Desa merupakan kantong-kantong kemiskinan. Per Maret 2017, BPS mencatat sebanyak 22,77 juta orang miskin di Indonesia ada di desa. Kenyataan tersebut menempatkan masyarakat miskin di desa lebih besar dari perkotaan. Persentase kemiskinan di desa juga jauh di atas angka kemiskinan nasional di level 10,64 persen.
Tak heran bila kemudian Menteri Keuangan, Sri Mulyani berkali-kali menyoroti efektivitas penggunaan dana desa dalam memangkas kemiskinan. Menkeu mengakui, anggaran dana desa yang dimulai sejak tiga tahun lalu belum optimal dalam mengentaskan kemsikinan.
Selama tiga tahun sejak dianggarkan pada APBN 2015, sebesar Rp 127,74 triliun uang negara digelontorkan ke pelosok melalui dana desa. Kendati demikian, angka kemsikinan di desa tidak berkurang seperti diharapkan. Indeks bahkan kemiskinan kian dalam.
Diantara penyebab kemiskinan di desa adalah penguasaan lahan pertanian yang semakin terkikis oleh industrialisasi. Bayangkan, sebanyak 55,33 persen petani di desa hanya menggarap lahan seluas 0,25 hektar.Â
Jika lahan secuil itu ditanami secara musiman, dua sampai tiga kali panen dalam setahun, tentu saja tidak cukup menghidupi keluarga yang beranggotakan empat orang.
Untuk menyelesaikan problem kemiskinan di pedesaan ini, perlu pendekatan keadilan ekologis. Masyarakat desa, saat ini kian tersisih oleh industrialisasi.Â
Lahan-lahan pertanian dikonversi menjadi wilayah industri. Lahan-lahan produktif untuk memproduksi beras dan aneka palawija, disulap jadi pabrik-pabrik.
Kenyataan pahit kian terasa karena minat generasi muda untuk bertani semakin merosot. Generasi muda tentu berupaya rasional melihat prospek pertanian ketika harus berhadapan dengan gurita kapitalisme yang menguasai sumber daya di desa-desa.
Salah satu amanat pendekatan keadilan ekologis adalah menegakkan aturan yang menjadi barrier penyerobotan lahan pertanian oleh industri yang kerap menimbulkan konflik agraria hingga menelan korban jiwa. Untuk itu, perlu komitmen pemerintah menegakkan aturan.
Namun sayang, kesadaran politik lingkungan hidup yang belum jadi acuan dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Hal ini yang kemudian mendasari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggelar Temu Rakyat dan Konferensi Lingkungan Hidup. Dari forum rembuk nasional tersebut lahirlah Platform Politik Lingkungan Hidup.
Lebih dari itu Platform Politik Lingkungan Hidup, menjadi spirit politik untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang mengedepankan keselamatan lingkungan, harmoni dengan alam dan pembangunan yang berkesinambungan.
Dalam konteks kekinian, keberpihakan politik pemerintah terhadap masyarakat adat dan petani di desa-desa dapat mendorong lahirnya produk-produk kreatif berbasis sumber daya lokal.Â
Apalagi, pemerintah di satu sisi menggalakkan program Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sesuai Permendesa Nomor 4 tahun 2015.
Namun dorongan kebijakan yang ditopang anggaran besar tersebut akan kurang bertenaga, bahkan cuma berakhir sia-sia jika di saat bersamaan, sumber daya desa semakin tergerus oleh industrialisasi.Â
Untuk menahan laju ekspansi industrialisasi ke desa-desa yang bahkan kerap menyerobot lahan adat, butuh political will dan konsistensi pemerintah. Pada titik ini, Platform Politik Lingkungan Hidup jadi mendesak diadopsi oleh semua lapis pemangku kebijakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI