangan dibuang, kalau nggak, besok-besok nggak boleh jajan lagi!", cara itu pun ampuh membuat anak-anak saya hanya memilih makanan yang memang benar-benar mereka sukai, tidak serakah dan tidak bersikap mentang-mentang orang tuanya sanggup memberi uang jajan.

Apakah dengan bersikap seperti itu saya dianggap pelit? Saya kira tidak. Justru itu tandanya bersyukur. Tidak perlu khawatir dianggap pelit atau dianggap kurang duit saat memesan makanan di restoran ala kadarnya sesuai daya tampung perut kita. Tidak perlu mubajir hanya demi gengsi.

Pesan saja sesuai porsi yang sanggup kita habiskan. Jika memang punya uang lebih untuk membeli makanan, lebih baik sisihkan untuk orang yang membutuhkan. Belikan makanan untuk disumbangkan, bukan untuk dihambur-hamburkan.

Di berbagai belahan dunia masih banyak orang kelaparan, umumnya di wilayah Afrika. Saat saya masih anak-anak, saya sering mendengar berita kelaparan di Ethiopia. Belakangan di Somalia.

Yang terbaru mungkin, berita kelaparan parah yang melanda India pada tahun 2017, yang berlanjut hingga tahun 2018.  Termasuk juga di Yaman. Khusus Yaman, penyebab utamanya memang perang, bukan kekeringan lahan yang berdampak pada kemiskinan dan ketiadaan makanan. 

Intinya, tak sepatutnya kita menyia-nyiakan makanan, karena di luar sana masih banyak orang kelaparan.

JWS. Rizki Sitompul

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun