Di Indonesia menurut hasil penelitian Media Care, sepanjang tahun 2000-2014, 1.300 penerbitan sudah gulung tikar. Media-media berguguran, selain tidak mampu bersaing dengan media online yang menjamur juga karena harga kertas yang terus naik. Menurut data Dewan Pers, gempuran media sosial digital dan media online, cukup membuat industri cetak terpengaruh. Hal ini tercatat dari rendahnya pertumbuhan sirkulasi oplah dari 1.100 media di Indonesia pada akhir 2013, yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,25 persen.
Akan tetapi, “musuh” media cetak bukan hanya media online. Adanya media sosial seperti twitter, facebook, blog, instagram atau path membuat semua orang dengan mudah menyampaikan informasi saat itu juga dan dapat dilihat oleh semua orang. Hal tersebut sering disebut dengan Citizen Journalism atau jurnalisme warga. Contohnya ialah kasus Florence Sihombing, berawal dari postingannya di path, satu Indonesia mengetahui keluhannya. Tak hanya itu, secara cepat dirinya mendadak menjadi sorotan pers nasional.
Kita tidak dapat menyalahkan internet atau media mainstream mengenai kasus ini. Internet dan media massa adalah kita. Sebab, manusia adalah pembuat suatu kebudayaan. Perkembangan internet dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat, di sisi lain, gaya hidup masyarakat berubah dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan internet. Pun demikan dengan media massa. Media mainstream dipengaruhi berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat, di sisi lain, pandangan masyarakat juga terpengaruh dengan pemberitaan media mainstream sebagai media massa.
Dilansir dari http://batampos.co.id/
Jika semua peristiwa dapat seketika langsung disebar dan dapat diakses oleh masyarakat saat itu juga melalui media sosial atau media online. Lalu bagaimana nasib media cetak, apa kita dengan begitu saja meyakini tesis Philip Meyer didalam bukunya The Vanishing Newspaper? Tentu saja tidak.