Rokok adalah bisnis bernilai jumbo. Bayangkan saja, sepanjang tahun 2017 dari industri ini pemerintah mengantongi pajak sebesar Rp 149,9 triliun. Penerimaan pajak terbesar yang bahkan mengalahkan penerimaan dari sektor industri telekomunikasi atau energi.
Besaran pajak rokok memang fantastis. Berdasarkan Peraturan Meneteri Keuangan No 146 Tahun 2017, tarif cukai hasil tembakau ditetapkan sebesar 57%. Ini menempatkan rokok mirip barang mewah dari aspek pajak atau kontribusi kepada negara.
Melihat angka-angka di atas, wajar saja jika ada yang berseloroh begini. Perokok itu orang penting. Terutama bagi negara. APBN dapat dana ekstra dari perokok. Jumlah sebesar Rp 149,9 triliun tersebut setara dengan 350.000 gedung sekolah baru, atau dapat digunakan membangun jalan tol sepanjang 2.500 Km dengan asumsi biaya Rp 60 miliar per kilometer.
Lantas, bagaimana dari aspek bisnis? Dampak bisnis rokok ternyata juga tidak kecil. Rokok adalah bisnis berskala ekonomi yang masif. Siklus ekonomi rokok dari hulu ke hilir menghidupi jutaan jiwa. Menurut keterangan Kementrian Perindustrian, industri rokok menyerap 6,1 juta tenaga kerja.
Skala ekonomi yang jumbo dari bisnis rokok tersebut sejalan dengan kondisi bisnis perusahaan-perusahaan rokok. Pemain besar seperti Bentoel Group, Djarum, atau Gudang Garam selalu punya nafas panjang untuk menyelami industri ini. Setiap tahun, perusahaan-perusahaan tersebut mengantongi keuntungan yang tidak kecil.
Tahun 2016, Bentoel Group membukukan pendapatan sebsar Rp 19,2 triliun. Pendapatan Gudang Garam lebih besar lagi. Perusahaan yang berpusat di Kediri itu mengantongi Rp 76,27 triliun dalam setahun.
Meski regulasi rokok kini lebih ketat dan cukai rokok semakin besar, nyatanya jumlah perokok tidak susut. Berbagai aturan tentang rokok tidak bisa menahan laju jumlah perokok.
Apalagi, ada yang memandang rokok sebagai elemen budaya. Itu artinya, sulit membayangkan rokok hilang dari bumi Nusantara. Yang terjadi malah sebaliknya. Jumlah perokok bahkan semakin meningkat dari 27% pada tahun 1995 menjadi 36,3% tahun 2016. Pasar yang menjanjikan.
Tak heran bila perusahaan-perusahana rokok berlomba jadi nomor satu. Terus melakukan inovasi hingga diversifikasi produk. Ada pula yang rutin mengeluarkan merek hingga varian baru.
Salah satu perusahaan rokok misalnya, mengeluarkan produk  yang mengusung fitur Reduce Smell Technology. Dari bentuknya yang lebih kecil, inovasi rokok bahkan sudah terlihat. Demikian pula taglineLess Smell Is More yang diusung sebagai komunikasi marketing.
India yang juga dikenal sebagai negara dengan basis konsumen rokok yang besar lebih dulu menerapkan inovasi reduce smell. Adalah pabrikan rokok terbesar di India ITC Ltd melalui produk bermerek Classic Ultra yang mengadopsi teknologi tersebut. Demikian pula Philip Morris International yang memasarkan rokok less smell Marlboro Soul di pasar Ukraina. Di Indonesia, Dunhill Ultra masih jadi pemain tunggal produk rokok berteknologi antibau.Â
Di atas kertas, produk rokok berteknologi seperti ini tentu unggul secara komparatif bila berhadap-hadapan dengan kompetitor. Maklum, industri rokok di dalam negeri belum familiar dengan teknologi.
Dari materi pariwara yang menampilkan pria maskulin nan tangguh, kita bahkan bisa mengukur bila pemain industri rokok masih lebih mengedepankan aspek emosional ketimbang hal-hal rasional seperti adopsi teknologi anti bau.
Hadirnya sentuhan inovasi dalam industri rokok, berpotensi semakin memperbesar kue industri ini. Namun secara bersamaan, di balik inovasi itu risiko kesehatan akibat rokok semakin samar. Dan ini berbahaya. Karena akan mengerek jumlah perokok. Membuat perokok merasa aman-aman saja mengonsumsi rokok berteknologi. Meski di kemasan tertulis MEROKOK MEMBUNUHMU!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H