Aku mencoba mencari celah yang bisa kumasuki untuk mengobarkan api permusuhan antara kau dengan Gazali. Berbulan-bulan lamanya tak aku dapatkan celah itu. Hubunganmu dengan Gazali kian akrab, bahkan lebih akrab ketimbang hubunganmu dengan Madun yang justru merupakan kawan sekamarmu. Kerap kau dan Gazali makan malam bersama di angkringan, ngobrol soal buku tanpa saling menghujat. Kalian saling memberikan masukan baik soal puisi maupun masalah kehidupan sehari-hari. Kau kagum ketika Gazali memperlihatkan dokumen tulisan-tulisannya yang dimuat di media massa. "Menulis, selain bisa mengembangkan pikiran juga dapat menambah uang jajan," jelas lelaki yang tak merokok itu.
Sontak aku berbisik di dadamu: "Tak perlu kau percaya padanya, Rijal. Sudah terlampau banyak penulis di dunia ini. Tidakkah kau lihat, berapa juta buku tercetak tetapi tak terbaca. Pekerjaan menulis akan sia-sia belaka. Negeri ini tak lagi membutuhkan seorang penulis yang hanya berkoar-koar di atas kertas. Negerimu ini butuh kerja yang nyata, Rijal."
Tetapi kau tak mempercayaiku. Kau membenarkan apa yang dikatakan Gazali bahwa dengan menulis pikiran akan terbuka. Kau ingat apa yang pernah kau baca pada sebuah buku: berpikir merupakan prinsip dan kunci seluruh kebaikan. Berpikir adalah aktifitas hati yang paling afdhal dan berguna. Dan dengan menulis manusia akan selalu berpikir. Akan selalu berguna.
Sial!
Bersambung.......
----------------------------
Baca juga:
Suara-suara yang Ditiupkan ke dalam Dada (1)
Suara-suara yang Ditiupkan ke dalam Dada (2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H