Ternyata kenyataannya tidak begitu juga. Istilah PKL sekarang dipakai untuk mengeneralisir semua pedagang kecil yang suka melangggar aturan.
Bila merunut sejarahnya, bahwa istilah PKL diambil dari cerita pedagang yang menggunakan gerobak dan menempati lokasi yang seharusnya untuk pejalan kaki (trotoir), kini semakin bias. Sebagai contoh adalah para PKL yang ditertibkan di daerah pasar Tanah Abang beberapa waktu lalu.
Hampir seluruhnya tidak memiliki gerobak dorong sebagai alat bantu dalam menjalankan usahanya. Mereka menggelar lapak sebagai tempat berjualan, membangun tenda-tenda plastik yang semipermanen, yang tidak hanya berada di atas trotoar namun sudah melebar sampai ke aspal, dan bahkan hingga menguasai lebih dari setengah lebar jalan umum.
Atau bila dikaitkan dengan besarnya modal kerja yang digunakan, bisa jadi para PKL di Tanah Abang ada yang memiliki modal kerja sampai ratusan juta rupiah. Apakah mereka ini masih layak disebut PKL?
Dasar Hukum PKL
Lalu bagaimana awalnya istilah PKL menjadi legal dan dijadikan acuan hingga kini?
Istilah PKL muncul pertama kali di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2012 , yaitu TENTANG PEDOMAN PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KALI LIMA.
Di dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1 dengan jelas disebutkan bahwa:
Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau
swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Dalam terminologi di atas sama sekali tidak disebutkan adanya gerobak atau kereta dorong atau apa pun yang dapat dianggap berkaki 3. Menurut saya, ketentuan di atas tidak jelas sasaran dan menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Bukankah sebuah peraturan harus jelas dan lugas, juga mudah dibaca dan dimengerti oleh masyarakat luas?
Sebagai contoh pada kata 'pelaku usaha' adalah bermakna terlalu luas. Pelaku usaha yang mana? Para konglomerat juga pelaku usaha bukan? Seharusnya bisa lebih mengerucut dengan merujuk pada Undang Undang No. 20 Tahun 2008, mengenai kriteria pengusaha sesuai dengan besar modal usahanya.
Bukankah para pengusaha besar juga tidak jarang menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dalam menjalankan bisnisnya? Namun tentu mereka telah memperoleh ijin pelaksanaan kegiatan dari instansi terkait.