Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money

Memajukan Sains Indonesia

29 September 2015   10:23 Diperbarui: 1 Oktober 2015   11:32 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam artikel sebelumnya yang berjudul Mengapa Negara Maju Identik Dengan Sains atau ilmu pengetahuan (silahkan baca di tautan ini), saya menguraikan relasi perkembangan sains dengan majunya satu negara. Bahwa di negara-negara maju, sains menjadi lokomotif yang menarik berbagai elemen untuk secara bersama-sama memajukan negara tersebut.

Sains adalah pilar pembangunan seperti yang dilakukan perusahaan sekelas BMW, Bayer, Siemens dan korporasi-korporasi global lainnya dalam mengembangkan bisnis mereka sekaligus berkontribusi bagi masyarakat dunia. Sain, juga merupakan backbone ekonomi yang efektif sebagaimana diterapkan oleh Amerika Serikat, China dan Jerman yang mengaplikasi temuan-temuan mereka untuk mendorong perkembangan industri. Selain itu, dengan sains, manusia mampu membaca, beradaptasi dan menyiapkan masa depan dunia, seperti dipostulatkan oleh Willem H. Vanderburg di dalam bukunya Our War on Ourselves: Rethinking Science, Technology, and Economic Growth.

Tentu masih banyak lagi manfaat mengembangkan sains untuk kehidupan umat manusia. Nah, kali ini saya ingin mengajak kita semua memikirkan bagaimana langkah-langkah untuk memajukan ilmu pengetahuan di dalam negeri dengan dimulai dari membenahi institusi pendidikan. Mengingat, posisi Indonesia di kancah ilmu pengetahuan internasional belum nampak terlihat. Jika kita merujuk dari 40 negara terbaik di bidang ilmu pengetahuan yang dipublikasikan oleh  Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), tidak ada Indonesia di sana. Artinya, pencapaian Indonesia di ranah ilmu pengetahuan yang diukur dari jurnal yang diterbitkan, jumlah paten, spending untuk penelitian dan jumlah doktor di bidang teknik, masih jauh dari harapan.

Padahal, potensi Indonesia untuk menjadi negara maju sangat besar. Sumber daya alam yang melimpah, bisa diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi jika SDM-SDM kita memiliki penguasaan di bidang ielmu pengetahuan. Rendah dan tidak optimalnya manfaat ekonomi yang diraih dari potensi sumber daya alam yang melimpah, disebabkan oleh ketidakmampuan kita mengelola sumber daya yang ada. Berbeda misalnya dengan negara-negara yang maju di bidang ilmu pengetahuan, selain bisa mengimpor bahan baku dari negara seperti Indonesia, mereka juga bisa mengekspor SDM andal sehingga income yang diperoleh lebih besar. Jika SDM-SDM kita kompetitif, SDA tak perlu diekspor dan SDM asing tak perlu diimpor. Semua diproses di dalam negeri, oleh tangan anak bangsa sendiri.

Untuk membangun  kompetensi SDM, dibutuhkan dorongan dari institusi pendidikan sebagai lumbung ilmu pengetahuan. Namun, paradigma yang kita gunakan dalam berbicara tentang institusi pendidikan di sini, tentu saja tentang sekolah dan kampus yang useful. Yang tak hanya membekali manusia dengan selembar ijazah dan berlembar-lembar sertifikat untuk melamar kerja. Institusi pendidikan useful, haruslah menciptakan manusia yang terampil, memiliki kompetensi praktis, mandiri sehingga mampu menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan orang lain.

Keberadaan institusi pendidikan forma dan non formal, memegang peranan kunci untuk membangun dunia ilmu pengetahuan. Sebagai pijakan menciptakan nilai tambah pada manusia dan sumber daya alam, maupun sumber daya kapital lainnya, institusi pendidikan kita mesti didorong kelaur dari cangkang yang membelenggu selama ini. Yaitu, ketika institusi pendidikan  sekadar diposisikan sebagai tahapan dari siklus perkembangan manusia. Seperti pipa yang menjadi saluran air, peran sekolah dan kampus seolah-olah hanya untuk “numpang lewat” begitu saja tanpa tanggungjawab untuk mengubah secara radikal manusia-manusia di dalamnya untuk menghasilkan outcome yang berdaya guna dan bernilai lebih.

Ilmu pengetahuan Indonesia bisa maju jika dilakukan revitalisasi peran fundamental institusi pendidikan. Sudahkan misalnya sekolah-sekolah kita merangsang anak-anak didik untuk membaca. Bagaimana bisa, skor tingkat minat baca Indonesia hanya 396 atau dibawah rata-rata OECD 496, sehingga menempatkan Indonesia di peringkat 61 dari 65 negara yang disurvei. Padahal, membaca adalah mestinya menjadi kultur pertama yang harus ditumbuhkan di sekolah. Sebab, tanpa membaca tak mungkin jendela ilmu pengetahuan tersingkap.

Ini baru satu soal. Belum berbicara mengenai relevansi konten kurikulum yang sering bergonta ganti, sejauh mana inovasi dalam belajar-mengajar, fasilitas yang jomplang antara sekolah, minimnya rangsangan kepada para tenaga pendidik berupa apresiasi yang diberikan ketika mereka berprestasi, bagaimana kolaborasi antara orang tua/rumah tangga dan sekolah dalam mendidik anak, dan lain sebagainya problem pendidikan yang menumpuk.

Dus, akhirnya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum muluk-muluk berpikir menjadi negara maju di bidang ilmu pengetahuan. Karena pada hal-hal yang sifatnya sangat basic seperti membaca saja, Indonesia masih jauh tertinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun