Suku Manggarai, sang penghuni bagian barat Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur, bukan sekadar suku biasa---mereka adalah perpaduan sejarah, politik, dan budaya yang bak menu khas penuh rempah-rempah. Dengan persebaran di tiga kabupaten besar, yaitu Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur, suku ini terus memancarkan pesonanya yang unik.
Di Bawah Dua Mahkota: Bima dan Gowa
Sejarah Manggarai seperti drama kerajaan yang berganti-ganti pemeran utama. Suku ini pernah dikuasai oleh Kesultanan Bima dari Pulau Sumbawa dan Kesultanan Gowa dari Pulau Sulawesi. Bayangkan saja, dua kekuatan besar bergantian memegang kendali atas Manggarai, layaknya permainan catur epik dengan rakyat Manggarai sebagai bidak utamanya.
Di tengah permainan kekuasaan ini, muncullah Kerajaan Reo, yang didirikan oleh seorang putri Sultan Gowa bernama Daeng Tamima, yang juga dikenal sebagai ratu yang jatuh cinta pada pangeran Bima. Sang penguasa Reo diberi gelar "naib"---bukan nama superhero, tapi mirip kepala daerah modern zaman dulu. Bersama penguasa Pota, mereka menjadi tangan kanan Sultan Bima.
Selain naib, ada pula kedaluan-kedaluan yang dipimpin oleh dalu---istilah ini bisa diartikan sebagai "raja kecil" tapi dengan pengaruh yang tak kalah besar. Dari Kedaluan Todo, yang katanya didirikan oleh seorang Minangkabau bernama Mashur, hingga Kedaluan Cibal dan Kedaluan Bajo, sistem ini menjadi fondasi pemerintahan lokal.
Struktur Politik: Dalu dan Gelarang
Sistem politik Manggarai sebenarnya cukup keren, meskipun agak rumit seperti resep masakan tradisional. Dibangun berdasarkan klan dan dipimpin oleh kepala klan, Manggarai memadukan tradisi lokal dengan pengaruh luar. Di bawah Kesultanan Bima, sistem kedaluan dan gelarang diperkenalkan---sebuah sistem hierarki yang terdengar seperti rencana pembangunan besar-besaran.
Ada dalu mese (kedaluan besar), seperti Todo, Cibal, dan Bajo, yang memimpin dalu-dalu kecil atau dalu koe. Kedaluan Todo bahkan punya nama keren untuk kelompok dalu kecilnya, Campulutelu, yang mencakup wilayah seperti Ruteng, Torokgolo, dan Kolang. Di bawah mereka, ada gelarang, semacam kepala desa yang dipilih dengan seleksi ketat dari para tua adat. Kalau ini kompetisi, pasti seru banget!
Manggarai juga punya olahraga tradisional yang penuh aksi: caci. Ini adalah duel seni pukul dan tangkis menggunakan cambuk dan tameng. Sebelum caci dimulai, ada Tarian Danding---layaknya opening act sebelum konser rock. Tarian ini menjadi pemanasan sebelum para pemuda saling pecut di arena.
Bahasa dan Dialek: Simfoni Manggarai
Suku ini berbicara dalam bahasa Manggarai, yang disebut sebagai tombo Manggarai oleh penuturnya. Dengan 43 dialek, bahasa ini seperti orkestra dengan berbagai alat musik, di mana setiap daerah punya nada dan irama khasnya sendiri.
Akhir Kisah: Manggarai yang Dinamis
Dengan populasi yang kini mencapai sekitar 725.000 jiwa, Suku Manggarai adalah bukti hidup bagaimana sejarah, budaya, dan adaptasi membentuk identitas yang begitu kaya. Dari permainan politik masa lalu hingga ritual yang meriah, Manggarai adalah kisah epik yang layak dikenang---seperti novel sejarah, tapi dengan sentuhan realitas yang memukau.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI