Mohon tunggu...
Noviati Wani Wibawati
Noviati Wani Wibawati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa biasa dengan idealisme yang biasa saja tetapi punya tujuan yang tidak biasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketika Dilema Bahasa Itu Hadir

23 September 2012   15:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:51 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Saya ingin sedikit bercerita tentang kegalauan saya selama ini yang berhubungan dengan bahasa. Saya suka sekali mencoba hal-hal baru, begitu pula dengan bahasa. Saya banyak belajar bahasa asing. Saya pernah belajar bahasa Jepang dua tahun walau sempat terhenti setahun dan sekarang saya memulai lagi dengan kursus baru. Saya juga sempat belajar bahasa Korea selama enam bulan. TOEFL Bahasa Inggris saya juga cukup memuaskan. Dengan fakta itu, saya hampir tidak punya alasan untuk mencintai bahasa Indonesia. Mengapa? Saya hanya merasa bahasa indonesia hanyalah another language sejenis bahasa lain. Saya tidak menaruh perhatian khusus mengapa saya harus suka dan freak pada bahasa indonesia. Tetapi pemikiran itu sudah terhenti dari kira-kira satu semester lalu.

Saya bukan mahasiswa baru, tetapi juga belum jadi mahasiswa basi. Saya baru masuk universitas setahun lalu. Kehidupan kuliah tidak terlalu berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan SMA. Hal itu berubah ketika saya mulai berorganisasi. Saya bertemu banyak orang. Baik orang dalam negeri maupun luar negeri. Saya bekerja dengan orang Bontang, Gresik, Banten, Palembang bahkan Merauke ! Saya membaur bersama perbedaan. Saya terkesima dengan cara bicara orang Bontang yang suka sekali bilang "Botek." Saya suka dengan gaya bicara asik dan ramah anak Banten yang walau kata-kata seperti-maaf "anjrit" keluar tak diharapkan dari mereka. Merauke yang kadang-kadang malu kucing tapi sebenarnya sangat hiperaktif. Anak Jakarta yang sangat informatif sekali dan bilang lo-gue dengan siapa saja dan dimana saja. Tak lupa orang Jawa Tengah seperti Solo, Semarang dan Magelang yang satu daratan tapi beda kultur dan latar belakang kisah. Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri, bagaimana jika Bahasa Indonesia tak pernah ada? Apa yang bisa menyatukan kami?

Saya menemukan keistimewaan dari bahasa yang awalnya saya sepelekan ini. Hal yang sama dengan yang dialami negara-negara lain juga. Bahasa nasional ditujukan untuk menyatukan berbagai bahasa ibu. Bahasa Indonesia lebih istimewa karena mengakomodir berbagai suku, bahasa dan agama di Indonesia. Saya membayangkan kalau kami rapat dan menggunakan bahasa ibu masing-masing. Terdengar lucu memang, tapi pasti tidak akan nyambung. Keistimewaan lain yang saya temukan adalah logat. Logat Bahasa Indonesia teman-teman saya lucu-lucu. Ada yang kalau bicaranya pelan sekali, seperti anak Solo dan sekitarnya. Ada yang tegas dan agak keras seperti orang Medan. Banyak versi dan banyak keunikan. Benar jika Bahasa Indonesia harus tetap dihadirkan dalam setiap ruh kita. Bagaimanapun keadaannya, saya menjanjikan diri saya untuk tidak pernah lupa berbahasa indonesia.

Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar akan menjadi tantangan sulit untuk dekade ini. Dengan gempuran idealisme penguasaan bahasa asing, saya yakin akan banyak pemaksaan campuran Bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Tak mengapa, selama masih dalam koridor yang benar. Toh semua orang memiliki kebutuhan eksplorasi diri dalam bakat dan kemampuan. Lebih baik begitu, daripada yang berkembang adalah sejenis bahasa alay yang benar-benar memusingkan. Betul atau betul? :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun