Mohon tunggu...
Justitia Adysti
Justitia Adysti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Lampung

Mahasiswa Universitas Lampung

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Silent Majority: Menghambat Budaya Demokrasi yang Sehat?

5 September 2024   14:37 Diperbarui: 5 September 2024   16:42 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah Silent Majority kerap digunakan sebagai ilustrasi masyarakat mayoritas diam yang tidak mengemukakan pendapatnya di muka umum. Hal ini merupakan keterbalikan dari vocal minority, keduanya dapat digunakan untuk membedakan antara yang aktif dan pasif.

Dilansir dari Kamus Oxford, Silent Majority adalah kelompok besar pada sebuah negara yang tidak menyatakan pendapat mengenai sesuatu atau tidak mengungkapkan pendapatnya dengan terbuka.

Silent Majority merupakan bagian terbesar populasi negara yang terdiri dari orang-orang yang pasif dalam politik dan tidak mengungkapkan pendapat politik di muka umum

Sikap pasif dari Silent Majority dapat menimbulkan banyak dampak negatif karena mereka tidak mengungkapkan opini sehingga tidak menyebabkan perubahan yang lebih baik. Salah satu contoh dampak negatif dari sikap membisu ini dapat dilihat dari maraknya kasus korupsi yang menjadi penyakit tetap di suatu negara.

Pada umumnya rakyat hanya diam saat melihat dan mengalami korupsi yang merajalela baik dari tingkat paling bawah maupun tingkat atas dari birokrasi. Suara lantang untuk menungkapkan teralihkan untuk memilih diam atau menerima korupsi dalam berbagai bentuk yang menyebabkan hal ini menjadi budaya sehingga sangat sulit untuk dihilangkan.

Secara historis, silent majority merupakan sebutan untuk mayoritas masyarakat yang diam karena takut pada kesewenang-wenangan kekuasaan. Istilah itu dibuat untuk menggambarkan mereka yang terpinggirkan, dikhianati, diabaikan, dicurangi, dan dibungkam oleh rejim.

Dewasa ini silent majority kerap disalah artikan, menurut Denis Malhotra silent majority kerap digunakan oleh masyarakat mayoritas yang diam karena tidak punya gagasan namun dalam hati bersorak sorai atas kesewenang-wenangan kekuasaan.

Meningkatnya silent majority justru mengubur harapan pasca reformasi yaitu membangun character building bangsa Indonesia yang dimana peran kritisisme masyarakat sangat diperlukan untuk menumbuhkan nilai-nilai karakter sesuai dengan amanat Undang-Undang. Silent majority akan mempengaruhi peningkatan partisipasi aktif masyarakat secara kritis terutama berkaitan dengan aspirasi, kritik, dan realisasi kepentingan dengan proses politik.

Masyarakat harus segera membuka mata untuk merubah habit bersikap pasif dalam proses aspirasi maupun kritik karena hal ini sangat mempengaruhi budaya demokrasi yang sehat. Aspirasi Masyarakat harus diungkapkan secara lantang untuk memperjuangkan hak dan melakukan perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun