Mohon tunggu...
Aimee Aimee
Aimee Aimee Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dan Batu Karang Itu Pun Runtuhlah...(Bagian 16)

16 Mei 2012   07:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:13 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_177442" align="aligncenter" width="400" caption="kamar-asik.blogspot.com"][/caption] "Mbah.." panggil Meili setelah menidurkan Rio. Tak ada jawaban terdengar. "Mbah.." panggilnya lagi sambil berjalan menuju ke dapur, tapi tetap tidak ada jawaban.Dapur pun kosong. Meili berjalan berkeliling rumah, tapi tetap tidak menemukan si mbah. Saat Meili sedang kebingungan, pintu kamar Bimo terbuka, dan si mbah keluar sambil membawa baskom. "Mbah.." panggil Meili "Non Mei, sudah mau pulang ya?" tanya si mbah sambil membawa baskom ke dapur diikuti Meili yang berjalan di belakangnya. "Iya mbah, sudah malam" jawab Meili "Iya non, bentar ya biar si mbah panggil pak Wid biar antar non Mei" kata si mbah sambil menuju kamar di belakang. "Gak usah mbah, biar aku pulang sendiri" kata Meili sambil menghalangi si mbah buat panggil Pak Wid, sopir merangkap tukang kebun di rumah Bimo. "Tadi den Bimo pesan katanya kalau Non Mei mau pulang, suruh diantar pak Wid karena sudah terlalu malam" jelas si mbah sambil tetap melangkah menuju kamar pak Wid. Meili pun tidak menghalanginya lagi. Karena dia tau percuma melawan si mbah, toh akhirnya Meili tetap akan diantar pak Wid. Di rumah ini, selain ibu, hanya si mbah yang kata-katanya tak pernah bisa dilawan Meili. Sambil menunggu pak Wid, Meili berjalan keluar rumah menuju pintu pagar. Dilihatnya jalan sudah sepi. Hanya suara kendaraan di jalan raya yang masih sayup-sayup terdengar. Udara malam ditambah semilirnya angin, membuat Meili sedikit bergidik menahan dingin. "Non.. sebentar ya, pak Wid sedang ganti baju dulu" suara si mbah terdengar dari arah belakang. "Iya mbah, tenang aja" sahut Meili sambil mebalikan tubuhnya menghadap si mbah. "Engg.. mbah, memangnya mas Bimo sakit apa?" tanya Meili perlahan saat si mbah sudah berada dekat disampingnya. "Badannya panas sudah 3 hari non. Si mbah suruh ke dokter gak mau. Katanya kecapean aja, ntar istirahat yang cukup juga panasnya hilang. Ibu di Jogja juga sudah marah-marah di telpon. Tadinya Ibu mau datang, tapi bapak sakit, jadi gak bisa ditinggal. Si mbah pusing ngadepin den Bimo. Lebih pusing dari ngadepin den Rio" kata si mbah sambil setengah curhat. "Memangnya sakitnya gara-gara apa mbah?" tanya Meili lagi. "Gak tau non. Pulang kantor kemarin itu, tiba-tiba den Bimo langsung masuk kamar. Waktu si mbah panggil buat makan malam, den Bimo gak jawab. Si mbah masuk kamarnya, dan lihat den Bimo lagi ngeringkuk di dalam selimut. Waktu si mbah pegang tangannya, ternyata panas sekali" jelas si mbah lagi. "Dibujuk terus supaya mau ke dokter mbah. Takutnya kena typus atau DBD" saran Meili yang tiba-tiba saja merasa kawatir dengan keadaan Bimo. "Si mbah udah bujuk dari sejak sakit sampai barusan itu non, jawabannya tetep aja gak mau. Non Meili aja yang bilangin gimana? Mungkin kalau dengan si non, den Bimo mau dengar" kata si mbah tanpa melihat perubahan di wajah Meili yang mendadak bersemu dadu itu. "Loh..si mbah gimana tohh.. kalau ibu dan si mbah aja gak mau di dengar, apalagi aku" kata Meili sambil tersipu. "Yahh..siapa tau aja non, si mbah soalnya udah kawatir banget sama keadaan den Bimo. 3 hari sakit, mukanya loh ya kayak udah sakit lama banget" kata si mbah lagi. "Baiklah kalau begitu mbah. Kalau sampai besok mas Bimo tidak mau ke dokter juga, biar saya bicara sama dia ya" kata Meili sambil menutup pembicaraan karena dilihatnya pak Wid sedang berjalan ke arah mereka.

**Bersambung**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun