Seusai Perang Qadisiyah yang dimenangi oleh Pasukan Muslim, dua orang sahabat yang merupakan pahlawan perang Sahl bin Hunaif dan Qais bin Sa’d sedang duduk-duduk bersama sahabat lainnya, tidak lama lewatlah iring-iringan jenazah di hadapan mereka, spontan mereka berdua berdiri menghormati jenazah yang melewati mereka sementara sahabatnya yang lain tetap duduk sambil mengingatkan Sahl dan Qais bahwa jenazah yang lewat tersebut adalah orang kafir dzimmi. Peringatan dari sahabatnya yang tetap duduk itu dijawab oleh Sahl bin Hunaif dan Qais bin Sa’d:
Sesungguhnya pernah ada jenazah lewat didepan Rasulullah s.a.w kemudian beliau berdiri, lalu ada sahabat yang memberitahu beliau bahwa jenazah itu adalah Yahudi, kemudian Nabi bersabda: 'Bukankah dia juga manusia?' [Shahih Bukhari] (Di riwayat lain Rasulullah saw disebutkan berdiri ketika melihat jenazah Yahudi lewat)
Penghormatan yang dicontohkan oleh para sahabat berdasarkan sunnah Rasulullah saw ini adalah bentuk sikap universal ajaran Islam, yakni terlepas dari agamanya, ketika dihadapkan pada sisi persamaan sebagai manusia maka kita wajib untuk menghormatinya. Kasih sayang Allah taala pun tidaklah ekslusif hanya untuk orang beriman. Terkait dengan sifat Rahman-Nya Allah taala sampai sekarang tetap menyediakan semua kebaikan untuk seluruh manusia, tidak membedakan apakah seseorang beragama Islam atau Kristen atau agama apapun bahkan tidak beragama sekalipun. Hal ini menunjukkan kita boleh tidak setuju dengan keyakinannya, terlepas dari bencinya kita dengan keyakinan seseorang, tetapi ketika hal itu berkaitan dengan kemanusiaan, maka wajib kita menghormati, bukankah Allah taala telah berfirman, jangan karena kebencian kepada seseorang atau suatu kaum hal itu membuat kita tidak adil (Q.S 5:8). Kita boleh benci dengan keyakinannya, tetapi jangan kebencian itu menjadi faktor bagi kita untuk tidak berbuat adil, orang yang tidak seiman juga berhak mendapatkan hak-haknya sebagai manusia, sebagai pribadi, sebagai tetangga, sebagai manusia. Apalagi kalau hal itu terjadi sebagai sesama muslim. Hari ini saya membaca sebuah tulisan di situs Dawn.com dengan judul "Ahmadis face discrimination even in death", suatu judul yang mengejutkan dimana saya dihadapkan pada suatu fakta yang justru bertolak belakang dengan hal-hal yang saya jelaskan diatas. Di salah satu pemakaman di Rawalphindi yang bernama Pemakaman Jadeed Qabristan terpampang pengumuman dalam bahasa urdu yang artinya:
"Dilarang Menguburkan orang Mirzais disini'.
Mirzai atau Qadiyani adalah suatu istilah menghina yang ditujukan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Pakistan. [caption id="attachment_261058" align="aligncenter" width="419" caption="Sumber gambar: Dawn.com"][/caption] Mungkin untuk sebagian besar orang menganggap hal itu lumrah, tetapi bagi saya itu adalah suatu sikap yang tidak adil, karena kebencian mereka dimahrumkan dari hak-hak mereka di dalam masyarakat, bahkan ketika mereka sudah wafat. Tidak disana tidak disini, setali tiga uang dengan di negeri kita tercinta, Indonesia, negeri yang konon dikatakan sebagai negara paling toleran seluruh dunia yang presidennya mendapatkan penghargaan atas toleransi dan perdamaiannya, sudah menjadi pemandangan umum atau bahkan sudah dianggap lumrah ketika Ahmadiyah ditentang. Penyegelan dan penghancuran masjid mereka dan pelarangan aktifitas ibadah adalah berita-berita yang biasa kita dengar akhir-akhir ini. Tidak hanya itu hak-hak sebagai warga pun mereka menjadi mahrum; pengucilan, intimidasi, dan berbagai diskriminasi yang mereka dapatkan dalam pendidikan, penghidupan yang layak dan hak untuk tinggal, sampai kepada ancaman dan pembunuhan.Dan menjadi lumrah juga ketika pelakunya adalah oraganisasi massa yang mengatasnamakan Islam, pemerintah seolah diam, begitu juga ketika aparat negara itu sendiri yang menjadi pelaku diskriminasi, bisa ditebak, tindakan itu seolah dibenarkan. Tetapi yang lebih parah yang mengejutkan saya adalah ketika dinegeri tercinta ini sudah di dalam kubur pun orang Ahmadiyah masih dimusuhi, kuburannya dibongkar dan jenazahnya dibiarkan tergeletak dengan alasan masyrakat tidak sudi ada jenazah orang Ahmadiyah. Saya baca kembali berita 3 Maret 2011, tepatnya di situs Online Tempo Interaktif disebutkan disana Makam salah seorang pengikut Ahmadiyah Mulyadi, di Desa Buni Jaya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung dibongkar sekelompok orang yang tidak dikenal.
"Kejadiannya kemarin (Kamis, 3 Maret 2011)," kata Mubalig Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Priangan Barat Ahmad Sulaeman, di Bandung, Jumat (4/3).
Menurut Sulaeman, setelah dibongkar, mayat jemaah Cabang Buni Jaya itu digeletakkan begitu saja. Sungguh kejadian yang memalukan, apalagi jika dikaitkan dengan Islam atau Rasulullah saw. Padahal Islam sendiri tidak mengajarkan hal demikian. Bahkan ketika kita kaitkan dengan isu kemanusiaan maka hal itu sangat jauh dari ciri orang yang beradab. Orang baik-baik yang mengaku paling shaleh, paling membela Rasulullah dan paling mengatasnamakan Tuhan, tetapi tingkah mereka jauh dari objek pengakuan mereka. Penentangan Terhadap Ahmadiyah Selama beberapa dekade, Ahmadiyah telah menghadapi berbagai penganiayaan di tangan ekstremis agama dan kekuatan sayap kanan. Jika kita lihat di pusat Ahmadiyah di Pakistan, diskriminasi tersebut sudah dimulai dengan campur tangan pemerintah pada tahun 1974, ketika Perdana Menteri Zulfiqar Ali Bhutto mengeluarkan amandemen konstitusi yang menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Muslim untuk menangkal tekanan dari kekuatan sayap kanan. Penganiayaan terhadap Ahmadiyah dimulai tidak lama setelah kemerdekaan Pakistan tahun 1947. Dipimpin oleh Jamaat Islami, kelompok sayap kanan ini menyebarkan kampanye anti Ahmadiyah. Gerakan kekerasan pertama terjadi di Punjab, tahun 1953, yang mengarahkan pada penerapan darurat militer di provinsi itu. Kemudian, lebih lanjut lagi, Ziaul Haq menindaklanjuti agenda ini dengan membuat suatu aturan yang lebih diskriminatif lagi, yang bisa membuat Ahmadi dinyatakan melanggar hukum jika diri mereka menyatakan sebagai Muslim. Mereka juga dilarang untuk menyebut tempat ibadah mereka sebagai masjid. Akibat undang-undang begitu banyak tindakan-tindakan diskiriminatif dan penganiayaan terhadap Ahmadiyah. Berapa banyak mereka dipenjara dan bahkan dibunuh dengan hukum jalanan. Pada tahun 2010, di Lahore, 86 anggota Jemaat Ahmadiyah dibunuh secara brutal oleh Taliban Punjab ketika pengikut Ahmadiyah sedang melaksanakan shalat jumat. Indonesia sepertinya ingin mengikuti jejak Pakistan untuk mengeluarkan undang-undang serupa, aturan-aturan yang sudah dibuat seperti SKB dan peraturan-peraturan daerah seperti Pergub-pergub dan Perwal terkait pembatasan Ahmadiyah terlihat efektif dan menjadi senjata massa intoleran untuk semakin leluasa menekan Ahmadiyah. Lihat saja penentangan-penentangan terhadap Ahmadiyah yang cukup membuat hati nurani setiap orang terketuk ketika pengikut Ahmadiyah dibunuh dengan sadis di Cikeusik, Banten dan setelah itu rentetan-rentetan penentangan semakin meningkat. Sampai kapan ini terjadi??? Teringat oleh saya akan khutbah haji terakhir Rasulullah saw yang lebih dikenal dengan sebutan haji wada', diantaranya Rasulullah saw berpesan:
Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah saksikanlah! Janganlah kalian, setelah aku meninggal nanti, kembali kepada kekafiran, yang sebagian kalian mempermainkan senjata untuk menebas batang leher kawannya yang lain. Sebab, bukankah telah kutinggalkan untuk kalian pedoman yang benar, yang jika kalian mengambilnya sebagai pegangan dan lentera kehidupan kalian, tentu kalian tidak akan sesat, yakni Kitab Allah (Al Quran).
Sepertinya kekhawatiran Rasulullah saw benar-benar terjadi!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H