Mohon tunggu...
Just Pensies
Just Pensies Mohon Tunggu... Swasta -

apa iya ini aku???

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Bahagianya Ku Punya Mu

24 Desember 2013   00:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1387820148666167468

oleh : Just Pensies (No. 236)

Jakarta, akhir Desember 2013

Sungkem kagem Ibu,

Katur Ibu yang sedang mengatur istirahat. Semoga Ibu dalam keadaan yang baik, masih bugar dengan berbagai kegiatan yang tak terbilang, momong para ponakan, bersih-bersih rumah, memasak, dan merawat Bapak yang mulai butuh perhatian ekstra di masa senjanya. Berkat sukacita Allah berlimpah.

Sudah lama kuingin ungkap kisah sesalku padamu. Selarik bait dari ribuan bab dalam novel hidupku. Serangkai rasa yang menggema di dinding sanubari. Mengetuk untuk dikeruk dan dibentuk menjadi luapan cinta kasih pada pangkuanmu.

Pagi itu hampir sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Kerahiman sang surya serupa kasihmu yang tiada tara. Bukan balasan, hanya asa tetap menyala kau pinta sepanjang masa. Embun menghias sunyi, bagai pujimu pada Hyang Ilahi memintal rapal doa. Batang pohon berrimbun dedaunan menyapa tegak pada hari, setegas kepulan niat pengorbananmu bagi brayat.

Namun, serentak pagi itu tak sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Hatiku tersentak. Asa doa sepanjang masa runtuh.

“Pensi...ada telepon!”

Aku bergegas menuju bilik kecil di tengah lorong asrama. Tumben pagi-pagi dapet telpon, pikirku. Tak terbersit se-iota pun jawaban dari 5W+1H.

Halo...dari siapa ya?

Mas Dwi iki. Piye kabare, dek? Lagi ngopo? Ganggu gak?

Ohhh...apik, Mas. Abis sarapan tadi.

Ana apa, Mas? Kok tumben telpon pagi-pagi.

Aku abis dari rumah e. Kamu dah denger kabar blom?

Ibu dirawat di rumah sakit Wates.

Hah?! Tenane? Yang bener?

Kok gak ada yang ngasih kabar? Gimana keadaannya?

Ibu, sungguh aku tidak menyangka. Tak sekalipun kau sakit parah, apalagi sampai opname di rumah sakit. Kabar Mas Dwi, kakak kedua, sontak menghalangi kelancaran aliran darah. Aku harus pulang ke Wates. Apapun jadwal kuliah hari ini. Bagaimana pun caranya. Pikiranku berkecamuk. Tak kubiarkan sirna kesempatan berjumpa denganmu.

Hanya sekejap kuputuskan menggaet seorang teman untuk mengantar dengan vespa-nya. Kudoakan sungguh-sungguh supaya si vespa bekerja luar biasa. Bila biasanya ngadat, semoga hari ini lancar jaya dan tak kurang sesuatu pun. Puji Tuhan, slah pertama langsung hidup. Rupanya rumus Prof. Surya benar adanya. Mestakung, semesta mendukung!

Kuhinggapkan nostalgia kenangan-kenangan masa kecil bengalku bersamamu. Aku anak bungsu tak berbakti. Sebagaimana Yusuf dan Benyamin bagi Yakub, bapa bangsa Israel, aku lahir di masa tua orang tua. Ibu dan Bapak. Serupa mereka pula, aku kau sayang dan kau manja. Namun, rasa syukur tak hinggap se-mikro saja pada kalbu.

Kecewa demi kecewa kurajut. Aku marah ketika aku buru-buru berangkat ke sekolah, nasi baru saja diangkat dari dandang. Masih panas dan butuh sekian sekon untuk menjejalkannya sebagai sumber tenaga bagi tubuh. Aku marah ketika lelah ku belajar dari pagi hingga siang, sayur belum tersedia. Kutendang ketel tempat nasi hingga bergelimpangan. Kau tak marah.

Sebaliknya, kubuat kau marah ketika aku berbohong. Kau bangga setiap kusodorkan laporan hasil belajar (rapor). Posisi juara kelas hampir tak pernah bergeser kusandang. Paling tidak, tiga besar di kelas. Namun, entah mengapa, di rapor caturwulan ketiga kelas 4 tertera ranking 4. Maka, pulang sekolah buru-buru ku berlari ke kamar paling timur. Keringat dingin mulai bercucuran. Apakah tindakanku ini benar? Kuingat kebanggaan dan senyum yang selalu tersungging pada wajahmu, wajah Bapak, dan wajah kakak-kakak ketika aku mendapat juara kelas. Maka, tak ku ragu-ragu lagi. Kupertimbangkan sejenak dan kuyakin. Angka 4 bertinta hitam harus menjadi angka 1.

Ahhh...sial! Di mana kusimpan barisan pulpen dan pensil yang biasanya berserakan memenuhi kolong tempat tidur? Pensil jelas tidak mungkin aku gunakan. Harus bertinta hitam untuk menutupi tulisan wali kelasku, Pak Nang. Pulpen hitam tak kutemukan. Bukannya tidak ada, namun tintanya mengering. Pertanda buruk! Tapi, aku tak menyerah begitu saja. Demi kegembiraan keluarga dan kebanggan mereka, ini harus segera dieksekusi. Kutemukan pulpen biru dengan tinta biru seadanya. Terpaksa kugores-gores tinta biru di atas angka 4.

Kau pandai, Ibu. Kau tahu aku berbohong. Saat itu kemarahanmu memuncak. Kesalahanku tak termaafkan. Kau teriak membentakku. Membawaku dan menyentak ke alam kesadaran kembali. Tindakanku harus dikoreksi. Toh, gores-gores tinta biru itu tak mungkin diperbaiki, kecuali minta rapor baru. Tapi, apakah aku tega menyusahkan Pak nang karena kesalahanku sendiri? Tegakah aku pada guru yang gajinya tak seberapa? Aku bengal, nekat, nakal, dan tak berpikir panjang. Sifat yang nyaris muncul dan selalu kusesali hingga kini.

Aku berlari ke pojok rumah dan kau kejar dengan kayu di tangan. Aku berpikir untuk segera kabur dari rumah, apapun yang terjadi. Aku telah memalukan keluarga. Itu yang berkali terucap di sela bentakan kemarahanmu. Ingatkah kau, Ibu? Kau berlari sambil menangis. Durhakalah aku. Aku pun menangis, menyesali kesalahan yang mungkin lagi kuperbaiki. Di dekat pohon mangga tumbang, kuberhenti. Aku berjongkok. Kepalaku tertunduk dan tertutupi kedua belah tangan. Seragam pramukaku basah kuyup oleh peluh yang mengucur deras. Makin deras ketika terbayang kejadian yang tak pernah kujumpai selama kuhidup dalam kasih sayangmu. Bagaimana jika kayu itu bertubi-tubi menampar tubuhku? Apakah ini akhir dari hidupku?

Tangisku menderu. Mohon ampun atas segala kekecewaan, kesalahan, kesedihan yang kutimbulkan. Bapak berdiri di belakangmu. Tak sempat kutengok ekspresi apa padanya. Yang jelas, engkau dan bapak telah marah. Kayu teracung tinggi di atas kepalamu. Rambut awut-awutan berkibar diterpa angin. Mungkin kemarahan membesar karena tiupan angin. Daster kerja dapur kesayanganmu terkoyak di sana-sini. Engkau hampir komandan yang menghunus pedang untuk melenyapkan prajurit yang tidak loyal.

Syukurlah, engkau rahim.

Ibu,

Sepanjang jalan kupegang untaian manik. Kudoakan puja-puji dan permohonan pada Sang Bunda, teladan kesetiaan dan kerendahan hati, seperti engkau. Batinku menangis. Aku belum persembahkan cita-citaku.

Delapan tahun sejak kejadian itu, aku mencium punggung tanganmu. Berpamitan untuk menepati cita-citaku dari kecil. Aku ingin menjadi pelayan Tuhan, Ibu. Relakan aku kembali membahagiakan dirimu dan keluarga setelah berbagai kekecewaan meluap karenaku. Izinkan aku membawa namamu lebih dekat pada Allah dalam doaku di sana. Rapor itu masih kusimpan. Menjadi monumen sejarah kelam hidupku. Aku percaya, hidup harus terus berkembang. Angka 4 tidak akan menjadi angka 1. Mungkin punyaku adalah satu-satunya rapor yang memiliki bercak tipe-x. Namun, bukankah perjalanku masih panjang? Noktah itu menjadi cambuk untuk membuat engkau kembali menyungging senyum indah meski keriput coba menghalangi.

Empat tahun, aku di jalan panggilan. Harapku satu, ini bukanlah kesempatan terakhirku memandang bening netramu. Masih ribuan hari aku bisa menggenggam jemarimu, menguatkan kehadiranku. Aku masih bisa berusaha mengundangmu nanti untuk mendampingi menghadap altar kudus.

Teman baikku mengendarai vespa dengan bijaksana. Memberi waktu bagiku berkelindan dengan rasa dan doa. Manik-manik berputar tak henti di tangan kananku. Mulutku komat-kamit melantunkan salam pada Sang Bunda. Dia pasti berkenan mendampingimu, Ibu. Tangan kiriku berpegang erat pada jaket temanku. Entah siapa saja yang berpapasan dengan kami di sepanjang ringroad utara Jogja. Entah sudah berapa berapa perhentian lampu lalu lintas. Atau malah tak pernah berhenti karena semua menyala hijau? Entahlah... Yang terpenting, aku ingin segera berjumpa denganmu.

Puji Tuhan! Sesampai di rumah sakit, kau beber cerita kondisi aktual. Rahimnya engkau tak mau membebani pikiranku yang sedang mengolah diri menjadi abdi Allah. Kau mulai membaik meski infus masih setia menemani. Diare akut yang kauidap berangsur menjauh. Senyum tersungging manis di kerut pipimu. Bahkan, kujumpai teman-temanku di seputar ranjangmu. Kau tampak bahagia.

Ya, Ibu...bahagianya, aku punya engkau...

Kutulis surat ini, ketika kupandang fotomu enam tahun lalu. Jalan panggilan terpaksa kutinggalkan. Mungkin nanti ku kembali, mungkin tidak tidak. Segalanya menjadi tak passti lagi. Tentu, aku tetap ingin sungguh-sungguh membahagiakanmu, Bapak, dan kakak-kakak. Namun biarlah kehendak Tuhan yang terjadi. Jangan kau henti doa malammu. Ingatan akan anak-anakmu dan dukungan bagi kami. Itulah kekuatan kami. Itulah caramu menjadi sarana kasih Allah pada kami.

Kudekap senantiasa pesanmu :

“Jalani panggilanmu dengan setia dan tangguh!”

Berkat Tuhan melimpah!

Rompok Sunya, kanthi tresna

~ Pensies ~

***

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (klik link ini)

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun