Mohon tunggu...
Jusuf Kalla
Jusuf Kalla Mohon Tunggu... Diplomat - Wakil Presiden Indonesia

Wakil Presiden RI (2004-2009) & (2014-2019) Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Website : www.jusufkalla.info

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pemimpin, Perbankan, dan Keadilan Pembangunan Indonesia

16 September 2013   16:01 Diperbarui: 1 November 2018   13:46 1521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi/Admin (Shutterstock)

Zaman dulu lebih banyak orang menjadi pemimpin karena keturunan atau karena kekuasaan mutlak seperti diktator. Pada dasarnya, mereka itu itu sebenarnya pejabat. Mereka bisa menjadi presiden atau gubernur tapi bukan pemimpin. Sekarang orang menjadi pemimpin itu karena pilihan. 

Pemimpin itu juga tergantung siapa yang dipimpin. Menjadi gubernur sebuah daerah tentu berbeda dengan yang menjadi direktur bank. Lalu siapa pemimpin itu? Pemimpin itu adalah orang yang harus mencapai tujuan dengan cara mempengaruhi orang dan bertanggung jawab dengan hal itu. 

Itulah bedanya instruksi dengan keikhlasan dalam memimpin. Bisa saja anda mendapat instruksi tapi anda tidak yakin. Dan anda pun melihat yang memberi instruksi juga tidak yakin. Tapi kalau pemimpin, dia harus menyampaikan dengan baik, terbuka dan transparan dan jika anda bawahannya, maka anda harus melakukan dengan baik karena anda juga meyakininya. 

Kalau pemimpin negara tentu tujuannya masyarakat yang adil makmur dan pembangunan yang baik. Jika anda pemimpin bank tujuan anda tentu berbeda dengan pemimpin daerah. Anda tentu harus tahu bagaimana cara memajukan bank dengan cara membuat orang percaya bahwa bank ini aman dan dipercaya orang untuk memberi pinjaman. 

Jadi apapun dasar kepemimpinan itu adalah bagaimana meraih tujuan. Kepemimpinan di tiga bidang saya 35 tahun di dunia bisnis. Setelah itu saya beralih ke pemerintahan,10 tahun. Waktu aktif jadi wapres, saya bisa perintah-perintah selama 5 tahun. Tapi kini hubungannya menjadi mitra lagi. 

Kemudian kini sudah 4 tahun saya bergerak di dunia sosial. Lalu, apa yang membedakan leadership di ketiga bidang ini? Kalau di pemerintahan. Orang lebih fokus pada prosedur, atau sistem. Hasilnya tercapai atau tidak, yang penting ikuti prosedur. Harus tender ini itu, sehingga rapatnya panjang, kadang-kadang telat ambil keputusan. 

Kalau tidak, nanti kena panggil KPK bukan? Kalau dalam bisnis, objektifnya yang penting. Kalau sistem tidak mendukung tujuannya, ya kita ubah sistemnya. Maka bila sistem pembelian tunai tidak bisa, maka leasing masih ada. Jadi prosedur bisa diganti-ganti. Kalau di dalam perbankan itu sebenarnya mix. 

Jadi anda harus ikut prosedur dan peraturan yang berlaku sekaligus juga fokus terus pada objektifnya. Sementara, kalau di dunia sosial, tujun harus dicapai berapapun ongkosnya. Kalau ada bencana, berapapun ongkos penanganannya, harus kita bantu. 

Memang semua itu berbeda-beda, tapi inti semua itu adalah kreativitas, dapat dipercaya dan dapat memberikan nilai tambah. Itulah pemimpin. Dan, apa bedanya manager dengan leader atau pemimpin? Kalau pemimpin, dia memimpin di depan. Intinya dia memberikan nilai tambah dan dapat bagaimana caranya sampai tujuan. 

Kalau manager, dia harus jalankan dengan sistem yang betul dan sesuai dengan aturan. Tapi pemimpin dia bisa merubah aturan untuk mencapai hasil. Dulu ketika aktif jadi wapres, sering orang bilang, “Ah, Pak Wapres ini sering merubah aturan.” Maka saya katakan, “Di dunia ini yang tidak bisa diubah hanya satu, Kitab Suci. Yang lain semua bisa diubah, bukan begitu? UUD saja bisa diubah, apalagi cuma peraturan, PP, Kepres.” Itulah tugas leader.

Tapi manager tetap harus ikuti prosedur. Kalau tidak, maka anda bukan manager yang bagus. Yang satu mementingkan sistem, yang satu mementingkan hasil. Kalau anda ikuti terus aturan, anda berarti hanya menjadi birokrat bukan pemimpin. Bagaimana anda menjadi pemimpin? Apakah pemimpin itu dilahirkan atu dipelajari? Dua-duanya. 

Tapi yang penting pemimpin itu harus otentik. Itulah kenapa jokowi terkenal sekarang. Karena dia menggunakan otentisitas dirinya. Karena itu dia dihormati sebagai pemimpin. Orang sering bilang JK itu kalau marah langsung keluar bahasa Makassar-nya, itu ontentisitas saya. Kekuatan otentik itulah yang mempengaruhi orang. 

Soal kepemimpinan ini, saya menyayangkan keputusan kenaikan harga BBM waktu lalu. Pemerintah hanya menaikkan sekitar 30% tapi terjadi demo dimana-mana. Waktu 2005 lalu, kita naikkan BBM 126% tetapi tak ada demo. Dimana letak perbedaannya? Sebenarnya sederhana. Kemarin pemerintah bilang kalau ini tidak segera naik, jebol fiskal negara kita. Jebol budget. 

Apakah anda sekalian paham apa itu jebol fiskal atau jebol budget? Kadang-kadang saya sendiri bingung apa maksud pemerintah ini. Apalagi mereka rakyat biasa? Jadi pemerintah tak berhasil mempengaruhi orang. 

Jaman saya saya katakan sederhana, kalau ini kita terus subsidi, jalan tak bisa kita perbaiki, rumah sakit dan sekolah tak diperbaiki? Bagaimana? Mau terus subsidi orang yang punya mobil apa perbaiki jalan? Oke kalau perbaiki jalan, kita naikkan BBM. Anda tidak setuju? Tidak ada cara lain. 

Krisis perbankan ditanggung oleh rakyat Waktu saya menjadi Menko Kesra, saya diundang untuk bicara tentang pemberian kredit untuk masyarakat kecil. Sebelum saya setuju, saya tanya bunganya berapa? Mereka bilang 22%. Waktu itu bunga seperti itu masih biasa sebab rata-rata bunga kredit sekitar 18% akibat sisa krisis. 

Lalu saya tanya, ini sistemnya annuity atau flat? Baru bingung dia. Dia katakan, flat Pak. Astaga, kata saya, kamu tipu rakyat! Itu artinya kamu kasih 40% bunga kreadit untuk rakyat! Saya tinggal itu surat. Besoknya saya panggil bank-bank termasuk Bank Indonesia. Saya katakan, apa yang terjadi di sini? Bayangkan, rakyat kecil diberi 40% sementara konglomerat diberi 15%?! Ini kan penipuan luar biasa untuk rakyat. 

Logikanya selalu begini, daripada mereka ke rentenir yang bunganya 50%, bunga 30% bank berarti sudah lebih baik. Bukan soal itu! Sekiranya kita kasih bunga sama dengan kredit besar, dia sudah bisa beli toko. Tapi kalau berpikirnya begitu terus, maka mereka tak bisa beli apa-apa. Di sinilah harus ada keikhlasan juga. Jangan asal kasih bunga tinggi. 

Memang alasannya banyak, misal administrasinya susah, tapi coba lihat lagi, siapa yang meruntuhkan ekonomi Indonesia, pengusaha kecil atau pengusaha besar? Pengusaha besar. Yang kecil tak pernah. Jadi harus ada keadilan yang kita berikan kepada masyarakat itu. Karena itulah maka bila tak ada keseimbangan antara pengusaha besar dan kecil, negeri ini adalah negeri yang cara berpikirnya paling 'terbalik' di dunia. 

Saya tegaskan bank itu berkembang kalau ekonomi rakyatnya berkembang. Jadi ada hubungan saling ketergantungan. Ekonomi maju bila bank maju dan sebaliknya. Nah, pada saat krisis, bank-bank hancur karena ekonomi hancur. Yang perlu diperhatikan adalah pertama, fokuslah pada ekonomi mikro, itu akan memberikan manfaat lebih pada kebanyakan orang. 

Hal yang kedua, ekonomi kita punya ketidakseimbangan yang luar biasa antara pengusaha kecil dan pengusaa besar. Apabila terjadi gap yang besar, gini rationya besar 0.4, maka masalah ekonomi yang bisa bisa saja muncul. Maka, begitu ambruk ekonomi, ambruk perbankan. Jadi ada banyak kepentingannya mengapa kita harus mendorong usaha kecil berkembang. Ingat peristiwa Mei 1998 di Jakarta. 

Saya tegaskan, itu bukan masalah ras. Itu masalah ketidakseimbangan ekonomi. Ada krisis, tiba-tiba banyak yang melarikan diri dan uang, maka banyak orang miskin dan menganggur. Maka marah-lah mereka itu. Jadi ini masalah ekonomi, bukan ras! Antara orang menganggur dan orang yang melarikan uang. Ini sangat penting diketahui. 

Apa yang terjadi di 2008 lalu? Apa yang tejadi 1998 lalu? Saya sering katakan, ini semua krisis moneter ditanggung oleh fiskal. Ini krisis perbankan ditanggung oleh rakyat! Krisis itu seperti sakit. Jauh lebih baik pengobatan yang alternatif daripada pengobatan yang salah. 

Ada terjadi kesalahan yang luar biasa pada 1998 yakni blanket guarantee. Semua orang dijamin. Karena itu kita rugi 600 trilliun padahal kalau tidak ada blanket guarantee kita hanya rugi 200 trilliun. 600 trilliun itu angka ‘98, kalau sekarang mungkin 3000 triliun. Pada 2008, saya bertarung bagaimanapun juga, pasang badan untuk presiden, jangan kasih blanket guarantee! Seluruh menteri ekonomi termasuk BI minta blanket guarantee, tapi saya tetap bilang, “Tidak ada blanket guarantee!” Dan Alhamdulillah karena itu kita selamat. Jangan sistem moneter itu dibayar oleh fiskal. 

Tanggung jawab Sebenarnya, apa masalah kita hari ini? Yakni kesalahan kita tiga tahun tidak menaikkan harga BBM. Bicara terus-bicara terus, diskusi diskusi terus, dikaji dikaji terus. Baru beberapa bulan lalu dinaikkan. Itu membuat bangsa ini terlanjur rugi 600 trilliun. Akibatnya kita impor terus BBM. Akhirnya terjadi defisit perdagangan. 

Jadi dimana yang harus kita perbaiki? Tak ada jalan lain kecuali menaikkan produktivitas, bukan konsumsi! Kita masih impor beras, ya tinggal naikkan produksi beras. Waktu 2008 lalu, kita masih impor beras, tapi dalam waktu tiga bulan saya buktikan kita bisa urus sehingga tidak impor beras. Kita bangun infrastrkturnya. Hanya dengan cara itu kita bisa bangkit. 

Saya katakan waktu itu, “Kantor pertanian ini adalah yang terbesar di Asia, kalau besok tak bisa swasembada, saya jual kantor ini buat beli bibit!” Jadi solusinya bukan dengan rekayasa moneter. Masalahnya kita impor terlalu banyak. Jadi seperti lain sakit lain diobati. Jadi krisis ini makin parah karena solusi yang salah. Indonesia itu negara yang mudah diatur. 

Tak ada sesuatu yang sulit sekali. Saya selau mengambil contoh, pada 2005, apa yang paling banyak kita subsidi? Minyak tanah. Mari kita stop minyak tanah, dan kita ganti gas. Hasilnya, dalam waktu tiga tahun sebanyak 56 juta keluarga ganti cara masaknya. India hanya bisa mengubah 500 ribu pertahun, kita bisa mengubah 16 juta pertahun. 

Caranya sederhana, yakni meyakinkan orang kalau ini lebih murah, lebih bersih dan lebih cepat masaknya. Tapi orang banyak yang tidak setuju. Ya kita paksa karena kita yakin. Setelah tahu manfaatnya, mereka mengikut. Itu semua hanya bisa dibuat oleh pemimpin yang bertanggung jawab. Kalau tak mau bertanggung jawab, jangan jadi pemimpin karena kerja anda hanya akan saling menyalahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun