"Ini ada seboeah lagoe romantis
Kisah dari seorang priboemi
Dia itoe student jang verlief dengan satoe perempoean jang siapa dengan berkebetoelan dia djoempa di Hotel Des Indes
Namoen sajang itoe pemoeda koetjiwa kerna dia poenja maoe terloepoet
Semoga ini lagoe dapet menghiboer atie sekalian pendengar..."
Sepenggal lirik dari sebuah lagu berjudul Nostalgia Hotel Des Indes yang  dinyanyikan oleh Djayusman Yunus ciptaan Guruh Soekarno Putra (1979). Mengambil latar di Hotel Des Indes, hotel yang dinamai oleh Eduard Douwes Dekker (Multatuli), konon menjadi tempat berkumpul para kompeni dan priyayi untuk berdansa dan berfoya-foya menebar keceriaan pada masa sebelum kemerdekaan.
Hotel yang beroperasi dari tahun 1856 sampai dengan 1960 di Batavia (kini di sekitar Sawah Besar, Jakarta Pusat) merupakan hotel yang menjadi daya tarik bagi siapa pun yang datang ke Batavia. Pada 7 Mei 1949 di hotel ini pula diadakan Perjanjian Roem Royen (Soemantri, Kevindra 2021). Hal tersebut  tentu menggambarkan betapa hidupnya dunia perhotelan di Indonesia bahkan sejak zaman Hindia Belanda.
Sudah bukan rahasia lagi, dengan adanya pandemi Covid 19 sektor perhotelan menjadi sektor yang paling terdampak akibat adanya kebijakan lockdown. Di Indonesia sendiri, pembatasan sosial atau aktivitas perjalanan masyarakat yang disebabkan pandemi Covid-19 pada tahun 2020 disebut dengan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB (Pusdiktasari dkk., 2021).
Tingkat penghunian  kamar (TPK) yang menjadi indikator pada  hotel  bintang  secara  nasional  pada tahun  2020, turun dari  53,8%  di  tahun 2019  menjadi  32,42%  di  tahun  2020.  Penurunan  TPK terparah  terjadi  di  Provinsi  Bali  yaitu  dari  59,57%  di  tahun  2019  menjadi  15,62%  di  tahun  2020.  Padahal,  sebelum pandemi kinerja TPK Provinsi  Bali  lebih tinggi baik jika dibandingkan dengan provinsi lain. Hal tersebut dibuktikan dengan data tahun 2015-2019, TPK Bali selalu berada di atas rata-rata nasional hingga pandemi Covid-19 menghantam, TPK di Bali langsung turun ke 15,62%.Â