Manusia sebagai makhluk yang berpolitik tak bisa dinafikan, seperti yang diungkapkan oleh salah satu filsuf yunani, yakni Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk yang berpolitik. Merespon hal tersebut beragam perspektif yang muncul sebagai bentuk pemaknaan terhadap politik itu sendiri. Diantaranya politik dapat dirtikan sebagai keahlian memerintah dan menjalankan negara, jika menarik makna dari akar kata politik yakni polis ‘kota’, Ibnu khaldun dalam muqaddimah-nya menegaskan bahwa kota merupakan ciri kemajuan, yang mana setiap kedaulatan membutuhkan kota dan dituntut untuk menguasainya, karena kota dapat melindungi kedaulatan dan stabilitas masyarakat. Lebih jauh, politik dalam islam jika ditelisik dari bahasa arab yakni siyaasah yang mengandung pengertian mencakup pendidikan, pembaruan dan penyempurnaan. Secara eksplisit Ali Syariati menguraikan dunia politik yang lekat dengan pemerintahan mempunyai dua pandangan hidup dan tanggungjawab, yakni menjalankan kewajiban memimpin dan mendidik manusia mencapai bentuk yang lebih baik, yakni insan kamil. Di lain pihak, sebagian politikus mengartikan politik sebagai kekuasaan, dipersepsi tak lebih dari sebuah prestise kuasa sebagaimana teori kebutuhan yang lahir dari rumusan Abraham Maslow.
Politik merupakan praktik dari demokrasi, action yang akan kembali mencatat sejarah tahun ini. Bisa diamati bahwa atmosfir perpolitikan menjelang pesta demokrasi kian bergemuruh, Suasana April month seperti yang telah kita saksikan beberapa bulan lalu, ia seakan disulap menjadi gelanggang pertarungan untuk menduduki “kursi panas” di tingkat pemerintahan. Kehadiran aktor-aktor politik muncul dengan beragam wajah sesuai dengan pemaknaan politik yang “dikantonginya” dan tujuan yang hendak diwujudkan. mereka tampil di tengah-tengah keramaian dengan membawa slogan yang sama “demi memajukan kesejahteraan rakyat dan membangun masyarakat yang berperadaban”. Pemandangan di ruas-ruas jalan raya pun tak luput dari poster dan baliho caleg yang berdiri kokoh, mereka menebar senyum dan mengumbar harapan pada rakyat. Tak heran, hal ini dilakukan untuk memperkenalkan diri kepada publik bahwa inilah “pilihan tepat rakyat !”.
Momentum ini juga tak luput dari keterlibatan perempuan yang turut mengangkat bendera di gelanggang politik. Kelahiran peraturan perundangan-undangan no.10 tahun 2008 pasal 53 dan 54 yang memberikan kuota 30% keterlibatan perempuan di parlemen, menjadi alat hukum dan angin segar bagi perempuan untuk terlibat dalam wajah politik. Selain adanya legalitas hukum secara kenegaraan, keterlibatan perempuan dalam ranah politik juga mendapat dukungan dari aturan Allah swt yang termaktub dalam kitab sucinya, salah satunya terdapat pada QS. At-Taubah: 71 “ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya, mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “ ayat ini secara jelas menerangkan bahwa perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang politik sebagai salah satu wadah untuk menyerukan kebaikan. Dimana antara laki-laki dan perempuan memiliki tanggungjawab yang sama dalam mewujudkan masyarakat yang baldatun tayyibatun warabbunghafur.
Amanah yang cukup besar dan membutuhkan kerja ekstra bagi perempuan, sebab keterlibatan perempuan di ranah politik tidak hanya cukup dengan mengantongi legalitas hukum tersebut dalam menjalankan hak keterlibatannya di dunia politik. Perempuan harus sadar dan kembali bertanya tentang kematangan dirinya untuk terjun di dunia politik. Kematangan dalam mengenal diri mereka sebagai perempuan, kematangan intelektualitas dalam berpolitik, dan kematangan spiritualitas untuk tampil menjadi uswah (teladan) kepada perempuan-perempuan indonesia, dalam rangka pencerahan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi lebih baik. Sehingga dengan kualitas diri yang mumpuni ini perempuan mampu bersikap di ranah publik, tanpa mengabaikan peran dan tanggungjawabnya yang juga sangat substantif dalam menciptakan generasi yang Robbani yakni dalam lingkup keluarga yang notabenenya merupakan unit terkecil dalam masyarakat.
Lebih daripada itu, keberanian perempuan untuk mengambil hak partisipasinya dalam berpolitik, sejatinya mampu membuktikan bahwa ia tampil di gelanggang perpolitikan dengan ideologi yang jelas, mengerti apa yang seharusnya ia perjuangkan, dan bagaimana cara ia memperjuangkan hal tersebut sembari tetap meng_upgrade diri, sehingga segala tindakannya berorientasi pada tindakan yang rasional nilai dan tidak keluar dari koridor nilai-nilai keilahian. Melalui kualitas diri yang tinggi inilah perempuan memainkan peran politiknya yang akan membawa hasil yang signifikan, baik dalam hal merumuskan kebijakan maupun dalam hal melakukan perubahan-perubahan yang progresif, dari apa yang kini ada (dassein) menuju apa yang seharusnya ada (dassollen), semaksimal yang bisa dilakukan sebagai bentuk keterwakilan suara perempuan khususnya dan turut membantu melakukan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat.
Dengan memperhatikan kualitas perempuan dan pengetahuan ke-dirian-nya sebagai perempuan, maka kehadiran perempuan di ranah sosial politik tidak lagi dipandang dengan stigma-stigma negatif. Sebab stigma negatif ini muncul akibat dari keterlibatan perempuan yang hanya menjadikan politik sebagai medan aktualisasi diri yang kerap hadir tanpa substansi dan tujuan yang jelas, layaknya hanya sekedar untuk meraih pencitraan dari masyarakat. Dilain hal, membangun kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan dalam mengerjakan tugas-tugas kemasyarakatan juga merupakan hal yang urgen untuk diperhatikan dalam mewujudkan keadilan gender, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sebagaimana perempuan ditempatkan pada posisi yang seharusnya dan diperlakukan sebagaimana mestinya.
Mengingat populasi manusia yang sebagian besar adalah perempuan, maka tak bisa dipungkiri bahwa partisipasi aktif perempuan dalam ranah sosial politik jelas sangat diperlukan. Ruang pengkhidmatan yang tak seharusnya “direnggut” atau dijadikan “pincang” yakni dalam masyarakat dan keluarga, serta tidak dinodai dengan alasan-alasan yang tak berdasar dengan mengadopsi mode dan ideologi perempuan Barat, sehingga lakon-lakon perempuan menjadi kering akan makna dan nilai. Mengutip perkataan imam khomeini bahwa “Tanggungjawab pendidikan masyarakat tersembunyi dalam genggaman tangan kaum perempuan, baik di ranah kebudayaan maupun perubahan sosial”. Perempuan yang berkiprah diranah sosial politik dengan tetap mencontoh pada perempuan-perempuan teladan yang telah mendapatkan jaminan kemuliaan dari Allah swt. Salah satunya adalah meneladani sosok Fatimah az-Zahra as, dalam membimbing masyarakat ia patut menjadi contoh dan teladan bagi perempuan, sebagaimana imam khomeini menggambarkan sosok Fatimah Az-Zahrah adalah sosok “Perempuan yang membimbing semesta alam dari rumahnya sendiri dan mendidik umat manusia sehingga cahaya mereka memancar dari dasar bumi untuk menembus batas-batas ruang dan waktu di bumi menuju Syurga.” .....#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H