Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Data Muram Krisis Hunian yang Mengancam

20 Maret 2018   14:30 Diperbarui: 20 Maret 2018   18:52 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak kurang dari 13,5 juta keluarga Indonesia tidak punya rumah. Sementara 3,4 juta keluarga yang sudah punya rumah, bernaung di gubuk tak layak huni. Mereka ini tinggal di rumah sangat, sangat, sangat sederhana secara ukuran dan fasilitas sanitasi yang buruk

Rumah petak yang ditinggali, tidak berfungsi dengan baik untuk melindungi dari terik dan hujan.

Dengan kata lain, bila rata-rata jumlah anggota setiap KK 4 orang sebagaimana sensus BPS, maka ada 67,6 juta orang Indonesia yang hidupnya masih terlunta-lunta.

Hidup nomaden. Tidak menetap bukan karena pilihan, tapi keterpaksaan. Jadi 'kontraktor' yang tiap bulan diuber oleh juragan kontrakan atau kos-kosan untuk bayar tagihan.

Data muram yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Maurin Sitorus itu, semakin menyedihkan. 

Pasalnya urban milenial Indonesia diprediksi tidak bakal mampu beli rumah karena berdompet cekak. Ini kata studi dua startup di bidang karir dan properti. Hasil penelitian itu mencatat tren kenaikan gaji yang merayap. Namun kenaikan harga properti terjadi eksponensial dan tak terkendali.

Artinya, bila anak-anak muda ini menikah dan punya keturunan, mereka akan menambah panjang daftar keluarga Indonesia yang jadi manusia nomaden. Jangan anggap sepele statistik ini. Perlu dicatat, Indonesia punya 70-80 juta jiwa generasi zaman now (baca : milenial) yang terancam ‘tuna wisma’.

Melihat fakta-fakta empirik nan menyedihkan itu, pemerintah tentu dibuat pusing. Bahkan Menko Perekonomian Darmin Nasution pernah bilang "Dalam waktu beberapa tahun generasi millenial itu tidak ada yang bisa cicil rumah di dalam kota kalau (pemerintah) tidak lakukan sesuatu."

Makanya pemerintah rada-rada maksain bikin program satu juta rumah. Rumah murah juga bersubsidi. Sayang kurang sukses.

Ilustrasi rumah murah bersubsidi di pinggiran kota. Sejak 2015, pemerintah mencanangkan program sejuta rumah (sumber rei.co.id)
Ilustrasi rumah murah bersubsidi di pinggiran kota. Sejak 2015, pemerintah mencanangkan program sejuta rumah (sumber rei.co.id)
Sejak dicanangkan, program tersebut tidak pernah mencapai target. Paling banter di angka 800 ribu. Itupun banyak yang kecewa dengan kualitas rumahnya. Jangan bicara soal lokasi, karena rumah-rumah murah tersebut letaknya jauh dari kota.

Padahal, orang-orang yang butuh rumah ini, pada ngumpul di kota. Lapangan pekerjaan memang adanya di kota. Jadi program sejuta rumah di pelosok-pelosok, bisa dikatakan kurang tepat sasaran. Tapi kita tetap apresiasi, terima kasih. Setidaknya pemerintah melakukan sesuatu.

Kedepan, program urgen semacam itu perlu diperbaiki. Mestinya berbasis data. Bangun di kantong-kantong pekerja. Lokasinya yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari tempat kerja.

Akhirnya, di sentra lapangan kerja macam Jakarta, Tangerang, Depok, Bogor atau Bekasi, suplai hunian vertikal melimpah. Terutama apartemen atau rusunami. Meski belum benar-benar jadi primadona.

Faktanya, masih terjadi gap budaya. Orang Indonesia yang terbiasa tinggal di landed house, harus beradaptasi tinggal di 'rumah' yang tak punya pekarangan. Ini tugas pengembang memberikan edukasi mengenai benefit tinggal di vertical residential.

Mengutip kata Marketing Director Green Pramuka City Jeffry Yamin, masyarakat kita sebetulnya pernah mengalami gagap budaya soal tempat tinggal ini. Terjadi saat landed house jadi tren. Rumah berukuran mungil ala Perumnas atau BTN dan ala cluster dibangun. Tembok antar rumah menyatu. Dempet-dempetan.

Kalau melihat kota-kota dunia macam Tokyo, London, New York, Hongkong atau Paris, hunian vertikal pada akhirnya akan diterima. Sebab menjadi gaya hidup kaum urban. Warga di kota-kota dunia bahkan prefer ke apartemen karena mendukung gaya hidup praktis. Selain tentu saja alasan absolut soal harga.

Konsep praktis dan fungsional menjadi keniscayaan dalam penataan apartemen dengan luas yang terbatas (sumber : Kaskus.co.id)
Konsep praktis dan fungsional menjadi keniscayaan dalam penataan apartemen dengan luas yang terbatas (sumber : Kaskus.co.id)
Persoalan baru tentu saja datang mengikuti trend hunian vertikal. Mereka yang berkantong jumbo dan terjun di bisnis properti, dengan enteng memborong apartemen-apartemen yang diproyeksikan punya demand tinggi. Makanya, kita tidak sulit menemukan 'pemain properti' mengoleksi apartemen.

Beli dulu, nanti juga bakal ada yang beli kembali dengan harga lebih tinggi. Spekulasi tidak apa-apa. Karena statistik menunjukkan kenaikan harga apartemen di level menengah bisa mancapai 50-100 juta pertahun. 

Ini juga informasi bagi yang tertarik investasi properti, sekarang ada model bisnis baru dalam investasi apartemen. Setiap kita membeli unit apartemen, diberikan garansi akan ada yang menyewa bahkan ada yang membeli lagi dalam beberapa tahun kedepan. Artinya, jika anda punya DP atau uang muka, maka anda bisa langsung berinvestasi apartemen dan dipastikan bakal mengantongi untung dalam beberapa tahun lagi. Karena developer menjanjikan dan menjamin akan membantu menyewakan dan menjual lagi dengan harga lebih tinggi.

Penawaran buyback dan lease guarantee seperti ini, menarik bagi investor. Namun berkonsekuensi bagi end user.Sebab kenaikan harga apartemen bisa lebih cepat karena faktor spekulasi. Makanya, prinsip di properti tidak pernah berubah. Belilah sekarang, jangan nanti nanti. Karena harganya pasti bakal semakin mahal.

Realitas ini semakin membuat panjang siklus backlog atau defisit suplai rumah. Kenyataan muram yang tak bakal terhenti sebelum pemerintah turun tangan mengontrol harga properti. Bukan melepaskan sepenuhnya ke mekanisme pasar propeti yang kejam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun