Akan tetapi, lebih dari itu rakyat butuh kepastian nasib, keberpihakan ketika berhadapan dengan korporasi. Maraknya konflik agraria yang berujung pada tragedi ekologis dan kemanusiaan, harus diakui merupakan akibat lemahnya penegakan aturan. Pemanfaatan sumber daya alam di darat, laut dan udara masih didominasi oleh korporasi. Sistem kapitalisme dan liberalisme semakin menggeser peran masyarakat hingga tersisih dan menjadi korban.
Lihatlah fakta lemahnya penguasaan SDA oleh masyarakat. Di sektor pertanian, sebanyak 55,33 persen petani hanya menggarap lahan 0,25 ha. Lahan sesempit itu, tentu saja tidak bisa menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Akibatnya, desa-desa pertanian, menjadi basis kemiskinan.
Platform Politik Lingkungan Hidup yang telah diterima secara resmi oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki untuk diserahkan kepada Presiden, diharapkan menjadi titik terang keberpihakan pemerintah yang lebih dalam lagi. Keberpihakan yang harus dibreakdown hingga ke daerah. Sebab, konflik agraria hingga kerusakan ekologis ini umumnya terjadi karena pemerintah daerah yang abai.
Lebih dari sekadar menyelesaikan konflik, saya melihat politik lingkungan hidup sebagai langkah efektif mengurai kemiskinan dengan tercapainya keadilan ekologis. Ingat, desa adalah kantong kemsikinan.
Dana desa yang telah digelontorkan pemerintah pusat, bahkan kurang bertaji mengisikis kemiskinan seperti kerisauan yang sempat dilontarkan Menteri Keuangan. Keadilan ekologis ini, mungkin satu jalan yang perlu diseriusi memangkas kemiskinan. Semoga saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI