Mohon tunggu...
Layfa Meillatina Azmi
Layfa Meillatina Azmi Mohon Tunggu... -

Seorang hawa yang sangat suka malam menjelang fajar karena itulah Layfa lahir. Layla Fajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dosakah Hawa Menjauhi Dosa

22 Mei 2014   16:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:14 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Dosakah aku menjauhi dosa?” Tanyaku pada Adam tersebut. Sudah kedua kalinya aku bertanya pada Adam itu. Sungguh pertemuanku bersamanya hanya mengundang dosa dan menambah turus dosa yang sedang ditulis oleh Atib. “Coba bayangkan ketika Allah cemburu padaku, mungkin rahmat-Nya tidak akan menjamah hidupku.” Ujarku padanya. Dua tahun sudah, aku mengenal Adam itu. Dia biasa saja. Namun, ada pesona yang merabunkan imanku yaitu wibawa. Entah mengapa, setiap pertemuan dengan seorang Adam yang pertama kali ku lihat adalah wibawa. Ini pun terjadi pada Adam yang satu ini, aku jatuh cinta dengan wibawanya dan tanpa panjang lebar aku memuja wibawa Adam tersebut. Awalnya, aku tak pernah bisa bercakap dengannya, sungguh di dekatnya tubuhku  tersilaukan oleh sesuatu yang membuatku bungkam di depannya.

“Aku ingin kau kembali, Tan.” Ucap Adam itu setahun setelah kami berkenalan. “Sungguh hatiku telah tertambat pada Tuhanku, maafkan aku.” “Tapi apakah kau akan kembali?” tanyanya. “Sungguh hanya Tuhan kita yang tahu.” Ucapku sembari pergi dan tersenyum di depannya untuk terakhir kalinya. Saat itu aku berjalan menuju rumah tuaku, sepanjang jalan aku mengingat kembali kisahku bersama Adam itu setahun lalu. Tuhan, sungguh sesal tiada henti meracuni pikiranku. “Andai Kau tak menumbuhkan rasa itu, mungkin saat ini aku akan bahagia jalani hidup. Astaghfirullah, aku  telah menyalahkan takdir-Mu, sungguh ini adalah salah ku.”

Aku baru sadar, aku telah menambah dosa saat bersama Adam itu. Emosiku selalu memuncak ketika aku melihat Adam itu bersama Hawa lainnya. Sungguh, sekarang aku baru menyadari mungkin Tuhanku mengalami hal yang serupa ketika aku cemburu. Tak terasa langkahku sudah berada di depan pintu tua yang telah rapuh. Dengan hati-hati aku membuka pintu tersebut, suara rapuh dan bau debu pun sangat terasa seketika kaki baru sampai pada langkah ke tiga. Inilah, tempatku ditampar oleh hidayah-Mu. Warnanya masih sama, kusam dan pudar seperti film berlatar delapan puluhan. Seketika tubuhku merinding saat ku ambil sebuah foto yang tergeletak di meja yang tertutup kain putih. Itulah, foto seorang Adam yang paling hebat yaitu ayahku. Aku jatuh cinta padanya bukan sekedar karena wibawanya, namun segalanya. Semua yang menempel pada fisik dan hatinya aku sayangi dan aku puji dalam setiap do’a ku selepas fardhu.

“Ya, Allah. Setahun lalu sempat posisinya tergantikan oleh Adam muda itu. Sungguh, aku menyesal melanggar titahnya untuk tidak bersama Adam muda itu. Ampuni aku Ya, Rabb.” Do’a ku sambilku letakkan kembali foto tersebut. Benar, setahun lalu aku telah melanggar nasihat Adam hebat ini, Ia tak ingin melihat ku mendekatkan diri dengan dosa. “Tapi mengapa aku baru menyadarinya sekarang?” rintihku sambil terus menahan air mata.

Tiba-tiba, dering suara pesan singkat memecah renungan penyesalan. Ternyata, pesan dari Adam muda itu. Sungguh, jariku malas membuka pesan tersebut namun terpaksa aku membukanya. “Hai, tan! Mohon, beri kejelasan padaku. Apakah aku harus kembali lagi padamu?” isinya hanya sekedar pertanyaan yang seharusnya ia mengerti. Aku biarkan dahulu pesan tersebut, lalu aku lanjutkan lagi untuk mengelilingi rumah tua itu. Aku pun teringat untuk melihat tembok yang dahulu menjadi kanvas terbesar yang sempatku punya, dan benar saja tulisan itu masih ada, dengan tulisan yang terbesar yang pernah aku ukir, seperti itulah hobiku semasa kecil, menggambar aksara. Aneh memang terdengarnya, tapi itulah kebiasaanku bersama Adam hebat  itu sewaktu kami masih muda. Tulisan itu terlihat kusam namun isinya tetap sama, “Ki..ntan Say..ang Ayah” ejaku pada tulisan yang acak-acakan itu.

