Mohon tunggu...
Jusuf AN
Jusuf AN Mohon Tunggu... profesional -

Kelahiran Wonosobo. Senang menulis (fiksi dan non-fiksi). Pemilik www.tintaguru.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ruang Publik Kota: Antara Realitas dan Idealitas

28 September 2015   13:24 Diperbarui: 6 Oktober 2015   18:41 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Alun-alun Wonosobo, Suatu Ketika Selain Minggu (foto: dok. pribadi)"][/caption]

Suatu ketika, sepulang kerja saya mampir alun-alun. Di sinilah tempat yang tepat untuk melepas lelah sejenak. Melihat keceriaan anak-anak yang berlarian di bawah pohon rimbun, sepasang kekasih, orang jogging, dan orang-orang paruh baya berkerumun bermain catur membuat saya percaya bahwa alun-alun masih menjalankan fungsinya sebagai perekat komunitas. 

[caption caption="Alun-alun Wonosobo: Gratis Rekreasi, Relaksasi, Refresing (sumber foto: dok. pirbadi)"]

[/caption]

[caption caption="Bermain catur di alun-alun Wonosobo"]

[/caption]

Esoknya, saya datang lagi. Kali ini tidak sendiri, tetapi bersama istri dan dua anak saya. Anda tahu, seperti banyak perumahan di daerah kota, rumah kami tidak punya halaman. Kalau toh ada, itu hanyalah jalan yang berdebu saat kemarau. Mengajak anak-istri ke alun-alun barangkali seperti membawa mereka ke surga.

“Ini halaman rumah kita, betapa luas!” Saya akan berkata begitu nanti, ketika kami sudah tiba di alun-alun. Tetapi niat saya terancam gagal; saya justru gusar karena kesulitan mencari tempat parkir. Dan seketika saya kehilangan kata-kata begitu menyadari sekarang hari Minggu, hari ketika alun-alun menjelma pasar. Ah, pantas saja istri saya begitu riang sewaktu saya ajak.

[caption caption="Ketika Minggu alun-alun menjelma pasar (foto: dok. pribadi)"]

[/caption]

[caption caption="alun-alun, masihkah ramah anak? (foto: dok. pribadi)"]

[/caption]

[caption caption="suasana sunday morning alun-alun wonosobo yang kurang bersahabat bagi pemilik domet tipis"]

[/caption]

Lihatlah, betapa padat orang berjualan, berdesak-desak. Tidak tersisa lagi tempat duduk, semuanya telah disulap menjadi kawasan dagang. Alun-alun telah sempurna menjadi pasar. Anak saya yang berusia satu setengah tahun saya turunkan dari gendongan, saya biarkan jalan sendiri. Pancaran kegembiraan menyemburat dari raut mukanya. Tapi lama-lama saya tidak tega, takut kalau ia tertabrak mobil dan skuter mini sewaan yang berseliweran. Semetara itu, anak sulung saya merengek meminta mainan, lalu sosis bakar, dan terakhir kue pukis. Kepala saya tiba-tiba terasa berat.

Saya paham, pasar alun-alun bukanlah tempat yang tepat untuk refresing, rekreasi, atau sekadar relaksasi bagi pemilik dompet tipis.

Untunglah di seberang alun-alun ada taman. Taman Kartini namanya. Khusus hari Minggu Pemerintah Daerah (Pemda) memang membolehkan PKL berjualan di dalam alun-alun, tetapi tidak di Taman Kartini. Berdiri belum lama, Taman Kartini adalah bagian dari upaya Pemda Wonosobo dalam mewujudkan Kota Ramah Hak Asasi Manusia (HAM). Ya, Wonosobo sudah bertekat menjadi bagian dari Human Rights City. Dan sebagai salah satu syaratnya, Pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas publik yang nyaman untuk semua, khususnya bagi anak-anak, lansia, dan penyandang difabel. Sekarang, langkah mewujudkan ruang publik yang ramah sedang digenjot.  

[caption caption="Taman Kartini Wonosobo (foto: dok. pribadi)"]

[/caption]

[caption caption="Taman Kartini Tampak Sepi Meski Hari Minggu (foto: dok. pribadi)"]

[/caption]

[caption caption="Kesunyian Taman Kartini perlu dipikirkan penyebabnya"]

[/caption]

Hei, Taman Kartini yang indah ini kenapa sepi? Setelah berpikir sejenak, saya segera mendapatkan jawaban: Taman Kartini sepi karena tidak ada pohon-pohon menaungi. Siapa tahan berlama-lama berada di bawah sinar matahari. Atau ada sebab yang lain, tentu saja. Yang jelas, sepinya ruang publik seperti Taman Kartini mesti dievaluasi. 

Ruang Publik Bebas PKL, Mungkinkah?

PKL dan ruang publik ibarat amplop dan perangko. Keduanya begitu sulit dipisahkan. PKL membutuhkan lokasi yang trategis, sementara orang-orang yang memanfaatkan ruang publik untuk bersantai, olah raga, bergembira dengan keluarga, sebenarnya juga membutuhkan PKL, khususnya penjaja kuliner.

Namun, sayang sekali jika perangko-perangko itu memenuhi seluruh amplop sehingga tak tersisa tempat menuliskan alamat. PKL yang tak tertata jelas telah merampas banyak akses dan diam-diam menciptakan kesenjangan sosial bagi para pengunjung ruang publik.

Dan lagi, ruang publik yang semestinya bebas dan netral dicemari oleh kepentingan privat yang bersifat komersial. Alhasil, cita-cita ruang publik kota hanyalah fatamorgana belaka.

Lihatlah ‘potret’ hari Minggu di alun-alun Wonosobo! Ruang publik telah benar-bear kehilangan ruhnya sebagai tempat berkumpulnya komunitas (community), yang tersisa hanyalah kerumunan (crowd) belaka; masyarakat sudah tidak ada, yang ada tinggal individu-induvidu.

Dilematis memang. Karenanya diperlukan political will pihak pengelola. PKL butuh sejahtera, tetapi tolong, jangan lupakan kesejahteraan jiwa para pengunjung ruang publik.

[caption caption="Tema Hari Habitat Dunia 2015: Ruang Publik Kota untuk Semua"]

[/caption]

Merenungi  

Apakah ruang publik dianggap tidak memberikan pengaruh ekonomi, dan hanya menghabiskan anggaran perawatan saja? Dengan mantap kita akan geleng-geleng.

Anggapan bahwa ruang publik hanyalah ruang yang sia-sia adalah kesesatan yang nyata. Kalau toh tidak bisa menjadi image of the city seperti Singapura dengan Boulevard Orchard Road-nya, setidaknya ruang publik kota bisa menjadi oase bagi jiwa-jiwa warga yang suntuk.

Ya, pembangunan yang baik semestinya tidak hanya mengedepankan aspek fisik dan materiil semata, tetapi juga kesejahteraan jiwa warga di sekitarnya.  Bukankah setiap manusia memerlukan ruang untuk berkumpul, diskusi, olah raga, jalan-jalan, atau sekadar duduk-duduk santai? Dan Anda tahu, aktifitas yang saya sebutkan itu dipercaya bisa meredam depresi. Apa jadinya sebuah kota yang dipenuhi oleh orang-oran depresi?

Menyambut Hari Habitat Dunia 5 Oktober 2015 yang tahun ini mengambil tema Public Spaces For All, tepat bagi kita untuk merefleksi keberadaan dan nasib ruang publik demi masa depan kota-kota di Indonesia. Beberapa catatan terkait realitas dan idealitas ruang publik kota berikut barangkali perlu untuk kita renungkan.

Pertama, ruang publik adalah milik bersama. Meski tentu saja kita tidak boleh mendirikan rumah di tengah alun-alun. Menjadi bagian dari pemilik ruang publik kota dapat membuat orang merasa perlu mengunjunginya sekaligus menjaganya. Tapi bagaimana kita merasa memiliki jika ternyata ruang publik tersebut hanya dirancang untuk orang-orang tertentu? Realitasnya masih banyak kita temukan ruang publik yang tidak ramah terhadap penyandang difabel dan tidak memberikan fasilitas untuk seluruh umur.

Kedua, keindahan saja tidak cukup. Merancang sebuah taman kota misalnya, tidak hanya mementingkan aspek keindahan (estetika) semata, tetapi juga harus mengindahkan aspek kegunaan dan kenyamanan pengguna.

Ketika berkunjung ke Surabaya, saya memang sempat terkagum melihat taman dan taman, di mana-mana taman. Tetapi hanya beberapa saja dari taman tersebut yang kerap dikunjungi, selebihnya sepi. Tidak apa-apa; ruang terbuka hijau seperti taman tetap memberikan manfaat meski sepi. Tetapi jika lebih banyak orang memanfaatkan keberadaannya tentu akan lebih bagus dan akan menghindarkannya dari penyalahgunaan, seperti dijadikan tempat mesum karena memang situasi mendukung.

[caption caption="Taman Prajuritan di dekat alun-alun Wonosobo yang lebih sepi dari Taman Kartini (foto: dok. pribadi)"]

[/caption]

Guna menarik minat orang-orang mengunjungi ruang publik barangkali penting untuk memperhatikan faktor aksesibilitas. Ruang publik haruslah mudah dijangkau,  terutama bagi pejalan kaki. Selain itu perlu pula memberikan daya tarik tertentu, misalnya wahana bermain anak, internet gratis, atau pertunjukan-pertunjukan kecil di akhir pekan. Para pakar tata ruang kota saya yakin lebih paham soal ini.

Ketiga, keamanan adalah kenyamanan paling utama. Meski Anda tahu, akar kata publik itu sendiri berasal dari bahasa Latin, “publicus” yang artinya ‘laki-laki dewasa’. Tetapi ruang publik yang ideal haruslah menjamin keamanan semua pengunjungnya, tanpa membedakan jenis kelamin. Memang, jarang sekali kita temukan perempuan duduk sendirian di bangku taman kota, barangkali karena masih banyak ruang publik yang rawan tindak kejahatan.

Ini sekaligus menjadi jawaban kenapa orang-orang cenderung memilih mall, atau café sebagai tempat pertemuan ketimbang ruang publik terbuka. Tidak lain karena keamanan di sana jauh lebih terjamin. Maka, patroli petugas keamanan dan pemasangan CCTV menjadi penting untuk menjamin keamanan pengunjung di ruang publik kota.

Demikianlah, berbagai kekurangan tentang tata kelola ruang publik kota adalah kewajaran, selama upaya pembenahan tetap digalakkan secara intensif. Segala permasalahan adalah tantangan untuk diupayakan pemecahannya, bukan dibiarkan.

Sudah saatnya keberadaan ruang publik tidak sekadar menjadi pelengkap, tetapi benar-benar dimanfaatkan (tak sekadar bermanfaat) oleh banyak orang. (www.tintaguru.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun