[caption caption="resiko ketidakmauan"][/caption]
Turnamen demi turnamen sepakbola level tertinggi di negeri paling kaya di dunia ini, oleh para pengidols fanatik Mas Imam Nahrawi yang juga menahbiskan diri sebagai kelompok revolusioner sepakbola nasional, disambut dengan gegap gempita dibarengi dengan semburan puja puji kepada Mas Imam dan timnya serta Mahaka Sport Entertainment sebagai pelaksananya. Gelaran tontonan dari kota ke kota dengan mekanisme yang kadang unik ini dipandang sebagai indikator bakal melesatnya prestasi sepakbola nasional baik untuk klub maupun Timnas. Padahal sejatinya, turnamen demi turnamen itu ibaratnya hanyalah permen (gula-gula) yang diberikan kepada anak2 kecil yang lagi ngambek dan galau, biar terhibur sesaat... heu heu heu..
Perjalananan "surat sakti" Menpora kepada PSSI sebentar lagi melewati batas akhir tahun, yang seharusnya adalah penghujung "patah hati"nya insan sepakbola nasional akibat ulah seorang Imam Nahrawi, yang kalau dicermati dengan seksama, dalam urusan organisasi dan industri sepakbola ini bisa jadi masuk kategori tidak tahu, tidak paham dan perilakunya menunjukkan kalau beliau itu tdak patuh.Â
Beliau tidak tahu, kalau untuk mereformasi tata kelola sepakbola nasional itu gak cukup bermodalkan niat baik dan kewenangan sebagai bagian dari penguasa. Mas Imam jelas tidak tahu, bahwa ia perlu dukungan mayoritas rakyat sepakbola terutama dan ini yang paling penting adalah para anggota PSSI termasuk para pemegang hak suara tentu saja. Beliau juga sepertinya tidak tahu, kalau sebelum melakukan tindakan mematikan dengan surat saktinya, ia mutlak sudah harus menyiapkan "back up metode tata kelola" termasuk memastikan bahwa kompetisi tetap berjalan seperti biasanya. Beliau tidak tahu, bahwa sebelum mendaratkan pululan telak mematikan kepada PSSI, ia mutlak harus memamerkan kepada rakyat sepakbola terutama para pemangku kepentingan tentang "bagaimana caranya reformasi tata kelola sepakbola nasional itu akan dilakukan"...
Beliau tidak paham, bahwa organisasi dan industri sepakbola nasional itu gak melulu menjadi kepentingan para pemain, wasit, pelatih, pemilik klub.. tetapi juga merupakan rangkaian mata rantai yang sambung-menyambung dengan pihak lain seperti para sponsor, televisi tukang siar.. tukang pijit, tukan spanduk, tkang syal, tukang bendera, tukang mie ayam, tukang batagor, tukang rokok.. dan banyak lagi pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung, termasuk tukang ngatur sekor pertandingan yang mau dilibas sama mas Imam Nahrawi.. Beliau sepertinya juga tidak paham, bahwa seperti halnya permainan sepakbola itu sendiri yang sangat menuntut sebuah "harmonisasi" di lapangan ketika dipertandingkan; orang-orang dan kelompok2 yang terkait enah itu pengurus PSSI, klub, wasit, sponsor, suporter dan lain-lain pun mutlak perlu harmonisasi. Tentu saja hal itu tersurat dan tersirat dari nama organisasi tua dan besar PSSI ini... Lalu, beliau ada kemungkinan juga tidak paham alau organisasi seperti PSSI itu punya mekanisme sendiri yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang..xixixi..Â
Puncaknya, beliau mempertontonkan perilaku tidak patuh.. yakni kepada hukum yang ada di negeri ini, keputusan PTUN dan PTTUN, cuek bebek dan tetap trabas jalankan keinginannya sambil melempar isyu kalau para hakim di kedua lembaga peradilan itu tidak independen. Dalam urusan pergaulan sepakbola gobal, beliau juga tidak patuh pada FIFA. Patuh sama FIFA tentau saja tidak tepat kemudian diartikan bahwa harga diri bangsa dan negara ini lantas terinjak-injak.. hanya manusia berotak miring yang punya pola pikir seperti itu.Â
Nah! dengan langkah-langkah yang didasari oleh ketidaktahunan, ketidakpahaman dan ketidakpatuhan ini, trus... bagaimana peta jalan yang gak pernah ditunjukkan untuk "menuju puncak prestasi" ini dipercaya? Mungin baik adanya, jika sajak sederhana ini bisa menjadi salah satu dari sekiaan banyak bahan refeleksi buat mas Imam, bukan buat Menpora, karena.. gampang banget kok dibedakan mana mas Imam Nahrawi dan mana Menpora...
Ketidaktahuan membuat diri kita tersesat... "Ketidakpahaman membuat diri kita tersiksa.. dan Ketitakpatuhan membuat diri kita celaka"...
Sudah dulu ah, mau ke tetangga dulu...
heu hei heu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H