Kalau saya berdiri memberikan sambutan, di panggungnya biasanya ada foto wapres sebelah kiri dan presiden sebelah kanan. Tapi di atas itu, ada yang lebih tinggi, yakni Bhineka Tunggal Ika.
Kita tahu semua pasti tahu maknannya Bhineka Tunggal Ika itu yakni perbedaan menjadikan kita kuat. Karena kita berbeda, di situlah kekuatannya.
Kalau cuma satu adat atau kebiasaan, mungkin kita tidak akan kuat. Jadi perbedaan itulah yang membuat kita kuat. Kalau kita berbicara kearifan lokal yang beragam, semua itu pada dasarnya menjaga harmoni bangsa itu.
Di Jawa ini sering kita dengar 'ing ngarso sung tulodo,' di depan memberi tauladan; 'ing madyo mangun karso,' di tengah membaur; dan 'tut wuri handayani,' di belakang memberi dukungan. Jadi presiden harus memberi tauladan, begitu tidak memberi tauladan, negeri ini bahaya. Soal di tengah dan membaur, blusukan Jokowi disukai karena itu membaur. Karena itu adat sehingga disukai.
Di Makassar ada 'sipatuo sipatokong,' dengan bersatu kita harus mendukung. Di Sumatra ada 'adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.' Artinya agamalah yang menyatukan kita dalam konteks itu. Harmoni dan keadilan Semua kearifan lokal itu memberikan kita harmoni sebenarnya. Jadi kalau bicara konflik, kearifan lokal itu tugasnya menjaga agar konflik itu tidak terjadi. Bukan menyelesaikan konflik.
Kearifan lokal menjaga harmoni sehingga tidak terjadi konflik. Itu lebih hebat. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah konflik itu punya banyak sebab. Maka dari itu kita harus menyelesikan sebabnya. Bila konfliknya politik, kita panggil tokoh-tokoh adat, tidak akan mempan. Jika konfliknya adalah konflik agama, jangan pula diselesaikan secara adat.
Sejak Indonesia merdeka, sampai sekarang, sekiranya ada 15 konflik besar, yakni yang korbannya lebih dari 1000 orang. Kalau yang konflik kecil-kecil ratusan jumlahnya. Sepuluh dari konflik itu, karena ketidakadilan seperti pemberontakan PKI di Madiun, RMS, DI TII, PRRI-Permesta, Aceh, Timor hingga pemberontakan G30S. Jadi penyebabnya adalah ketidakadilan.
Jadi untuk menyelesaikannya pemerintah harus adil. Contohnya PRRI-Permesta. Itu karena ketidakadilan. Orang Sulawesi dan Sumatra merasa tidak adil karena merasa kaya tapi tidak adil. Seperti juga masalah GAM di Aceh. Tapi, Poso dan ambon itu bukan masalah agama tapi karena ketidakadilan politik. Karena dulu ketika bupatinya Muslim, maka wakilnya akan Kristen atau katolik. Tapi ketika demokrasi masuk, the winner takes all.
Suara mayoritas yang menentukan. Hilanglah harmoninya. Ujungnya ketidakadilan. Bentroklah mereka. Kemudian dibawa ke agama. Dengan demikian, adat tidak akan bisa menyelesaikan konflik. Konflik agama itu konflik yang paling susah diselesaikan. Semua orang berpihak. Masih ingat dulu di Ambon, kantor polisi dan bank punya dua kantor, ada yang Islam ada yang Kristen. Pikiran mereka adalah surga.
Nah, sayangnya yang beraksi adalah orang yang jarang ke mesjid dan yang jarang ke gereja. Ini adalah jalan tol menu surga bagi orang-orang seperti itu. Maka dari itu, membabi buta-lah mereka.
Maka saya katakan pada mereka “Kalau kalian semua masuk neraka! Tunjukkan saya mana ayat di Quran atau Injil yang menunjukkan bahwa saling membunuh itu masuk surga?” Berhentilah mereka. Saya dulu selesaikan konflik Poso 15 hari dan konflik Ambon 17 hari.
Untuk seperti ini, kita tak bisa selesaikan secara adat lokal. Sama seperti di Aceh. Tidak bisa diselesaikan dengan adat lokal. Yang harus dihadirkan adalah perdamaian dan keadilan. Ambil contoh soal konflik di Kalimantan antara Dayak dan Madura. Maka, yang diselesaikan adalah psikologinya, ekonominya dan itu yang membawa keadilan.
Ada juga konflik yang lebih kecil seperti di Lampung, di Sumbawa, di Sigi. Apa sebabnya? Karena banyak orang di sana ekonominya rendah. Banyak anak-anak muda menganggur, ngobrol sampai malam, ketika perbedaan-perbedaan yang ada, mereka cari-cari perkara. Seperti juga di Jakarta ini. Di sini kumuh, tak ada tempat bermain. Yang ada hanya lorong-lorong yang panas dan macam-macamnya.
Akhirnya, karena sedikit selisih, berkelahilah mereka. Makna keadilan Sekarang ini, konflik itu lebih cepat lagi terjadinya. Konflik di lampung kemarin. Hanya karena SMS yangbelum tentu kebenarannya, di forward ke mana-mana. Ini juga yang terjadi di Sumbawa. Jadi teknologi jga mempengaruhi. Maka dari itu cara mendamaikannya juga pakai teknologi.
Harus ada juga yang menngkal bahwa informasi itu tak benar. Tidak bisa kita rapat adat dulu. Maka dari itu, saya dapat melihat bahwa penyebab terbesar konflik itu adalah ketidakadilan baik itu politk atau sosial dan semacamnya. Apa itu keadilan? Begini, masyarakat Jakarta pernah marah karena Manggarai banjir. Lalu masyarakat minta pitu air dibuka.
Setelah dibuka, Menteng banjr, Istana juga banjir. Setelah itu rakyat senang. Karena itu terjadi keadilan, maknanya kalau senang kita sama-sama senang, kalau susah kita sama-sama susah. Sehingga tidak apa-apa. Tetap banjir, tapi senang karena semua daerah banjir. Tegakkan hukum! Tapi konflik juga karena ketidak-tegasan pemerintah.
Konflik di Priok misalnya. Setelah terjadi di Priok. Karena dibiarkan puluhan ribu orang bentrok, tiga Satpol PP meninggal, puluhan mobil dibakar tapi tak ada yang ditangkap. Timbullah pikiran, kalau kita bunuh orang rame-rame kita bebas hukum. Itu keliru! Tangkap semua orang itu! Kalau hukum ditegakkan, baru orang akan berpikir untuk bikin konflik.
Jadi itulah sebenarnya yang terjadi. Karena beruntun terjadinya dan tidak ada tindakan yang tegas. Karena itu, juga harus ada tindakan yang keras. Tapi kadang ada orang bilang, itu melanggar HAM? Saya bilang, orang itu lupa HAM itu apa. Peraturan HAM di UUD pasal 28 ada sepuluh. Ada 9 macam HAM yang dicatat.
Tapi yang ke sepuluh, ditegaskan kalau orang harus taat pada hukum dan aturan yang berlaku. Jadi kalau ada orang yang membakar kantor bupati, polisi bertindak dianggap melanggar HAM, itu keliru. Orang yang rame-rame membakar kantor bupati itu yang melanggar HAM. Dan bila polisi tak bertindak, mereka juga melanggar HAM.
Jadi, kalau kita mendamaikan negeri ini, kita harus ciptakan keadilan. Harmoni harus terus diciptakan. Harmoni antara pemerintah dan rakyatnya, antara agama ini dan itu, antara adat ini dan itu. Tapi ketika ada konflik, haruslah kita selesaikan apa sebabnya.
Kalau sebabnya karena ekonomi maka hadirkan keadilan ekonomi, kalau politik maka hadirkan keseimbangan politik, dan kalau kriminal maka hukumnya harus keras. Kalau karena adat, maka selesaikan secara adat. Kalau soal agama, perbaiki pemahaman agamanya.
(Disampaikan dalam Konferensi Nasional Kearifan Lokal, Jakarta 29 Agustus 2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H