Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menyelamatkan Agenda Pembangunan Tanpa APBN

8 Agustus 2016   08:34 Diperbarui: 8 Agustus 2016   11:02 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
APBN merupakan pengejewantahan kedaulatan rakyat yang diamanatkan kepada pemerintah dan legislatif (sumber : aktualpost.com)

Menteri Keuangan yang baru, Sri Mulyani membuat terobosan terhadap struktur APBN. Menyadari kondisi keuangan negara yang sedang tidak sehat, mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut menyunat anggaran sejumlah kementerian dan lembaga yang tertuang di APBN hingga mencapai Rp 133,8 triliun.

Sri Mulyani memandang bahwa dengan kondisi keuangan negara yang megap-megap, tidak mungkin APBN mampu diimplementasikan. Dua tahun belakangan, pemerintah disimpulkan menyusun APBN secara serampangan dengan target-target ambisius namun tidak visible. Terutama ini diakibatkan oleh melesetnya target penerimaan negara sehingga dalam jangka dua tahun memerintah Jokowi-JK sudah menambah tumpukan utang luar negeri lebih dari Rp 750 triliun.

Terlepas dari pro-kontra yang mengiringi sebab dikhawatirkan membawa Indonesia berkiblat ke ekonomi liberal, Sri Mulyani hadir di saat yang tepat. Paling tidak, dalam hal visibilitas, APBN dikembalikan ke jalan yang benar.

Berbicara soal makro ekonomi, APBN hanyalah bagian kecil dari variabel penggerak pembangunan. APBN tidak bisa dijadikan variabel tunggal untuk mencapai angka-angka statistik yang diinginkan.

APBN memang merupakan pengejewantahan kedaulatan rakyat yang diamanatkan kepada pemerintah dan legislatif. Namun, tetap saja variabel lain seperti regulasi atau undang-undang dan penegakan hukum dibutuhkan menyokong perekonomian. Karapuhan sistem perekonomian Indonesia karena tidak sinergi dan terintegrasinya antarsektor.

Menyiasati kondisi keuangan negara yang rentan, pembangunan harus terus berlanjut. Defisit APBN bukan berarti mengorbankan pembangunan dan mengabaikan janji-janji pemerintah mewujudkan kesejahteraan. APBN memang tak dapat sepenuhnya diandalkan, tapi masih banyak opsi yang bisa ditempuh tanpa harus menyalahkan keadaan.

Menggalakkan investasi merupakan kata kunci pamungkas untuk mengangkat ekonomi suatu negara. Beberapa negara yang "miskin" kuantitas sumber daya alam dan sumber daya manusia sukses berada di jajaran teratas ekonomi dunia karena peran investasi. Sebutlah misalnya Singapura, negara kota yang tak memiliki sumber daya alam semelimpah Indonesia. Namun, Singapura menjadi kampium ekonomi global yang ditakar dari tingkat kesejahteraan rakyat (PDB perkapita tertinggi ketiga di dunia) berkat kecakapan negeri jiran tersebut dalam menyedot investasi. Ada lebih 3000 Multi National Corporations dari USA, Jepang dan Eropa yang membenamkan dana mereka di Singapura.

Bagaimana dengan Indonesia? Kebijakan investasi di negeri ini tidak konsisten. Presiden Jokowi, dalam berbagai kunjungannya di luar negeri memang sangat aktif mempromosikan prospek investasi di Indonesia. Namun, di saat yang bersamaan, pejabat dan struktur pemerintahan di bawah kerap kali bertindak kontraproduktif. Ada yang berdalih dengan dalil hukum, ada pula yang justru menyeret ke wilayah politik.

Contoh kecil, soal reklamasi. Dalam kacamata ekonomi, keluarnya keputusan Menko Maritim ketika itu, Rizal Ramli yang menghentikan reklamasi Pulau G, sangat membuat was-was para investor. Agung Podomoro Land selaku pengembang Pulau G bahkan sampai menggelar konverensi pers merespons keputusan pemerintah pusat yang dipandang merugikan investor, tidak terkoordinasi dengan Pemda DKI yang telah mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi serta menimbulkan ketidakpastian.

Padahal, sebelumnya Pesiden Jokowi menjanjikan pelaksanaan reklamasi 17 Pulau terintegrasi dengan megaproyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Statement Presiden, mestinya bisa ditangkap dan diterjemahkan oleh struktur di bawahnya dengan baik agar tidak mencoreng dan meruntuhkan wibawa pemerintah.

Pekerjaan berat pemerintah di sektor investasi sebetulnya bukan pada masifnya promosi di luar negeri dan pembenahan infrastruktur. Tapi bagaimana membenahi sistem dengan menyiapkan perangkat aturan (software) yang mendukung terwujudnya iklim investasi yang sehat. Tanpa promosi sekalipun, jika memang kondusif, dengan sendirinya investasi mengalir ke Indonesia.

Terlalu menggembar-gemborkan bahwa investasi di Indonesia menjanjikan namun realitasnya justru menghadapi banyak kendala, justru menciptakan preseden buruk. Jangan sampai pemerintah terjebak memperlakukan investasi bak iklan komersil di televisi yang menjanjikan banyak hal bombastis. Kualitas yang dikesankan, tidak nampak pada kualitas aktual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun