Mohon tunggu...
Juwita Ayunda Prameswari
Juwita Ayunda Prameswari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar di Sosiologi Universitas Brawijaya

~.~

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Superintelegensi Buatan, Peluang atau Ancaman Bagi Manusia?

17 April 2024   20:29 Diperbarui: 17 April 2024   20:31 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Kemajuan teknologi dalam bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang semakin pesat dalam beberapa dekade terakhir telah membawa perdebatan hangat di kalangan para pakar dan pemerhati teknologi. Apakah super-intelegensi  buatan yang terus berkembang ini merupakan sebuah kemajuan yang menggembirakan ataukah justru berpotensi menjadi ancaman bagi keberlangsungan umat manusia di masa depan? 

Di satu sisi, super-intelegensi buatan yang mampu melampaui kemampuan intelektual manusia diharapkan dapat memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia. Sistem AI super-cerdas ini dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang selama ini sulit dipecahkan manusia, mulai dari penemuan obat baru, pengembangan energi terbarukan, hingga prediksi bencana alam yang lebih akurat. Tak hanya itu, teknologi AI juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas di berbagai sektor industri dan layanan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara signifikan. 

Beberapa contoh manfaat AI yang lain misalnya dalam sektor kesehatan, AI mampu membantu manusia untuk mendiagnosa penyakit hingga menyesuaikan kebutuhan pengobatan tiap pasien. Dalam bidan transportasi, AI mampu mengembangkan mobil otonom yang dapat mengurangi kemacetan dan kecelakaan. Sektor keuangan juga turut merasakan manfaat AI dengan kemampuan analisis data hingga prediksi pasar. AI mengubah hampir sebagian besar pekerjaan manusia menjadi lebih mudah dan efisien.

Namun di sisi lain, super-intelegensi buatan juga dianggap sebagai ancaman potensial bagi keberlangsungan hidup manusia. Para pakar khawatir jika teknologi AI yang terus berkembang tanpa kendali dapat menciptakan sistem yang tidak lagi memperhatikan kepentingan manusia. 

Selain itu, teknologi AI juga dikhawatirkan akan menggantikan peran manusia di banyak bidang pekerjaan, sehingga dapat menyebabkan gelombang pengangguran massal yang dapat memicu kekacauan sosial. Beberapa ahli mulai memprediksi pekerjaan-pekerjaan yang akan tergantikan oleh AI (pekerjaan administratif seperti pengolahan dokumen dan data hingga produksi yang melibatkan operasi mesin), yang tentu saja menimbulkan reaksi kepanikan dari publik yang khawatir akan sempitnya lapangan pekerjaan. 

Pengembangan AI yang dapat menciptakan gambar dan memanipulasi foto juga menimbulkan dampak negatif yang kerap disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan dan pemerasan. Beberapa kasus akibat deepfake mulai marak bermunculan sejak awal tahun 2023 hingga saat ini. 

Kecerdasan buatan memungkinkan penipu untuk melancarkan aksinya dengan kemampuan meniru suara seseorang, beberapa sumber mencatat bahwa peniruan suara oleh AI kerap dilakukan oleh penipu untuk mempromosikan judi online menggunakan suara-suara orang berpengaruh hingga digunakan sebagai modus penipuan berkedok penculikan (menipu mengelabuhi korban dengan meniru suara anak korban agar mendapat uang tebusan). 

Selain itu, kemampuan AI dalam meniru foto dan gambar juga menimbulkan dampak negatif karena dapat digunakan untuk melakukan pemerasan dengan mengedit foto seseorang menjadi foto yang tidak senonoh. Tentu kasus-kasus tersebut memberikan banyak perubahan dalam masyarakat untuk menjadi lebih berhati-hati dalam mengunggah foto karena perkembangan teknologi AI yang mampu memanipulasi banyak hal. 

Jika ditilik dari sudut pandang filsafat, maka perkembangan teknologi AI juga harus mempertimbangan moral, etis, dan epistemologi. Beberapa pertanyaan terkait perkembangan AI telah diperdebatkan sejak lama seperti apakah AI dapat mencapai kesadaran seperti manusia? Pertanyaan ini menyentuh pada isu metafisik tentang pikiran, kesadaran, dan identitas. 

Filsuf memperdebatkan apakah AI dapat memiliki pengalaman subyektif yang setara dengan manusia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu memahami bahwa kesadaran yang dimaksudkan mengacu pada kesadaran sensorik yang meliputi penglihatan, pendengaran, rasa, sentuhan, dan penciuman; dan juga kesadaran psikologis yang mengacu pada pikiran, emosi, keinginan, dan kepercayaan. 

Berdasarkan acuan tersebut, Ilya Sutskever yang merupakan ilmuwan utama OpenAI pernah berkata bahwa beberapa jaringan tercerdas mungkin 'sedikit sadar', tetapi tetap belum mampu untuk mencapai kesadaran setingkat manusia. Beberapa pakar berpendapat bahwa kesadaran AI adalah hal yang mungkin dan bahkan diinginkan untuk menciptakan sistem AI yang lebih cerdas, etis, dan bertanggung jawab. Namun, beberapa pakar lainnya meragukan bahwa kesadaran AI adalah hal yang mungkin atau bahkan diperlukan untuk mencapai tujuan AI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun