Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mitos Kanibalisme "E-commerce"

21 November 2017   07:58 Diperbarui: 30 November 2017   11:20 3030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bali.tribunnews.com

Bermunculannya banyak perusahaan e-commerce tidak menghambat pertumbuhan bisnis retail modern. Saat ini, pangsa pasar retail modern di ASEAN-5—yakni Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina—mencapai 30 persen dari total penjualan retail. Pangsa pasar ini membengkak dibandingkan sepuluh tahun lalu sebesar 21,7 persen.

Alfie Yeo, analis DBS Group Research, memprediksi pangsa pasar retail modern di ASEAN-5 akan mencapai US$ 93 miliar pada 2021. Setiap tahun, diperkirakan pertumbuhan rata-rata (CAGR) bisnis retail modern mencapai 7,4 persen dari US$ 65,2 miliar pada 2016.

“Kami melihat dorongan untuk meningkatkan jangkauan bisnis dan operasional yang lebih efisien, akan menggenjot margin keuntungan. Ini terutama berkat biaya yang lebih rendah, penjualan yang lebih banyak, dan perputaran uang yang lancar,” kata Yeo dalam risetnya berjudul “Will online grocery retail take off in ASEAN?” yang dirilis 18 Juli 2017.

Menurutnya, ekspansi perusahaan-perusahaan retail modern dipengaruhi oleh tingkat urbanisasi dan pertumbuhan kelas menengah di negara-negara ASEAN. Pada 2016 misalnya, urbanisasi mencapai 53,7 persen atau naik 1,2 persen dari 2014. Artinya, populasi di perkotaan bertambah 11 juta jiwa.

Perkembangan ini terlihat dari aktivitas bisnis perusahaan-perusahaan retail modern di ASEAN. Raksasa supermarket Singapura, Shen Siong berencana menambah 50 gerai baru hingga akhir tahun ini. Begitu pun dengan waralaba 7-Eleven di Malaysia yang bakal menambah 200 gerai convenient store per tahun.

Menurut penilaian Yeo, memperluas jaringan gerai adalah salah satu cara untuk menekan biaya operasional, sekaligus meningkatkan margin keuntungan. Ini dikarenakan margin keuntungan bisnis retail grosir biasanya tidak lebih dari 10 persen.

“Beberapa cara lain untuk menggerek margin keuntungan antara lain, memperoleh barang dari sumber utama, menjual produk yang diproduksi sendiri, memiliki pusat logistik dan distribusi, serta membeli produk secara massal,”  katanya.

Di sisi lain, perkembangan bisnis grosir retail online belum mampu memberikan tantangan berarti bagi grosir retail modern. Retail online memang tumbuh pesat, tapi pangsa pasarnya masih jauh lebih kecil dari grosir retail modern.

Bain & Company (Bain) mencatat pasar grosir retail online di ASEAN saat ini sebesar US$ 6 miliar atau hanya 3 persen dari total penjualan retail keseluruhan. Bandingkan dengan pasar retail online di Tiongkok dan Amerika Serikat yang mencapai US$ 293 miliar dan US$ 270 miliar atau 14 persen dari total penjualan retail.

Di Singapura, kendati Amazon baru-baru ini mengakuisisi supermarket Wholefood senilai US$13.7 miliar, tapi dari sisi jangkauan bisnis dan operasional raksasa e-commerce Amerika Serikat ini masih kalah dari pemain retail modern lain. Gudang penyimpanan Amazon hanya seluas 100.000 kaki persegi (sqft), sedangkan pemain lama Shen Shiong punya gudang seluas 500.000 sqft, begitu pun dengan Dairy Farm yang punya gudang seluas 260.000 sqft.

Selain itu, Yeo mengungkapkan, bahwa masyarakat ASEAN belum sepenuhnya siap beralih ke belanja online. Keberagaman dan luasnya wilayah di Asia Tenggara memberi tantangan tersendiri buat kesuksesan e-commerce. Keberagaman itu meliputi etnisitas, bahasa, preferensi konsumsi, dan regulasi. Selain itu, sebagian besar negara di Asia Tenggara masih kekurangan infrastruktur pembayaran regional dan logistik yang diperlukan untuk menyukseskan e-commerce.

“Konsumen masih saja belum mempercayai platform e-commerce, akibat kurangnya sensasi menyentuh barang yang dibeli. Selain juga masih mengalami kesulitan dalam menemukan produk yang mereka inginkan secara online,” ujarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun