"Ayahmu, nak." terdengar semayup suara dari balik persegi kecil yang kugenggam. Darahku serasa terhenti. Tubuhku gemetar. Serasa ada hantaman yang sangat kuat pada diri, juga jiwaku.
"Mungkin Anda salah sambung." kutegaskan padanya.
Seketika itu kututup telepon. Kucoba hapuskan semua hal yang menyeruak dalam benakku. Tak terasa air mata mengalir membasahi dinding pipiku. Mengapa luka yang telah tertutup kini menganga kembali? Kucoba tegarkan hati ini.
***
Kukerjakan tugas-tugas kuliah yang sudah menggunung, berharap aku dapat melupakan kejadian tadi pagi. Dan sore ini langit tampak muram, seakan terlukis kesedihan dalam goresan wajahnya. Dan setelah itu, hujan pun turun. Dalam hatiku berkata, "Apa ini sebuah pertanda langit sedang berduka? Sudahlah, tidak begitu penting untuk kupikirkan."
"Nira..." teriakan ibu membuyarkan lamunanku.
"Iya, bu.." jawabku terbata-bata.
"Minumlah untuk menghangatkan badanmu" sambil disuguhkannya segelas teh ke hadapanku.
"Terimakasih, bu " jawabku pelan.
Ibu tersenyum tipis, lalu membalikkan badannya dan duduk di sofa sambil menghidupkan televisi. Aku sesungguhnya ingin menghampirinya. Menceritakan kejadian tadi pagi. Tapi aku takut pertanyaan-pertanyaan yang aku lontarkan pada ibu nanti membuatnya harus membuka laci-laci memorinya, sudah pasti itu akan membuatnya terluka. Kuurungkan niatku, dan kuteguk teh panas yang disuguhkan ibu.
Aku kembali menuju kamar. Kuhempaskan badanku di atas pembaringan sambil menerawang jauh. Aku memikirkan apa yang sedang aku rasakan. Tak terasa, aku terlelap dan damai.