Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Reklamasi dan Maturasi Adopsi Informasi

8 Mei 2016   12:27 Diperbarui: 8 Mei 2016   18:09 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Reklamasi yang digagas pemerintah "Proyek Garuda" bakal menjadi pulau ikonik di Indonesia karena bentuknya yang unik menyerupai haruda yang sedang terbang. Salah satu fungsi pulau ini kedepan adalah menjadi tanggul raksasa yang mencegah Jakarta dari tenggelam. (Sumber ncicd.com)Tulisan ini tidak berpretensi memaksa pembaca untuk memosisikan pendapat tentang reklamasi pada satu pilihan tertentu. Mau menerima atau menolak, itu pilihan pribadi. Tulisan ini ini tentang bagaimana menjadi warga abad digital yang cerdas, kritis dan terbuka.

Melakukan verifikasi untuk validasi informasi, merupakan satu keniscayaan di era ketika informasi yang datang begitu deras mencari dan menghampiri manusia sebagai konsumennya. Berkebalikan dengan abad sebelumnya, dimana manusialah yang mencari informasi. Kita tengah berada di zaman yang nilai benar/salah didrive oleh rezim informasi dan teknologi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan publik, diukur dari besaran ekspos media, popularitas yang diraup serta capaian rating.

Makin popular, hits dan jadi trending, maka ia dianggap kebenaran (hampir) mutlak. Dan media dengan berbagai variannya, didaulat menentukan paramater kebenaran tersebut. Sesuatu dianggap benar bila popular, sering diberitakan dan disahuti oleh suara yang riuh di media.

Secara kultural, kondisi ini dibingkai oleh sistem yang kita sebut demokrasi. Dimana bukan esensi yang jadi instrumen utama, tapi penerimaan (akseptabilitas) publik. Karena itu kita mengenal suara mayoritas-minoritas. Padahal, pandangan umum publik bisa jadi meleset. Terlebih bila mereka, menerima informasi tidak matang dari sumber yang sama. Celakanya, hal ini diadopsi serampangan dalam kehidupan secara umum.

Mencuatnya kontroversi soal reklamasi, membuktikan tesis di atas. Betapa tidak, secara gegabah banyak yang memosisikan diri berada di barisan pro atau kontra terhadap reklamasi karena membiarkan dirinya dibawa hanyut oleh arus publik yang mengkristal di media. Independensi intelektual dan rasio, dibonsai karena alasan-alasan emosional.

Keputusan mendukung atau menolak reklamasi yang artikulasinya kemudian dilantangkan di media sosial, sekadar menyahuti apa yang mayoritas berkelindan di media dan diaminkan oleh kelompoknya dengan ikatan emosi berbasis similaritas identitas simbolik.

Manakala kelompok yang ia identifikasi sebarisan dengannya menyatakan “dukung reklamasi” maka ia spontan menerima tanpa upaya verifikasi. Demikian pula di kutub sebaliknya. Ada yang tergopoh-gopoh “menolak reklamasi” setelah emosinya ia biarkan diaduk oleh kelompok yang ia percayai bagian dari dirinya tanpa sesaat pun memberikan kesempatan kepada potensi nalarnya untuk mencerna dan mengaudit informasi mendahului proses memutuskan secara independen.

Ketika identitas personal dibiarkan melebur ke dalam identitas komunal, maka ini adalah bentuk pelemahan terstruktur dalam pengabaian potensi individual.

Untuk mereka yang kontra misalnya, cobalah membuka diri terhadap informasi bahwa : Pertama, 40% dari wilayah reklamasi tersebut menurut Permen PU Nomor 40/PRT/M/2007 harus diperuntukkan bagi ruang publik. Tak hanya itu, wajib pula ada kontribusi untuk Pemda DKI sebesar 15% yang (dalam proses) dituangkan ke dalam Perda.

Kedua, reklamasi itu ternyata membantu menghalau/membersihkan laut dari limbah industri yang muara pembuangannya saat ini langsung ke laut.

Ketiga, jika reklamasi berhasil maka pantai menjadi bersih yang tentu berdampak pada perbaikan kualitas lingkungan dan ekosistem laut serta tangkapan nelayan (lebih banyak, sehat dan tak harus menempuh perjalanan berjarak jauh ke laut dalam).

Keempat, bahwa reklamasi ini merupakan berkah tersendiri untuk mengurai padatnya pemukiman di Jakarta serta mengerem lonjakan harga properti.

Jika reklamasi Singapura seluas 1.500 Ha mampu menampung 200.000 rpenduduk, maka luas reklamasi Pantai Utara Jakarta 5.100 Ha ideal menjadi hunian bagi 680.000 jiwa penduduk.

Saat ini, permintaan hunian baru di ibu kota tumbuh dengan pesat dan tak diimbangi oleh ketersediaan lahan. Hal ini berdampak pada lonjakan eksponensial harga properti yang sampai pada taraf tak masuk akal.

Sebagaimana hukum permintaan/penawaran, tambahan suplai diharapkan dapat mengerem harga properti di Jakarta agar tak gila-gilaan.

Kelima, bahwa reklamasi bisa menciptakan siklus ekonomi baru berbasis perdagangan barang, jasa dan pariwisata.

Demikian pula mereka yang pro reklamasi, coba kroscek silang informasi yang dijadikan dasar untuk mendukung pembuatan pulau buatan tersebut pada mereka yang kontra reklamasi. Argumentasi ihwal dampak kerusakan lingkungan, menggusur area nelayan mencari nafkah, simbolisasi kapitalisme dan ketimpangan, serta berbagai  dalih yang tumpah ruah di media sosial yang jadi pijakan menolak reklamasi.

Kembali ke soal bagaimana menjadi konsumen informasi yang matang (mature), kita harus rela melapangkan dada untuk mengonsumsi opini-opini pembanding, yang barangkali second opinion tersebut secara objektif menyempurnakan, menganulir atau bahkan menegasi pendapat yang kita anut sebelumnya dengan dukungan argumentasi yang kuat.

Harus diakui, penetrasi informasi dalam hitungan detik memberondong kita. Informasi menembus wilayah pribadi kita melalui gadget. Informasi kerap kali tak memberi kita kesempatan untuk menimbang secara elegan.

 

Terlebih bagi ia yang ditunggangi rasa ingin eksis dengan menumpang narsis pada isu yang sebetulnya bukan kompetensinya untuk berargumentasi laiknya mereka yang sudah mengkaji isu tersebut.

Di era informasi ini, banyak yang kebablasan dan mengandalkan diri hanya berbekal broadcast tak jelas lantas muncul bak pakar. Banyak kasus dimana konsumen informasi tampak tidak cerdas, mudah terprovokasi oleh informasi tak akurat, atau bahkan hoax.

Jangan terjerumus menjadi konsumen informasi yang latah. Ikhlaskan diri menerima serta mencari informasi pembanding. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun