Dalam gelap malam yang dipenuhi angin dingin Betlehem, langkah Yusuf dan Maria semakin berat. Kota itu penuh, setiap penginapan menutup pintunya, tak memberi tempat bagi wanita yang hampir melahirkan. Yusuf, dengan tangan yang bergetar karena cemas, terus mengetuk pintu demi pintu. Namun, jawaban selalu sama---tidak ada ruang. Maria, meski menahan sakit persalinan, tetap berusaha menenangkan suaminya. "Yusuf, Tuhan menyertai kita. Dia pasti menyiapkan tempat untuk Putra-Nya."
Akhirnya, mereka menemukan sebuah kandang, tempat sederhana yang dipenuhi aroma jerami dan hewan ternak. Lentera kecil menggantung, memancarkan cahaya redup, cukup untuk menyinari sudut ruangan. Yusuf menata jerami menjadi tempat berbaring. Maria tersenyum, meski tubuhnya lelah. Di tempat itulah, dalam keheningan malam, lahirlah Sang Juruselamat dunia.
Maria memandang bayi kecil itu dengan penuh cinta, membungkus-Nya dengan kain lampin, lalu meletakkan-Nya di palungan. Air matanya mengalir, bukan karena kelelahan, tetapi karena perasaan takjub. "Inilah Putra Allah," bisiknya. Yusuf berdiri di sampingnya, hatinya dipenuhi rasa syukur meski ia masih bertanya-tanya, "Mengapa Raja segala raja lahir di tempat serendah ini?"
Namun, keheningan itu segera terpecah. Dari kejauhan, terdengar langkah kaki mendekat. Para gembala, yang sebelumnya menjaga kawanan domba di padang, datang dengan wajah penuh sukacita. "Malaikat Tuhan menampakkan diri kepada kami!" seru mereka. "Kami diberitahu bahwa Juruselamat telah lahir di sini, di palungan ini!" Mereka bersujud, memandang bayi kecil itu dengan takjub. Maria dan Yusuf saling berpandangan, merasa takjub bahwa berita kelahiran ini sudah tersebar ke langit dan bumi.
Tidak lama berselang, ketukan lembut terdengar di pintu kandang. Tiga pria berpakaian mewah, dengan wajah yang mencerminkan kebijaksanaan dan perjalanan jauh, berdiri di sana. Mereka memperkenalkan diri sebagai orang-orang dari Timur yang telah mengikuti bintang terang hingga ke tempat ini. "Kami datang untuk menyembah Raja yang baru lahir," kata salah satu dari mereka.
Maria dan Yusuf tak dapat menyembunyikan keterkejutan mereka ketika orang-orang majus itu mempersembahkan hadiah-hadiah: emas, kemenyan, dan mur. Hadiah-hadiah yang tampak begitu megah di tempat yang begitu sederhana. Dengan penuh hormat, mereka bersujud di hadapan bayi Yesus, menyampaikan penghormatan mereka.
Dalam keheningan yang menyelimuti setelah mereka pergi, Maria memandang Yusuf, matanya penuh haru. "Tuhan sungguh bekerja dengan cara yang ajaib," katanya. Yusuf mengangguk. Di tengah kesederhanaan kandang itu, mereka menyadari bahwa meski tidak ada ruang bagi mereka di dunia ini, surga dan bumi bersatu untuk menyambut kelahiran Sang Juruselamat.
Di malam yang sunyi itu, Maria memeluk bayinya lebih erat, berdoa dalam hati agar kasih-Nya yang telah hadir di dunia ini membawa terang bagi semua manusia.
KISAH PERJALANAN TIGA MAJUS DARI TIMUR
Perjalanan Tiga Raja yang Luar Biasa dan Penuh Kejenakaan
Di sebuah kerajaan yang jauh di Timur, tiga raja bijaksana---Melkior, Kaspar, dan Baltasar---menemukan sebuah bintang yang sangat terang di langit malam. Bintang itu begitu mencolok hingga mereka merasa ada sesuatu yang luar biasa sedang terjadi.
"Saudara-saudaraku," kata Melkior sambil mengusap janggutnya yang panjang, "bintang ini menandakan kelahiran seorang Raja besar. Kita harus pergi dan memberikan penghormatan!"
Kaspar, yang selalu gemar mempersiapkan barang, langsung mengambil sekotak emas. "Ini hadiah paling sempurna untuk seorang raja!" katanya bangga. Baltasar mengangguk sambil memeluk kotak kecil berisi kemenyan. "Ini simbol doa dan penghormatan," ujarnya. Namun, ketika giliran mereka melihat apa yang dibawa Melkior, mereka terkekeh.
"Mur? Untuk apa itu? Mengingatkan orang pada pemakaman?" tanya Kaspar.
Melkior bersungut-sungut. "Hei, ini simbol penting! Jangan remehkan aku!"
Dengan semangat dan sedikit cekcok jenaka, mereka memulai perjalanan. Tapi, tidak semua berjalan mulus. Di tengah padang pasir, unta Baltasar tiba-tiba mogok.
"Kenapa untamu berhenti?" tanya Melkior kesal.
Baltasar menepuk-nepuk punggung untanya. "Dia bilang dia butuh istirahat. Aku lupa memberi dia makan pagi tadi."
Setelah berjam-jam memaksa unta berjalan lagi, mereka akhirnya tiba di wilayah Yudea. Tentu saja, mereka mencari Raja yang baru lahir di istana Herodes, sebab, yah, di mana lagi Raja berada kalau bukan di istana?
"Kami datang untuk menyembah Raja yang baru lahir!" kata Kaspar dengan percaya diri.
Herodes, yang sebenarnya tidak tahu-menahu soal Raja baru ini, pura-pura tenang. "Oh, betapa menariknya. Kalau begitu, pergilah dan temukan Dia. Lalu kembalilah ke sini dan beri tahu aku, agar aku juga bisa menyembah-Nya." Tapi di balik senyumnya, Herodes punya rencana jahat.
Setelah meninggalkan istana, mereka akhirnya tiba di kandang kecil di Betlehem, dipandu oleh bintang yang terang. Mereka terkejut.
"Ini dia, Raja segala Raja, lahir di tempat yang sangat sederhana," ujar Melkior sambil menatap bayi Yesus dengan penuh hormat. Mereka mempersembahkan hadiah mereka: emas, kemenyan, dan mur. Maria dan Yusuf berterima kasih, meskipun Maria diam-diam berpikir, Apa yang harus aku lakukan dengan mur ini?
Setelah menyembah Sang Juruselamat, para raja bersiap pulang. Namun, di malam sebelum keberangkatan, mereka mendapat mimpi yang memperingatkan mereka agar tidak kembali ke Herodes.
"Jadi kita tidak bisa lewat jalan itu," kata Melkior.
"Lalu lewat mana?" tanya Kaspar.
Baltasar mengeluarkan peta. "Aku rasa kita bisa lewat sini, meskipun jalannya agak berputar."
Mereka akhirnya memutuskan untuk mengambil rute yang lebih panjang dan berliku. Namun, di perjalanan pulang, berbagai hal lucu terjadi.
- Unta Melkior tersandung batu, membuat kotak mur-nya terjatuh dan isinya berserakan.
- Kaspar lupa di mana dia menyimpan peta, sehingga mereka harus mengandalkan bintang lagi, meskipun bintang itu sudah tidak begitu terang.
- Dan Baltasar, yang mencoba memasak di padang pasir, malah membakar makan malam mereka.
Setelah berhari-hari perjalanan, mereka akhirnya tiba di rumah masing-masing. Mereka saling berpamitan dengan janji untuk menceritakan kisah perjalanan ini kepada anak cucu mereka.
"Tapi jangan ceritakan soal unta mogok, ya," pinta Baltasar.
Meski perjalanan mereka penuh kejenakaan, hati mereka dipenuhi sukacita, karena mereka tahu mereka telah menyaksikan awal dari sebuah kisah besar yang akan mengubah dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H