Oleh : Jusman Dalle
(Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital)
***
Penurunan angka pengangguran sebesar 40.000 dalam setahun terakhir sebagaimana disampaikan dalam rilis teranyar Badan Pusat Statistik (BPS), mengindikasikan kuatnya kontribusi sektor ekonomi digital dalam memompa kinerja ekonomi nasional.Â
Ekonomi digital layak didaulat sebagai lokomotif agenda sosial ekonomi Indonesia. Menurut BPS, sektor penyediaan akomodasi, makan minum dan ransportasi merupakan tumpuan serapan tenaga kerja setahun terakhir. Ketiga sektor industri ini memang melambung berkat digitalisasi.
Industri akomodasi tumbuh moncer terdorong oleh trend pariwisata yang berkembang pesat terpacu oleh online travel agent yang menjamur dan kian gencar merilis produk-produk yang berdampak promotif dan memacu gairah pariwisata.Â
Demikian pula industri makanan dan minuman, sektor industri yang tidak ada matinya karena menyangkut kebutuhan dasar manusia. Industri ini semakin bergairah setelah berasimilasi dengan digitalisasi.Â
Layanan pemesanan makanan dan minuman secara online, trend food blogger di kalangan milenial, hingga berbagai promo untuk menarik konsumen di tengah gencarnya persaingan di industri food and beverage berbasis aplikasi, turut menggugah selera hingga berimplikasi pada serapan tenaga kerja.
Tak ketinggalan, layanan transportasi, seperti temuan BPS, turut pula memberi andil besar dalam menyerap tenaga kerja secara masif. Kemunculan aplikasi ride hailing yang merambah ke berbagai kota, membuka jutaan lapangan kerja. Bukan cuma sebagai pengemudi, namun juga di lini lain dari ekosistem transportasi online ini. Â
Pemandangan 'jaket dan helem ijo' yang identik dengan dua penguasa utama pasar ride hailing, bertebaran di jalanan kota-kota Indonesia.Â
CEO Gojek, Nadiem Makarim mengungkapkan bila satu juta keluarga di Indonesia menikmati dampak ekonomi dari aplikasi besutannya. Pernyataan itu dilontarkan tahun 2017 yang lalu. Serapan tenaga kerja Gojek tentu sudah jauh lebih maju saat ini.
Klaim Nadiem Makarim bukan omong kosong. Berbagai hasil penelitian mengonfirmasi kontribusi sosial ekonomi layanan pemesanan transportasi online itu. Riset Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) menyebut bila 85% mitra pengemudi Go-Jek merupakan lulusan pendidikan menengah.Â
Kelompok pekerja yang tentu tidak mudah terserap industri kerja bila harus bersaing di industri yang kompetitif dengan berbagai instrumen yang sulit dicapai. Faktanya, keberadaan layanan ride hailing menciptakan lapangan kerja bagi mereka.
Titik Terang
Kontribusi sektor industri berbasis digital tentu menjadi titik terang dalam berbagai agenda sosial ekonomi ke depan. Apalagi, pemerintah telah meletakkan dasar-dasar bagi industri digital agar dihela lebih kencang.Â
Misalnya dengan adanya peta jalan perdagangan daring, dukungan anggaran untuk melahirkan usaha-usaha rintisan, hingga mendorong industri eksisting untuk bertransformasi ke arah digital.
Derap laju digitalisasi di Indonesia yang dibuktikan dengan mulai besarnya peranan sektor digital di dalam percaturan ekonomi nasional, seiring seirama dengan pergeseran ekonomi global ke kancah digital.Â
The Economist pernah mengangkat tajuk menarik tentang era revolusi industri 4.0 yang menciptakan shifting sumber daya paling berharga yang bukan lagi disematkan kepada minyak. "The world's most valuable resource is no longer oil, but data", sebut The Economist.Â
Penobatan data sebagai sumber daya paling berharga sebetulnya mengintroduksi pergeseran lanskap ekonomi ke sektor ekonomi digital. Data yang melimpah memenuhi ruang-ruang virtual, menjadi komoditas bisnis baru berbasis industri digital.
Data yang disebut-sebut sebagai sumber daya paling berharga, adalah satu elemen di antara berbagai komponen yang menciptakangemuruh digitalisasi di era industri baru.Â
Kini setiap orang dapat menambang sumber daya paling berharga tersebut, dan komoditas turunannya. Melakukan mobilitas vertikal secara sosial dan ekonomi dengan mengoptimalkan berbagai potensi yang tersaji, bahkan secara cuma-cuma di sektor ekonomi digital.Â
Tak berlebihan rasanya bila ekonomi digital didaulat sebagai lokomotif baru dalam menciptakan kesejahteraan dan pemerataan. Titik terang dalam agenda sosial ekonomi.Â
Terlebih, sektor ekonomi ini punya aneka varian bahan baku. Bukan data semata. Yang juga tak kalah berharganya dari data adalah jumlah populasi aktif yang telah terkoneksi ke benua digital yang amat besar.
Merespons lanskap baru ekonomi yang lebih akseleratif dalam agenda sosial ekonomi tersebut, pemerintah telah melakukan banyak upaya dalam memacu akselerasi pertumbuhan ekonomi digital.Â
Iklim bisnis dibuat sekondusif mungkin bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya di industri digital tanah air. Regulasi dan kebijakan diformulasikan untuk merangsang lahirnya startup-startup baru.Â
Para pelaku ekonomi digital diberi ruang seluas-luasnya dalam berinovasi. Presiden bahkan telah merilis Perpres tentang peta jalan ekonomi digital hingga tahun 2019.
Tak ayal, ekonomi digital menjadi titik terang untuk mengakhiri perang melawan kesenjangan sosial ekonomi seperti pengangguran dan kemiskinan. Akhir perang yang tentu saja harapannya kita menangkan.Â
Telah banyak negara yang membuktikan efektivitas ekonomi digital dalam mengikis pengangguran dan memangkas kemiskinan.Â
Memanfaatkan daya dobrak dari sifat inklusif industri digital dalam membuka peluang-peluang ekonomi baru yang merambah secara sektoral dan spasial. Lintas industri dan melampaui batas-batas teritori.
Yang paling monumental adalah China. Dalam kurun lima tahun, China sukses menyelamatkan puluhan juta penduduknya dari tubir kemiskinan.Â
Angka kemiskinan di China berkurang drastis dari 10,2% di tahun 2012 menjadi hanya tinggal 3,1% pada tahun 2017. Negera ini bahkan berambisi mewujudkan 'zero poverty' pada tahun 2020. Ambisi yang terukur.Â
Xi Jinping telah membuktikan bagaimana memangkas kemiskinan secara radikal dengan memanfaatkan ekonomi digital. Salah satu resep tokcer Beijing di balik mega sukses itu adalah program ecommerce masuk desa. Digitalisasi masyarakat dan pelaku ekonomi di China terjadi secara masif dan eskalatif.Â
Jack Ma, penasihat ecommerce pemerintah Indonesia sebetulnya mengharap model pengentasan kemiskinan secara digital ala China ini diadopsi di Indonesia.Â
Sang taipan, mendorong produk-produk usaha kecil menengah (UKM) lokal merambah ke pasar global dalam jumlah besar dan terorganisir. Jack Ma telah berkomitmen menyediakan lapak khusus di platform Alibaba miliknya bagi produk-produk lokal Indonesia. Komitmen yang tentu saja harus dimanfaatkan oleh pemerintah.Â
Kerjasama itu, nantinya bisa jadi pilot project yang dapat diperluas tidak hanya dengan satu ecommerce global. Namun diperluas ke berbagai kanal perdagangan daring. Dengan langkah terorganisir dan terarah di bawah dukungan pemerintah, para pelaku UKM tentu mendapatkan energi konfidensi.Â
Kita berharap, ini menjadi etape baru digitalisasi UKM ke kancah global yang nantinya efektif dalam skala sosial ekonomi. Termasuk menjadi kunci untuk membuka lapangan kerja yang lebih masif, serta efektif memangkas angka kemiskinan secara radikal sebagaimana sukses yang dituai oleh China.
*Artikel ini pertama kali di publikasikan di kolom opini Harian Republika edisi Kamis (8/11/2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H