Rentetan efek domino bekerja jarak jauh (remote working) meniti new normal telah dimulai. Genderang ditabuh. Domino pertama telah jatuh. Oleh CEO Twitter, Jack Dorsey. Jack mengumumkan bila perusahaan membolehkan karyawan aplikasi media sosial itu bekerja dari rumah secara permanen. Jack memberlakukan kebijakan yang sama di Square. Perusahaan teknologi keuangan dimana Jack juga menjadi CEO.
Setali tiga uang, Facebook juga mengumumkan menerapkan kebijakan remote working secara permanen. Dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan, Facebook memproyeksikan separuh dari total 48.000 karyawannya saat ini dapat bekerja dari mana saja. Meneruskan work from home yang telah diterapkan sejak pandemi Covid-19.
Bagi institusi pemerintah atau perusahaan swasta yang berbasis pada sektor teknologi informasi, adopsi remote working bukan pilihan yang sulit. Mereka sudah memiliki fondasi dasar untuk melangkah. Mengembangkan metode maupun platform remote working. Dengan tetap mempertahankan, bahkan berpotensi memacu produktivitas.
Babak Baru
Keputusan mengadopsi remote working secara masif menggiring kita meniti babak anyar. Memasuki era ketika tembok-tembok dan partisi kantor yang mengelilingi bongkahan meja, kursi, dan tumpukan berkas, mulai roboh. Dunia yang benar-benar berbeda dan mengejutkan bagi banyak orang.
Sebelum Covid-19, kita sebetulnya berharap peralihan ke remote working murni didorong oleh teknologi. Faktanya, Covid-19 yang menjelma jadi pandemi adalah faktor utama yang memaksa kita mulai belajar meninggalkan kantor. Bermigrasi mengadopsi remote working secara massif. Beralih ke kantor virtual berbasis aplikasi yang ada di gawai. Bekerja dari rumah.
Remote working, sudah diramalkan oleh futurolog Alvin Toffler 40 tahun silam. Dalam bukunya berjudul Third Wave (1980), Alvin Toffler menulis bahwa manusia akan mampu menciptakan teknologi yang dapat mengubah budaya kerja. Kantor dapat peroperasi dengan biaya murah dari rumah dan tempat manapun. Disokong oleh perangkat teknologi, komputer hingga peralatan telekonferensi.
Secara historis, remote working diperkenalkan pada tahun 1979 melalui tulisan berjudul "Working at Home Can Save Gasoline" yang terbit di The Washington Post. Di tahun yang sama, IBM mengujicoba remote working lima orang karyawan. Pada tahun 1983, sekitar 2.000 karyawan raksasa teknologi itu melakoni remote working. IBM didaulat sebagai pionir remote working di era industri modern.
Kendati telah dipraktikkan empat dekade, remote working masih sayup-sayup di kancah industri kerja. Diterapkan terbatas. Sehingga tidak menimbulkan gegap gempita. Tanpa tepuk sorai trending topic seperti ketika pertama kali kebijakan #KerjaDariRumah diumumkan.
Remote working bahkan sempat dipandang sebagai opsi kebijakan berisiko. Sebab belum ada model paten serta data empirik yang dapat membuktikan efektivitas remote working. Sehingga muncul joke "remote working is not working."
Multi Benefit
Kendati diragukan, faktanya, kini kita serempak membuktikan sukses menerapkan remote working selama masa pandemi Covid-19. Bahkan dilakoni nyaris tanpa perencanaan. Bila dipersiapkan secara lebih matang di era new normal nanti, remote working dapat memberikan banyak benefit sekaligus sebagai solusi terhadap problem di dunia kerja.
Pertama, perkembangan teknologi telah meruntuhkan jarak. Metode kerja harus ngantor salah satunya dilatari untuk memudahkan koordinasi, monitoring hingga evaluasi. Namun, tiga tahap kunci dalam mencapai target-target di dunia kerja tersebut kini bisa dilakukan secara digital.
Perangkat komunikasi sudah semakin canggih untuk sekadar berkoordinasi. Rapat besar pun, dapat dilakukan mealui berbagai aplikasi video telekonferensi. Layanan yang mengalami ledakan popularitas akhir-akhir ini.
Demikian pula kebutuhan monitoring dan evaluasi. Semua dapat berjalan dengan kontrol di dalam genggaman. Jika salah satu ukuran kinerja di masa analog adalah kehadiran melalui absensi basah, maka parameter era digital adalah berdasarkan hasil kerja. Lagi pula, fisik hadir di kantor tidak jadi jaminan kinerja optimal jika sistem kerjanya acakadut.
Kedua, solusi terhadap problem lalu lintas di kota-kota besar yang menurunkan produktivitas. Setiap hari, kita yang tinggal di kawasan urban berhadapan dengan limitasi ruang gerak. Sudah banyak studi yang berbicara bagaimana pergumulan mobilitas menerobos kemacetan, merenggut kebahagiaan dan berimplikasi pada produktivitas di tempat kerja. Bahkan stres di jalan sebelum sampai di kantor.
Misalnya survei Gallup mencatat bila 76% pekerja mengalami kelelahan karena mobilitas. Para pekerja tersebut menginginkan fleksibilitas dalam bekerja. Remote working. Dengan sistem ini, kita paling tidak dapat menghemat rata-rata akumulasi waktu 11 hari selama setahun yang dihabiskan di jalanan dengan skenario lalu lintas lancar.
Kebijakan remote working merupakan hal yang sangat dinanti-nantikan. Kita dapat bekerja di tempat yang menurut kita paling kreatif dan produktif. Disokong koneksi internet broadband serta perangkat komputasi portabel yang bertenaga tinggi dan telah cukup menyebar serta dapat diakses secara luas.
Kita, dan jutaan pekerja lain sebetulnya sudah menggunakan alat-alat penyanggah remote working itu. Namun cuma untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor secara tradisional. Bukan melakukan remote working seutuhnya. Potensi  yang belum dioptimalkan.
Ketiga, remote working memberikan banyak benefit bagi industri. Selain potensi mengerek produktivitas para pekerja, remote working turut pula mendorong efisiensi. Bahkan simulasi yang dilakukan State of Telecommuting di AS, menyimpulkan temuan menarik terkait efisiensi dari remote working.
Bekerja dari rumah, menurut sigi itu, dapat menghemat 11.000 USD per pekerja pertahun. Benefit efisiensi tersebut diperoleh karena tak harus menyewa kantor, menghemat biaya transportasi, hardware, listrik hingga tagihan internet serta konsumsi di kantor.
Tak ayal, kerja dari rumah yang hampir tiga bulan kita lakoni menyusul kebijakan pembatasan sosial berskala besar, merupakan ajang edukasi, tryout sekaligus pembuktian. Bahwa sistem ini dapat diterapkan permanen. Dengan berbagai benefit yang ditawarkan, kerja dari rumah mestinya bisa jadi budaya baru di era new normal.
Seperti postulat Alvin Toffler, bahwa pada akhirnya kita akan berada pada fase, dimana kita harus merobohkan ruang kantor di gendung-gedung. Meninggalkan bongkahan meja dan membakar tumpukan berkas. Lalu beralih ke kantor virtual. Di dalam komputer jinjing dan ponsel yang telah diperkuat dengan sokongan multi aplikasi di dalam genggaman. Sehingga bekerja bahkan dapat dilakoni sambil rebahan.
sebagian tulisan ini telah tayang di laman detik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H