Perkembangan dunia kita saat ini yang begitu cepat, didorong oleh berbagai faktor. Sains salah satunya. Sains atau ilmu pengetahuan yang tumbuh pesat dari dunia akademik yang lalu diadopsi ke dunia praktis, bisa dikatakan sebagai lokomotif yang menarik berbagai elemen pendukung masuk ke pusaran perubahan. Bisnis berbasis sains, muncul dengan berbagai model inovasi yang sangat dinamis. Seperti ruang eksperimentasi yang tak betepi, berbagai varian produk industri muncul.
Tuntutan persaingan yang ketat, melumat demarkasi waktu di dunia bisnis. Termasuk juga dalam hal perkembangan riset yang tentu saja didasarkan pada ilmu pengetahuan. Maka tak heran, di perusahaan-perusahaan besar dan terlibat persaingan sengit dengan kompetitornya, divisi riset memegang peranan vital.
Divisi riset, menjadi semacam dapur untuk meramu berbagai racikan inovasi yang selalu ditunggu-tunggu oleh konsumen. Ketatnya persaingan yang berbasis sains ini, menyebabkan ukuran sukses sebuah perusahaan perlahan mengalami pergeseran. Bukan lagi besarnya angka penjualan yang menjadi parameter, bukan pula harga melangit yang menandakan gengsi yang ditawarkan.
Kini, perusahaan yang disegani adalah mereka yang paling inovatif dan mampu melahirkan produk-produk bercitarasa teknologi tinggi sehingga memiliki perbedaan (diferensiasi) otentik dibandingkan dengan kompetitornya. Sebuah perusahaan, bisa saja sukses dalam angka penjualan. Namun jika ia miskin inovasi, tak mampu melahirkan produk dengan sentuhan teknologi, maka lambat laun akan tertelan oleh pesaing. Mekskipun menawarkan produk dengan harga yang lebih murah.
Sebaliknya, konsumen akan dengan suka rela membayar lebih tinggi untuk memiliki sebuah produk yang sarat teknologi. Konsumen yang kian terdidik, tentu lebih memilih manfaat ketimbang harga. Jika dua buah produk yang sejenis ditawarkan. Produk A memiliki teknologi di atas rata-rata tapi denga harga Rp 10.000.000, sementara produk B ditawarkan dengan harga standar, namun harga murah tersebut ditebus oleh pemasangan teknologi yang juga ala kadarnya yang sudah hampir bisa dipastikan berkonsekuensi pada kenyamanan pengguna. Bagi konsumen yang memperhatikan utilitas, harga mahal produk A, namun nyaman dipakai tentu saja menjadi pilihan.
Dengan kerangka berpikir seperti ini, maka dapat dipahami jika sebuah perusahaan membutuhkan dukungan riset untuk melakukan inovasi dan membenamkan teknologi tinggi dalam produk-produk mereka.
Inilah jawaban atas pertanyaan mengapa hanya negara-negara yang maju di bidang sains saja yang mampu melahirkan produk-produk berbasis teknologi tinggi. Bahwa ternyata perkembangan sains, tak bisa dipisahkan dari inovasi. Sains adalah adalah mata air yang tak pernah kering mengalirkan ide-ide inovatif. Makin maju sains di satu negara, maka makin besar peluang negara tersebut menjadi negara maju. Singkatnya, negara-negara maju mampu mengawinkan sains dengan industri melalui medium inovasi.
Merujuk dari data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tiga besar negara dengan tingkat sains paling maju di dunia datang dari tiga benua berbeda. Yakni ada AS dari benua Amerika yang menduduki peringkat pertama. Lalu China di peringkat kedua dunia, sekaligus merupakan negara pusat sains di Asia. Jerman, menduduki peringkat ketiga di dunia dan peringkat pertama di Eropa.
Daftar Negara Terbaik di Dunia di Bidang Sains (sumber/dok.pri)
Â
Yang agak membingungkan dari rilis OECD ini, mengapa China berada di posisi kedua. Sementara jika diukur dari produk-produk yang dihasilkan, China belum bisa disejajarkan dengan Amerika Serikat, Jepang, Korea dan negara-negara Eropa seperti Jerman maupun Inggris. Kita belum pernah mendengar, ada hasil terobosan dari industri China yang berbasis sains dan kualitas mendunia sebagaimana misalnya Jerman punya merek sekelas BMW, Siemens, Bosch, maupun Bayer.