Tanpa bisa ditahan lagi air mata ku terus mengalir, “Oh, ayah. Rindu ini telah menjadi milikmu. Rindu ini makin menjalar ke setiap saraf tubuhku, mungkin salah satu caranya adalah memelukmu lagi, Yah. Tapi?” “Tapi, mana mungkin yah, Kintan memelukmu kembali.” sambil menghela napas dan mengusap aliran air mata dengan sapu tangan biru bermotif kumpulan huruf pemberian terakhir dari ayah padaku. Lalu, dering pesan pun terdengar lagi memecah haru, aku harap bukan dari Adam muda itu, namun prediksiku sangat salah. “Tan, mohon beri aku jawaban, apakah aku harus di dekatmu atau tidak?” sungguh pesan darinya membuatku makin tak acuh padanya. Sore itu aku memutuskan untuk kembali ke asalku, rumah baruku dengan meninggalkan rumah tua besar itu dan segala kenangan hingga hidayah-Nya.

Beberapa hari yang lalu, menjadi pertemuan yang menyakitakan. Aku memutuskan untuk memulai kembali menjaga diri dari Adam manapun, termasuk Adam muda itu. Aku telah banyak menjelaskan alasan untuk kembali menjaga diri, dimulai dari alasan agama hingga alasan amanah ayahku. Kemarin aku berkata, “Sungguh kita telah melanggar aturan Allah dan mendekatkan diri dengan dosa. Sungguh aku tak mau mengulang semua dosa ini, maukah kau pergi dan aku pun akan pergi”. Adam muda itu cukup kaget, mukanya sayu menampakkan kesedihan dalam. Namun dalam hatiku, aku sudah tak lagi silau dengan wibawamu. “Apa maksudmu, Tan? Kau ingin mengajakku berdiskusi” “Tidak, aku serius. Aku malu dengan penutup auratku, sedangkan aku menjalin kisah bersamamu. Aku sudah cukup sadar dengan ketakutanku pada Tuhanku. Cukup jelaskah, maksudku?”. Ia terlihat kelabu, “Aku tahu maksudmu, lalu apa yang akan terjadi selanjutnya?” tanyanya. “Selanjutnya, kau akan menjadi saudara seimanku seperti awal kita bertemu.” Kurasa cukup penjelasanku namun ia terus saja mencercaku dengan berbagai pertanyaan. Hingga akhirnya aku berkata tegas, “Nan, dengarkan aku. Dosakah aku menjauhi dosa? Aku hanya ingin memenuhi amanat ayahku untuk  menjadi Hawa tangguh yang bisa bertarung dengan semua nafsu. Salahkah aku?” Ia pun terdiam dan hanya menggelengkan kepala lalu menjawab “Tidak, maafkan aku telah mengajakmu mendekat pada dosa.” “Ya, aku maafkan segeralah kau pulang dan persiapkan diri menjadi Adam yang lebih baik lagi.” Suruh ku, “Dan Seenan, jangan lupa do’akan semua dosamu agar terampuni oleh-Nya” tambahku seketika.

***

Satu tahun berlalu, semenjak hari itu aku dan Seenan tak pernah saling mengabari. Aku selalu berdo’a semoga Seenan tak menyimpan dendam padaku. Tak ada sedih yang transit setelah perpisahan itu. Sudah cukup, keberadaan Tuhan di hati menghilangkan rasa sedih yang tumbuh. Lalu, hidup bersama Ibu dan adik-adik adalah hal yang paling aku syukuri, dan ayah yang mengintip kami dari dunia yang berbeda. Tak memiliki Adam hebat bukan berarti menjadi alasanku harus mencari penggantinya untuk menjagaku saat ini. Belum waktunya Adam baru datang, aku masih ingin menjadi Hawa tangguh. Tangguh dari nafsu, emosi, keserakahan, dan yang paling penting tangguh menjaga kesucian hati, pikiran, serta laku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun