Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Landmark Mendobrak City Branding di Era Media Sosial

12 November 2016   16:37 Diperbarui: 12 November 2016   22:16 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eco Skywalk Neo Soho, salah satu landmark di Kota Jakarta, tepatnya di kawasan Podomoro City. Landmark ini disebut-sebut sukses memikat dan membuat pengunjung Central Park dan Neo Soho meningkat. (sumber : foodinloveid.wordpress.com)

Ketika berbicara tentang ikon Singapura, apa yang terlintas di pikiran anda? Patung Merlion yang menyemburkan air, bukan? Jika menyebut ikon Jakarta, mesti yang pertama terlintas adalah Monumen Nasional (Monas). 

Itulah kekuatan dari sebuah landmark. Tak hanya sebagai destinasi wisata, namun juga melengkapi identitas satu kota atau wilayah.

Landmark menjadi destinasi favorit di setiap kota, meskipun hanya singgah mengabadikan foto. Tidak sempurna perjalanan ke Paris jika tak berfoto dengan latar belakang Menara Eiffel. Kurang absah datang ke New York jika melewatkan Patung Liberty, Empire State Building atau Central Park.

Landmark dan kota merupakan kesatuan utuh. Kota tanpa landmark bagai sayur tanpa garam. Hambar rasanya menjadi wisatawan mengunjungi satu kota tapi tidak berfoto di tempat yang memorable dan merepresentasikan kota tersebut.

Di era sosial media, landmark merupakan sarana marketing dan city branding yang efisien dan efektif. Betapa besar dampak marketing yang dilakukan oleh 6,8 juta turis yang berkunjung ke Menara Eiffel setiap tahun, dimana bila setiap dari mereka memosting di media sosial masing-masing minimal satu foto dengan latar menara besi yang dibangun pada tahun 1889 tersebut. Apalagi bila postingan itu dibumbui kalimat memikat, membuat orang-orang yang melihat foto tersebut jadi ingin juga berkunjung ke Menara Eiffel.

Kini makin banyak wisatawan dengan pengalaman yang sama, mengunjungi satu tempat karena awalnya terpikat oleh postingan teman di Facebook. Dus, media sosial tak lagi sekadar medium promosi bagi merek-merek yang berkecimpung di dunia pariwisata untuk berpromosi, namun juga merupakan satu jalan untuk menghubungkan para turis dengan calon turis. Media sosial dengan konten landmark melimpah, telah terintegrasi sebagai satu variable rujukan yang dipertimbangkan sebelum calon wisatawan memutuskan akan pergi ke satu tempat.

Berbicara soal kepuasan konsumen, landmark bahkan menjadi unsur penting dalam menciptakan customers experience. Pengalaman yang diperoleh wisatawan tidak selesai  ketika sesi selfie atau berfoto di tempat-tempat ikonik. 

Pengalaman tersebut berlanjut manakala dengan rasa bangga mereka momosting foto-fotonya, lalu disahuti pujian dan sanjungan dari para follower di Instagram. Rasa bangga dan prestise, yang bisa jadi juga menelusup ke dalam imajinasi para follower di media sosial sehingga tergerak untuk berwisata di tempat yang sama.

Lantas, landmark seperti apa yang sebaiknya dibangun atau dikelola (jika landmark tersebut terbentuk secara alami) agar relevan dengan misi city branding di era media sosial? Jawabannya,  tentu saja yang Instagramable : layak dijadikan spot berfotoria, sebisa mungkin disiapkan titik-titik khusus yang membuat orang nyaman ketika mengabadikan gambar. Landmark tersebut mudah diakses dan tidak berada di keramaian, terutama yang berbahaya misalnya di jalur lalu lalang kendaraan.

Jembatan Suramadu dan Tugu Jogja merupakan dua landmark yang sangat ikonik, namun sayang berada di tengah arus lalu lalang kendaraan sehingga agak riskan ketika wisawatan ingin mengabadikan foto mereka di tempat tersebut. Mungkin banyak landmark lain yang serupa, dan mesti dicari solusinya agar fungsi landmark lebih optimal menguatkan city branding di media sosial.

Selain tugu, situs sejarah, monumen atau situs alami seperti Danau Kelimutu di Nusa Tenggara, infrastruktur dan ruang publik juga bisa dijadikan landmark. Seperti Central Park, taman di tengah hutan beton yang menjadi landmark di jantung Amerika Serikat, New York. Demikian pula Golden Gate, landmark kota San Fransisco yang juga merupakan infrastruktur publik.

Di kota-kota Indonesia, ada banyak tempat yang bisa dijadikan landmark dari berbagai segmen. Mulai dari situs alami seperti danau, situs sejarah, hingga infrastruktur buatan manusia. Dalam skala besar, landmark memang berada di tengah atau sebagai simpul kota. Namun di tempat-tempat tertentu dengan skala kecil, bisa juga ada landmark.

Di Jakarta misalnya, ada jembatan penyeberangan Eco Skywalk yang menjadi landmark Podomoro City. Infrastruktur publik yang menghubungkan Central Park Mall dengan Neo Soho ini dibangun oleh Agung Podomoro Land. Jembatan yang baru selesai dibangun dua bulan ke belakang tersebut hanya ada di Jakarta. Desainnya futuristik dan artistik sehingga memikat para pengunjung, bahkan foto-fotonya telah membanjiri sosial media setelah trending sebagai spot favorit terkini mengabdikan momen di Ibu Kota.

Bandung, barangkali layak kita nobatkan sebagai kota dengan landmark terbanyak di Indonesia. Ya, kota kembang ini bertabur landmark. Mulai dari Museum Geologi (situs sejarah), Lapangan Gasibu, Jalan ABCD : Asia Afrika, Braga, Cihampelas, Dago, juga Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung (public area), Jembatan Pasopati (infrastruktur) dan lusinan taman yang dibangun oleh Pemkot Bandung.

Bila disebut satu persatu, sepertinya 1/3 wilayah Kota Badung adalah landmark. Deretan landmark tersebut berada di tempat-tempat tertentu yang bahkan jaraknya cukup dekat satu sama lain, namun memiliki diferensiasi yang kuat dan penuh daya pikat.

Bandung menuai berkah pariwisata yang terdorong oleh keberadaan banyak landmark sebagai magnet wisatawan. Apalagi landmark tersebut bisa dinikmati secar gratis. Dan memang harusnya seperti itu.

Dengan sangat mudah deretan landmark yang ada di Bandung kita temukan berseliweran di media sosial berfitur video dan foto sharing maupun geo tangging. Bandung makin dikenal. Mengukuhkan positioning city brand Bandung sebagai kota wisata yang indah.

Di era media sosial, menjadikan tempat sebagai landmark tidaklah sulit. Yang terpenting, tempat itu khas, unik, ikonik dan tidak ada di tempat lain, maka ia sudah memenuhi syarat menjadi landmark. Dan hal yang wajib tentu saja harus Instagramableseperti telah disunggung di muka. Pengunjung bahkan sebaiknya difasilitasi senyaman mungkin. Dibuatkan banyak tempat duduk dan taman seperti Eco Skywalk Neo Soho atau taman-taman di Bandung. Agar ketika dalam kondisi ramai, harus antre misalnya, pengunjung bisa istirahat dan suasana nyaman tetap terbangun.

Jadi kata kunci sebuah tempat layak didaulat sebagai landmark adalah Instagramable, nyaman, aman dan aksesable. Satu landmark bakal viral secara gratis dan organik di media sosial, bila berpadu pesonanya manakala diabadikan dalam video maupun foto, sembari meninggalkan jejak experience mendalam ke hati para pelancong.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun