Gaya posisioning "terdzolimi" sang mantan penguasa 10 tahun negeri supeeer paling kaya raya di dunia ini nyata memang terlihat begitu teramat amat sangat sulit untuk dihilangkan. Bahkan setelah 2 tahun lengser pun kebiasaan menempatkan diri sebagai korban seperti setia dilakukan sejak nyapres pertama kali, diteruskan selama dua dekade berkuasa lantas tetap komit dijalankan sampai sekarang ini.Â
Dua penampilan curhat terakhir yang menghebohkan adalah ketika ia berkeluh kesah tentang derasnya tuduhan sebagai dalang serangkaian aksi bela plus pendana utama aksi makar. Terbaru tentu saja, tumpahan perasaannya ketika penghasil 40 lagu di 5 album ini merasa harga diri dan haknya diinjak-injak karena mensinyalir bahwa percakapan dirinya dengan ketua MUI Ma'ruf Amin Oktober lalu telah disadap. Bumbu-bumbu khas pun ia sajikan antara lain kegalauannya saat ia merasa terus-menerus digempur dan menuding ada satu dua orang istana yang menghalangi pertemuannya dengan Presiden Jokowi. Terkait isyu "ngeri-ngeri sadap" ini, tanpa ampun ia menembakkan peluru barang dagangan seksi dan panas ini ke istana, Presiden Joko Widodo.
Maka tak pelak, proses sidang ke-8 kasus Ahok yang menghadirkan saksi ketua MUI Ma'ruf Amin pun rame-rame dillempar dan digoyang di ranah publik. Setidaknya ada 2 tema besar yang kini sudah jadi bola panas nan liar. Satu, Ahok dan penasihat hukumnya dituding telah bertindak gak sopan dan gak etis kepada saksi Ma'ruf Amin dalam kapasitas sebagai ketua MUI, namun di luaran yang dominan mengemuka adalah status Kyai Sepuh ini sebagai Rois Aam PBNU yang memang sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh banyak kalangan bukan cuman petinggi dan warga Nahdiyin doang ajah. Ahok pun kembali apes karena sekali lagi jadi sasaran tembak empuk dengan tuduhan baru "melecehkan dan menghina Ulama". Dua, tiada lain kecuali isyu "penyadapan" atas percakapan telpon Presiden ke-6 NKRI dengan Pak Kyai Ma'ruf.Â
Meski sama sekali gak ada kata atau kalimat "penyadapan" atau "rekaman" dari mulut Ahok maupun para pengacaranya, namun materi bahan baku di dalam persidangan ini lantas diolah dan dikemas menjadi produk seksi, panas dan mahal kemudian dengan cekatan disambar oleh siapa saja para petualang entah itu petualang politik, petualang agama, petualang ekonomi maupun petualang sosial. Produk baru "penyadapan" dan "penghinaan/pelecehan Ulama" ini pun menggelinding liar disantap oleh para pemilik kepentingan dan semakin kental menyemburkan aroma politik termasuk kepentingan Pilkada DKI 15 Februari 2017 mendatang...
Bahkan, gerakan melawan polah tingkah elit ini bisa dilakukan oleh masyarakat tanpa harus bergerombol dan berkoar-koar sambil meneriakkan yel-yel khas agama atau khas kedaerahan. Sejatinya gerakan ini bisa dimulai pada tanggal 15 Februari 2017 yang bentar lagi datang, ketika sebanyak 101 daerah provinsi, kabupaten dan kota serentak menggelar pesta demokrasi pemilihan kepala daerah. Gak usah juga membayangkan dari pilkada itu akan muncul seorang Satria Piningit yang kemudian digadang-gadang akan membebaskan masyarakat dari cengkeraman penjajah gaya baru, atau menyulap mengikis kesenjangan ekonomi lantas dengan singkat menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat...
Cukup langkah kecil saja.. setiap warga negeri yang mempunyai hak pilih, membuka kesadaran dan menampilkan integritasnya saat menentukan di bilik suara. Jangan tertipu dan terkecoh oleh iming-iming para tukang sulap. Jangan pula tunduk dan takluk kalau ditakut-takuti. Lebih baik dengarkan suara hati masing-masing, niscaya Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta akan memberikan Petunjuk. Maka kalau  bisa melakukan itu, si Satria Piningit itu adalah Anda.. bukan orang lain apalagi para elit yang demennya memperdagangkan produk goib kemasan dan pencitraan alias yang suka menyembunyikan sesuatu yang gak ada ...
Jadi inget nasihat BAPAK saia:
"Pejuang punya semangat untuk melayani semua orang dengan cara yang baik dan benar. Pengkhianat cenderung berupaya mengungguli semua orang dengan segala cara hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya"
Salam 101