Dua tahun lalu, tepatnya sepanjang April 2016, perusahaan ini menghiasi headline berbagai media karena Direktur Utama Agung Podomoro Land ketika itu ditetapkan sebagai tersangka kasus suap reklamasi teluk Jakarta. Tak urung, kasus tersebut sempat membuat emiten berkode APLN ini kelimpungan
Boleh dibilang, nama besar APLN babak belur. Reputasi Agung Podomoro yang identik dengan perusahaan dengan produk berkelas, runtuh seketika. Bahkan diasosiasikan dengan citra negatif.
Namun, badai pasti berlalu. Hal itu terjadi dalam dunia bisnis. Masa krisis Podomoro berakhir juga. Tak butuh waktu lama bagi APLN untuk mengubah keadaan. Berbagai program komunikasi dilakukan sebagai upaya recovery brand membuahkan hasil. Mengembalikan kepercayaan konsumen.
Setahun berlalu, krisis yang sempat menderak merek Podomoro, berbalik menjadi untung. Hal ini terkonformasi dari catatan performas bisnis APLN. Ya, sepanjang tahun 2017, APLN tercatat membukukan pendapatan Rp 7 triliun. Cuan tersebut naik 17,2%.
Serupa Tapi Tak Sama
Serupa dengan Podomoro yang tersandung kasus hukum, apartemen  Green Pramuka justru bermula dari perselisihan dengan salah seorang warganya. Sebetulnya, kesalahpahaman serupa banyak terjadi di apartemen lain. Green Pramuka heboh karena kebetulan warga tersebut seorang pelawak tunggal (public figure)
Di media sosial, ia bercerita mengenai masalahnya. Sesuatu yang sebetulnya dianggap biasa di era digital. Ini menjadi tidak biasa setelah opininya melebar liar.
Untungnya, hanya dalam hitungan bulan, nama baik Green Pramuka bisa dipulihkan setelah terjadi proses perdamaian. Seperti Agung Podomoro, apartemen Green Pramuka juga langsung melakukan upaya brand recovery setelahnya. Hal ini terlihat dari intensifnya pemberitaan Green Pramuka di media, serta beberapa kali trending topic di Twitter.
Upaya brand recovery Green Pramuka membuahkan hasil. Pengelola superblok di Jakarta Pusat (berbatasan Jakarta Timur) ini bahkan diganjar penghargaan dalam ajang Indonesia Property Award 2018. Green Pramuka dinilai berhasil melakukan komunikasi pemasaran yang kreatif, terpadu dan tepat sasaran sehingga dinilai efektif dan efisien mendukung pertumbuhan properti di Tanah Air.
Penghargaan yang menempatkan Green Pramuka sejajar dengan 45 developer besar lain di Indonesia sehingga kian diperhitungkan.
Bukan hanya itu, Green Pramuka juga memanfaatkan momentum(riding the moment). Satu demi satu program promo dirilis untuk mendekati konsumen milenial, salah satu target pasar yang disasar apartemen berharga di bawah Rp 500 juta ini.
Green Pramuka misalnya merilis promo buyback & rent guarantee, kredit tanpa slip gaji, cicilan hingga 120 kali (menyasar milenial freelancer), hingga free compact full furnish.
Berkah titik balik yang dialami Green Pramuka juga nampak dari performa bisnis. Penjualan apartemen meningkat.
Dibandingkan dengan penjualan tahun 2014-2015 yang menurun, Green Pramuka kini justru membukukan kenaikan penjualan yang amat signifikan hingga 200 persen. Menurut Jeffry Yamin sebagaimana dikutip dari Tempo.co, saat ini perusahaan memiliki sembilan menara yang sudah siap dihuni. Bahkan tipe studio seharga Rp 400 juta di menara kesembilan yang dirilis Juli 2017, sudah habis terjual.
Memetik Pelajaran
Ada pelajaran yang amat sangat penting untuk kita petik dari case study krisis yang dialami oleh Agung Podomoro (2016) maupun Green Pramuka (2017).
Pelajaran pertama,lokalisir dan selesaikan sebelum merambah terlalu jauh. Hal itu dilakukan oleh Podomoro dengan mengganti Dirut serta memisahkan urusan hukum personal tersebut dengan institusi perusahaan. Demikian pula Green Pramuka yang berdamai dengan konsumennya lalu lantas diikuti program-program untuk memulihkan kepercayaan. Seperti perbaikan layanan.
Yang pasti, krisis bisa terjadi dan menimpa merek apapun. Di tingkat internasional, krisis bahkan pernah membuuat Samsung dan Apple babak belur.
Masih ingat kasus produk "Iphone 6 bengkok (2014)" yang amat mencederai nama besar Apple? Yang paling anyar tentu aja kasus Samsung Galaxy Note 7 yang meledak (2016) hingga produksinya distop. Samsung bahgkan rugi Rp 70 triliun karena krisis tersebut. Berbekal nama besar dan tentu saja strategi ciamik, Apple dan Samsung bangkit.
Kini Apple menjadi merek paling berharga (most valuabel brand) di dunia. Demikian pula Samsung yang masih merajai vendor ponsel dengan penjualan terbesar di dunia.
Pelajaran kedua, manfaatkan krisis. Ya, krisis jangan dibiarkan berlalu begitu saja dan berharap publik melupakan. Sikap membiarkan malah bakal menimbulkan tanya terpendam. Beberapa merek melakukan hal ini, seperti Pizza Hut yang ditengarai menggunakan produk kedaluwarsa (2016) namun memilih diam meski keriuhan terjadi di media sosial.
Ketika isu kedaluwarsa itu mencuat, jujur, saya menunggu-nunggu Pizza Hut menggelar event makan pizza bersama yang tercatat rekor dunia (minimal masuk MURI) untuk membuktikan bahwa produknya baik-baik saja. Namun rupanya, Pizza Hut memilih tidak melakukan campaign apa-apa untuk mengembalikan kepercayaan konsumen.
Krisis yang menimpa sebuah merek, mestinya dimanfaatkan bukan sekadar untuk pemulihan, tapi bahkan untuk program-program pemasaran. Hal tersebut akan memantapkkan positioning merek sehingga nampak confidence di hadapan target pasar. Afirmasi meyakinkan pasar, bahkan merek anda baik-baik saja. Itulah yang dilakukan oleh Podomoro dan Green Pramuka. Juga dilakukan Apple dan Samsung dengan segera meluncurkan produk baru yang lebih baik dan layak dimiliki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H