Jauh di atas bukit berbatu dengan tinggi 800 meter, Betlehem berdiri angkuh, seperti ratu di atas panggung. Tak jauh dari Yerusalem, kota ini seolah memandang Gurun Yudea yang tandus dengan tatapan penuh iba sambil berkata, "Aku subur, kamu enggak." Dengan perpaduan budaya Barat dan Timur yang saling senggol tapi akur, Betlehem memikat siapa saja, dari peziarah spiritual hingga wisatawan yang sekadar ingin selfie di depan pohon zaitun.
Betlehem punya segalanya. Mau gua yang bikin merinding? Ada. Mau istana raja bentuk gunung berapi? Juga ada. Bahkan, kebun anggur di Cremisan tertata begitu rapi sampai tanaman-tanamannya seolah berbisik, "Lihat, kami lebih disiplin dari kamu!"
Sejarah Betlehem: Dari Zaman Batu Sampai Drama Sultan
Betlehem seperti bintang sinetron, selalu jadi rebutan. Mulai dari Romawi, Bizantium, Crusader, hingga Turki, semua ingin memiliki kota ini. Saat akhirnya jatuh ke tangan Israel, Betlehem hanya bisa pasrah sambil berkata, "Sudah biasa, aku kan mahal."
Walau pernah berada di bawah hukum non-Kristen, Betlehem tetap mempertahankan statusnya sebagai pusat ziarah. Namun, lucunya, umat Kristen di sini tetap menggunakan bahasa Arab. Jadi jangan heran kalau di gereja terdengar doa dengan nada seperti di masjid. Wartawan yang pernah merekam pun bingung, "Ini gereja atau...?"
Drama Gereja Kelahiran Kristus
Gereja ini dibangun tepat di atas gua tempat Yesus dilahirkan. Tapi, sejarahnya seperti drama telenovela. Pada abad ke-7, bangsa Persia datang merusak gereja ini. Tapi, tiba-tiba mereka berhenti. Kenapa? Karena melihat mosaik tiga orang Majus berpakaian ala Persia! Mereka mungkin berpikir, "Loh, kok ada kita di sini?"
Gereja ini juga punya pintu masuk kecil, bukan karena arsiteknya malas, tapi untuk menghindari perampok berkuda yang suka nyelonong masuk sambil bawa kambing. Kalau mereka mau masuk sekarang, ya, silakan, tapi siap-siap jongkok dulu.