Mohon tunggu...
Juslinda
Juslinda Mohon Tunggu... -

Tak mau takluk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elisa

7 Maret 2016   12:25 Diperbarui: 7 Maret 2016   12:58 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam terasa hari dengan teriknya yang terang.  Mataku amat susah terpejam. Telah pukul 01:19, aku masih memandangi dua buah hanphone yang sering menemaniku, mataku semakin sulit terpejam, ia menuliskan sepotong kalimat agak serius pada sms-nya yang terakhir," ia menyayangiku".

Aku membacanya berulang-ulang kali dan sesekali kumesti tersenyum kecut tak bersuara. Munkin itu pula yang membuatku susah tidur, padahal biasanya aku telah dalam lelap sebelum setengah satu tengah malam. Sehabis membaca novel atau mengisi diary-ku yang sumpet — belakangan ini, frekuensi menulisku tinggi, aku menulis tentang apa saja yang aku pikirkan dan yang kuhadapi hampir dalam jedah waktu yang sempit.

"Apakah ia telah jatuh cinta padaku?", ah, rasanya lucu jika pertanyaan ini menukik hatiku. Tapi, sepanjang malam aku terus dihantui satu pertanyaan itu—sebuah proplem membingungkan tapi bagai lelucon, kupikir itu menenangkan hatiku,  kujawab 

"munkin!" 

"Apa mungkin?", seingatku, terakhir kali ia mengatakan "mustahil", saat kutanya soal hubunganku dengannya. Tentu saja menyangkut rasa dan pilihan cinta.Tapi, ia menjawab lagi dengan intonasi yang lambat"saya kan milik seseorang....."

Mendengar itu, aku langsung tertawa spontan dan memaksanya untuk tidak larut dalam prinsipnya itu. Ia terus menyerangku, walau terkesan amat kelabakan dengan kalimat pertanda kalah "tidak mungkin......." entah beberapa kali. 

Pembicaraan kami yang terakhir semakin seru, apalagi karena memang tidak langsung— via telpon. Berkali-kali, ia mencoba menuruti keinginannya untuk selalu percaya bahwa kami memang tidak punya ruang untuk bersama, namun aku terus menyerangnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terlintas dibenaknya.

"Bagaimana kalau suatu hari, kekasihmu meninggalkanmu?" Tanyaku, ia terdiam saja, seolah membayangkan jika hal ini terjadi dan aku bertanya kembali,"bagaimana kalau kita berdua  nekat untuk meninggalkan kekasih kita, lalu merencanakan hubungan, kau dan aku?", pertanyaan ini, semakin membuatnya bungkam hampir semenit. Kubiarkan ia begitu, seolah-olah ia akan benar-benar tahu bagaimna rasanya jika dugaanku benar. 

"Tapi, sepertinya, segalanya memang bisa munkin, yah, ia akhirnya kurasakan seperti seorang petarung yang mengalah karena kalah—hatiku tertawa kecil, mataku terbenam, melesat ke pikiran-pikiran yang belum terjadi. terasa hening, aku mencoba menghentikan pembicaraan dan sebelum itu, kukatakan sesuatu "betapa ku akan semakin merindukanmu............. "

                                 *********

Namanya elisa, kami belum pernah bertemu, tapi belakangan kami selalu saling merindukan.Usianya empat tahun lebih tua dariku,  berteman akrab (bahkan munkin juga berhubungan hati) adalah pertama kali dalam hidupnya dengan lelaki yang lebih muda.

Pertama kali, ia menjalin cinta dengan seniornya dikampus,  saat masih semester pertama. Mereka beda dua tahun, seniornya lebih tua. Mereka hanya mempertahankan hubungannya sampai tiga bulan, setelah itu berpisah, "apalagi jika bukan karena ketidaksetiaan, lelaki itu begitu.........", iya mengatakan hal ini dengan sinis, tapi ia mengaku masih saja nenaruh harapan pada lelaki lain, "siapa tahu ada yang lebih baik? " Sebuah pertanyaan yang dijawabnya sendiri.

Lelaki kedua dalan hidupnya, seorang dosen yang telah berusia tigah puluh lima, saat pertama kali mereka mengikat janji kasih, namanya ramas, tapi ia memanggilnya pak ramas, walau sebenarnya telah menjadi kekasinya. Pak ramas tak keberatan Dipanggil "pak", setidaknya ditempat-tempat tertentu, semisal di hadapan mahasiswa, panggilan itu tentu saja tidak akan sampai merusak reputasinya sebagai dosen yang cukup di segani. Kurang lebih setahun, ia menjaling cinta dengan pak ramas, hingga akhirnya, masa-masa mencekik itu tiba—sesuatu yang tak diharapkannya— ia melihat dengan mata perih, pak ramas bersama seseorang saling  beradu di sudut kamar sedikit gelap. 

Ia sadar, jika kekasihnya tidak sedang membawahkan materi perkuliahan, tapi sedang bercinta dengan yang lain. Sebuah catatan penutup untuknya di akhir pekan, setelah kejadian pahit itu, ia betul-betul ingin mematahkan rasanya sampai pada waktu yang cukup lama, bahkan ia berpikir akan mulai sedikit rasional setiap saat ingin memulai hubungan cintanya.

Mencintai tidaklah semudah mengikuti pepatah lama, bahwa kita sedang mengusung sebuah perjalanan menuju rumah cinta. Badai dan gelombang, bahkan kadang-kadang pitam adalah dinamika perjalanan yang akan membuktikan kesejatian—baginya mencintai adalah mencoba secara perlahan-lahan, membunuh satu- persatu bangunan akal dan dimulainya cara hidup yang serba diluar kesadaran.

"Jadi, kau sudah lelah mencintai?" Tanyaku memotong pembicaraan saat ia mulai semakin menggebu-gebu meluapkan perasaanya. Terakhir kali, ia terjebak kembali dalam istilah "mencintai dan dicintai", ia menamakannya begitu...

seorang lelaki yang berprofesi sebagai kontraktor dan kebetulan hampir seumur dengannya. Hingga perkenalan kami yang belum terlalu lama ini, ia belum juga pernah memberitahukanku, siapa nama lelaki itu. Konon, ia sangat mencintainya dan berharap akan menjadi pangeran yang terakhir berlabuh di samudera hatinya.

Bulan ini persis ia sembilang bulan bersama. Dan setiap kali kami, berbicara lewat telepon, ia selalu menyelipkan pengharapannya dengan berkata "semoga saja, ia yang yang terakhir!", aku tentu saja meng"iya" kan, walau kusadar jika kata-katanya yang demikian adalah pertanda sebuah ketakutan dan keraguan.

bermalam-malam, di suatu waktu terutama saat dihantui gelisah, ia melakukan tahajjud dan berdoa panjang lebar agar diberi kesabaran menunggu, juga mencintai dengan teguh. Tiga bulan kedepan, usianya telah dua puluh sembilang, usia yang cukup menghawatirkan bagi wanita.  Aku kadang bilang "tidakkah kau sedang dalam kecemasan yang luar biasa", tanpa bermaksud menakut-nakutinya, tapi ia sangat tidak ingin aku berbicara usia. Ia tak sanggup.

 Lucu sekali jika ia sedang gugup karena ketakutan, aku melihatnya sebagai ketidakberdayaan,"aku kan perempuan—mesti menunggu", katanya."Tapi semoga sepulang dari manado, ia memberiku kepastian,"maksudnya" aku telah dilamarnya, dengan begitu statusku berubah. Ia amat tak lagi bisa berlama-lama menjadi perempuan "yang kesepian", istilahnya. Sesak rasanya dadaku jika ia mengalihkan pembicaraan soal jodoh. Tapi tak bisa kupungkiri jika saya bisa belajar berfantasi sebagai perempuan yang ditekan usia. Sesuatu yang memang berat untuk dipikirkan—beruntung aku ditakdirkan sebagai lelaki.

 

                         *bersambung*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun