Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Krisis Iklan Edukatif: Kasus Indosat dan A Mild

12 Januari 2015   05:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Liburan ke Aussie lebih mudah dibanding ke Bekasi”. Demikian bunyi kalimat iklan terbaru Indosat diposting di akun Twitter @IndosatMania yang menuai banjir kecaman, bahkan menyulut amarah warga Bekasi. Menangkis gelombang kemarahan warga Bekasi, Indosat buru-buru meminta maaf dan menarik iklan tersebut. Namun nasi terlanjur menjadi bubur, sial tak dapat dibendung. Iklan yang menjadi viral di saluran media sosial itu dengan cepat menyeruak mengisi ruang-ruang percakapan pengguna internet, bahkan hingga ke kuping Walikota dan DPRD Bekasi.

Jika dicermati kata per kata, iklan tersebut memang keterlaluan. Menggunakan tone negatif yang menegasi Bekasi. Membanding-bandingkan Bekasi dengan Australi. Menjadi pertanyaan, mengapa perusahaan komersil sebesar Indosat tidak cerdas dalam membuat iklan? Apa yang ada di benak dan pikiran konsultan periklanan (jika menggunakan jasa konsultan) atau divisi marketing dan komunikasi Indosat ketika menyetujui iklan tersebut dirilis?

Belum lama ini, iklan rokok A Mild juga menuai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat karena dianggap mengampanyekan sesuatu yang vulgar. Pada iklan A Mild yang tayang di papan reklame di beberapa kota, divisualisasikan sepasang muda mudi berangkulan dengan wajah yang nyaris bersentuhan, dimana si perempuan berpakaian ketat dan terbuka. Iklan tersebut kian vulgar dengan adanya kalimat “Mula-Mula Malu-Malu, Lama-Lama Mau”.

Tak butuh waktu lama untuk tersebar di sosial media dan menuai kecaman dari masyarakat. Iklan itu akhirnya ditarik oleh pihak Sampoerna.

Iklan merupakan bentuk komunikasi, sehingga mestinya ia tidak menyakiti. Alih-alih raih simpati, iklan yang hanya kejar sensasi lantas lontarkan diksi membully seperti kasus iklan Indosat, malah akan tuai caci maki. Bukannya membangun brand awarness, iklan yang mengabaikan social insight dan human insight yang masih sangat kuat melekat dalam kultur masyarakat kita, bahkan berpotensi meruntuhkan brand. Masyarakat bisa dengan mudah menghakimi dan melabeli produk tersebut tidak tahu etika dan moral.


Sebagai pemasar, tim marketing yang merilis iklan Indosat maupun A Mild harusnya paham dengan kondisi pasar saat ini yang semakin religius dan “socialist”. Terlebih iklan yang mereka rilis ditayangkan di ruang terbuka yang bisa diakses oleh siapa saja. Cobalah baca buku Marketing To The Middle Class Muslim karya Bang Yuswohady yang menguliti secara vulgar betapa agamis dan spiritualnya masyarakat kita sekarang. Pengabaikan sisi sosial-agama-spiritual-kemanusiaan di era market religius yang merekah, tentu saja sebuah kecerobohan dan langkah marketer yang tidak smart.

Ada kesan jika iklan Indosat sebetulnya ingin digiring bernada kocak alias lucu, sebagaimana Indonesia memang dilanda gelombang lelucon. Akhir-akhir ini, masyarakat kita gandrung akan sesuatu yang lucu. Entah karena tingkat stress tinggi sehingga butuh hiburan yang mengocok perut, atau memang sudah candu konsumsi humor. Lihatlah di saluran televisi, menjamur acara-acara banyolan dengan rating yang bernilai ekonomi menggiurkan.

Munculnya iklan Indosat yang bernada guyon tersebut, tak bisa dilepaskan oleh booming komedi di masyarakat. Sudah lumrah dalam dunia marketing, iklan mengekor trend yang tengah digandrungi. Sangat jarang ada iklan menjadi trendsetter, apa lagi menciptakan trend yang memiliki nilai edukasi.

Yang jamak, malah (biasanya) iklan vulgar yang pertontonkan tubuh perempuan. Misalnya ada iklan cat yang pertontonkan paha perempuan yang roknya tersingkap oleh tiupan angina. Iklan ini kemudian disensor setengan hati. Iklannya masih tayang, namun bagian paha sedikit diblok dengan warna khusus. Ada juga iklan smartphone yang pertontonkan paha perempuan. Padahal cat maupun smartphone sama-sama tidak ada kaitan dengan paha.  Mestinya kaum perempuan protes fisiknya diumbar sebagai pemanis di layar komersil.

Teringat ucapan dosen yang kala itu mengisi kelas marketing. Katanya “Menurut teori bauran pemasaran (Marketing Mix) yang dipopulerkan oleh Philip Kotler, ada empat formula marketing, biasa disingkat menjadi 4P. Yakni product, place, price and promotion. Tapi sekarang, 4P telah berubah menjadi 5P : product, place, price, promotion dan perempuan”. Jadi jangan heran jika disetiap iklan, selalu ada perempuan yang sering kali malah tidak nyambung dengan produk yang diiklankan.

[caption id="attachment_364064" align="aligncenter" width="496" caption="Iklan Indosat yang bikin marah warga Bekasi (sumber :sindonews.com)"][/caption]

[caption id="attachment_364065" align="aligncenter" width="462" caption="Iklan A Mild (Sampoerna) yang dikecam karena vulgar (sumber : mix.co.id)"]

14209898001893982425
14209898001893982425
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun