Mohon tunggu...
Juslinda
Juslinda Mohon Tunggu... -

Tak mau takluk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Rumah Kecil Bernama 'Masa Lalu'

14 Agustus 2017   09:52 Diperbarui: 14 Agustus 2017   10:05 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih bernaung didalamnya dari rintik-rintik hujan tak beraturan, Munkin saja hari-hari Merubah diri kedalam hitungan angkah dan musim yang berbeda tanpa pernah kuduga.

Pagi-pagi dihari minggu (aku tidak ingat tanggal berapa), cuaca nampak aneh,   mendung tapi tidak turun hujan, sangat berlawanan dengan hari-hari kemarin ; hujan turun tanpa tak disangka-sangka. 

Aku tak ingin kemana-mana

Aku ingin  bersama cermin dan kesendirianku, memandangi wajahku berjam-jam dan sekaligus mengenang masa laluku yang kadang sulit terekam, memang tidak semua peristiwa hidup bisa terniang kembali tapi ada satu hal amat berarti, ya, kisah-kisah pertemuanku dengan banyak Lelaki, dimana kami pernah mengusung cinta dari hati ke hati. 

Memulai dan mengakhiri, sisi lain dari tangis dan tawa serta rasa sepi yang kadang datang tak beralasan.

Aku merasa perempuan yg tak biasa, sebab sepanjang masa hidupku selalu saja ada cerita berbeda yang kuhasilkan, mungkin tidak sama dengan perempuan lainnya. Ataupun kalau ada perempuan sepertiku, tidaklah banyak, mungkin Segelintir saja.

Apakah yang berbeda?

Aku selalu memelihara rumah kecilku, bernama "masa lalu" dengan memproduksi sekumpulan peristiwa untuk sebuah masa, Aku ingin tidak seperti perempuan kebanyakan yang menunggu waktu memberinya keajaiban atau berpangku tangan ditengah sembilan puluh sembilan kemungkinan-kemungkinan.

Pagi kelam disebuah senin sepohon rambutan menghunuskan daun-daunnya kemerning menghempas demikian ringan. Ini bukan musim gugur. Matahari membias tak menentu, aku memang tidak lagi percya pada musim, belakangan ini cuaca amat membingungkan. Lagi pula banyak orang termasuk aku tidak lagi peduli dengan cuaca—musim yang ada dihatiku sana hujan dan kemarau lebih bisa kumengerti daripada apa yang terjadi dalam hari-hari yang teramat singkat(terasa gila).

 

Semua  kisah  yg  telah  usai, kusimpan rapat, menjadi  kenangan  yang  menghiasi  perjalanan  di hari-hari  berikutnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun