Mohon tunggu...
Aimee Aimee
Aimee Aimee Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dan Batu Karang Itupun Runtuhlah.... (bagian 17)

24 Mei 2012   09:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:52 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_178711" align="aligncenter" width="400" caption="kamar-asik.blogspot.com"][/caption] "Tok..tok..tok" suara ketukan di pintu membangunkan Bimo dari tidurnya sore itu. "Tok..tok..tok" terdengar lagi suara ketukan diiringi suara pintu yang dibuka perlahan-lahan. "Mas Bimo.." panggil suara lembut yang sudah sangat dihafalnya, membuat Bimo benar-benar terjaga dari tidurnya. Dilihatnya Meili menjulurkan kepala dari balik pintu kamarnya. "Apa aku mengganggu?" tanya suara lembut itu karena dilihatnya Bimo belum menjawab panggilannya. "Gak Mei.. gak mengganggu.. ada apa ya?" sahut Bimo sambil berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Namun kondisinya yang sangat lemas, membuat Bimo hanya mampu duduk di tempat tidurnya. "Ngg.. anu mas.. ngg..sebelumnya aku minta maaf, bukan aku bermaksud lancang, tapi si mbah minta tolong supaya aku membujuk mas Bimo agar mau periksa ke dokter. Mau ya mas.." kata Meili yang sudah berdiri diujung tempat tidur. "Aku udah gak papa kok Mei. Aku juga udah bilang sama si mbah tadi. Cuma tinggal lemesnya aja" kata Bimo sambil berusaha tersenyum. Wajahnya terlihat pucat, dan kurus. "Hmmm.." Meili bergumam tanda tidak percaya lalu berjalan mendekati Bimo. Disentuhnya kening Bimo dengan punggung tangannya. "Ya Tuhann.. panas sekali..!!" seru Meili sambil menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa ditolelir, kita ke dokter sekarang yaa.." katanya spontan. "Eiittss.. gak boleh bantah!" katanya lagi saat melihat Bimo ingin protes. Bimo hanya bisa diam dan pasrah. "Mbah.. mbahh.." panggil Meili sambil berjalan ke arah pintu kamar. Si mbah yang sedari tadi mendengarkan dari balik pintu, langsung membuka pintu kamar. "Iya non" jawab si mbah dengan wajah sumringah karena yakin Bimo akan menyerah dan mau dibawa ke dokter. "Tolong minta pak Wid siapkan mobil, mas Bimo mau ke dokter" kata Meili sambil mengedipkan sebelah matanya kearah si mbah. "Baik non" jawab si mbah sambil tersenyum kearah Meili mengungkapkan rasa terima kasihnya. "Mama.. aku mau ikutt ke dokter yaa.." kata Rio yang mendadak muncul dari balik pintu kamar yang baru saja dibuka si mbah. "Den Rio di rumah saja sama si mbah ya. Biar papa sama mama aja yang pergi ke dokter" bujuk si mbah. "Ayo den, kita cari pak Wid" ajak si mbah lagi sambil menuntun tangan Rio keluar kamar. Suara protes Rio yang ingin ikut, hilang ketika pintu kamar kembali di tutup si mbah. "Kubantu mas" kata Meili sambil berjalan kembali kearah tempat tidur saat melihat Bimo berusaha untuk bangkit. "Ma kasih Mei" kata Bimo perlahan. Debar di jantungnya semakin cepat saat merasakan tubuh Meili yang sangat dekat di tubuhnya. Sentuhan tangan lembut dan hangat itu, membuat dia tiba-tiba merasa nyeri di sekujur tubuhnya karena sadar bahwa lembut tangan itu takkan pernah dimilikinya. "Ya Tuhann.." rintih Bimo dalam hati. "Mas Bimo mau salin baju dulu atau tidak?" pertanyaan Meili, membuat Bimo sadar dari lamunannya, dan sekilas dilihatnya bayangan mereka di cermin, berdiri berdampingan di samping tempat tidur. Tangannya Meili melingkar di pinggangnya, sementara tangan Bimo diatas pundak Meili. Sungguh pemandangan yang meyayat hati, karena Bimo sadar bahwa mereka tak mungkin bersama. "Aku harus kuat, aku harus tegar" katanya dalam hati. Bimo ingat akan janjinya untuk tidak mengganggu gadis ini lagi, dan itu membuat dia mendadak merasa lumpuh. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, Bimo duduk disisi kanan mobil. Matanya diarahkan kedepan. Pikirannya entah mengembara kemana. Bibirnya yang pucat, terkatup rapat dalam diam. Sesekali Meili mencuri pandang melihat Bimo. Namun yang dilirik tak bergeming sedikitpun. Mulai dari masuk ke dalam mobil, sampai ditengah perjalanan, tak satupun kata keluar dari mulut Bimo. Dia seakan ingin menghindari percakapan dengan sikapnya yang menjauh. "Sabar ya mas, sebentar lagi kita sampai" kata Meili dengan niat dapat membuka percakapan. Tapi Bimo hanya menjawab dengan anggukan kepala tanpa bersuara. Suasana pun kembali hening sampai mereka tiba di rumah sakit. **Bersambung**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun